Senin, 13 Mei 2019




PELAKSANAAN KHOTBAH
a. Sikap Pengkhotbah
b. Tekhnik Menyampaikan Khotbah (Doa, Pembacaan Teks, Penjelasan Teks)
                               I.            Pendahuluan
Bermacam-macam pelajaran tentang khotbah telah kita pelajari. Syarat khotbah serta pemilihan nats khotbah telah kita pelajari. Tetapi semua itu sia-sia belaka, apabila kita tidak pandai melakukannya atau mempergunakannya. Pekerjaan pengkhotbah belum selesai, kalau khotbahnya saja yang selesai. Ingatlah bahwa suka duka persiapan itu dihabiskan sekaligus pada waktu pengkhotbah itu mengkhotbahkan khotbahnya diatas mimbar. Mimbar menjadi gelanggang satu-satunya yang harus diperhatikan oleh pengkhotbah dalam jabatan keilahiannya. Sebab itu, sekarang kita pelajari bagaimana sebuah khotbah disampaikan, atau seperti judul kita di atas, bagaimana sikap pengkhotbah dan bagaimana tekhnik menyampaikan khotbah. Semoga sajian ini dapat menambah wawasan kita.
                            II.            Pembahasan
2.1.Pengertian Sikap
Sikap adalah tokoh atau bentuk tubuh. Cara berdiri (tegak, teratur, atau dipersiapkan untuk bertindak), perbuatan yang berdasarkan pada pendrian, perilaku, gerak-gerik.[1]
2.2.Pengertian Pengkhotbah
Pengkhotbah adalah yang dikhususkan oleh Allah untuk pemberitaan Injil, adalah orang yang menerima kebenaran daripada Allah dan menyampaikan kebenaran itu kepada orang lain. Tugas utama pengkhotbah adalah menjelaskan Alkitab, yaitu Wahyu yang diberikan Allah.[2] Pengkhotbah adalah orang yang bersikap terbuka terhadap Allah dan terhadap sesamanya.[3]

2.3. Sikap Pengkhotbah
Pengkhotbah yang berjalan dengan tenang, rendah hati, sopan dan yang serius pasti memberikan kesan yang lebih baik kepada pendengar. Janganlah tampil dengan sikap yang pura-pura atau dibuat-buat. Semua yang pura-pura tidak akan tahan lama. Dengan berpura-pura, yang bersangkutan sendiri pasti merasa tertekan, dan orang-orang yang dilayaninya pun akan mencibir si pengkhotbah. Lebih baik pengkhotbah maju ke depan umum dengan seadanya sesuai dengan hati dan kehidupannya. Sikap yang tidak baik dapat mengganggu konsentrasi pengkhotbah, oleh sebab itu kita harus waspada dengan sikap kita dalam berkhotbah.[4] Pengkhotbah hendaklah menghampiri mimbar  dengan tenang dan penuh kesungguhan, janganlah berlagak, jangan pula merasa canggung, lebih-lebih jangan dengan sembarang saja naik mimbar, misalnya dengan sekali lompat saja, seolah-olah hendak menunjukkan sikap begini: “Ah, sudah biasa saya naik turun di sini!”. Orang yang mempunyai angan seperti ini, sebenarnya melampaui batas kerendahan hati. Terdapat tiga macam sikap yang patut dicontoh oleh pengkhotbah di atas mimbar. Pertama; hendaklah pengkhotbah berdiri dengan tegap. Tegap berarti tegak. Berdiri tegak atinya tidak membungkuk, tidak bersandar. Kedua; hendaklah pengkhotbah menyaringkan suaranya.. Menyaringkan suara bukan berteriak atau menjerit, melainkan bersuara dengan jelas dan tegas dalam mengucapkan setiap suku kata. Ketiga; hendaklah pengkhotbah memandang jemaat, supaya diketahui bahwa Kabar Baik itu sesungguhnya diperuntukkan bagi jemaat yang hadir.[5]
2.3.1. Kepribadian Pengkhotbah
Ada beberapa kepribadian pengkhotbah:
a. Pengkhotbah membantu jemaat untuk mengetahui dan memahami kehendak Allah serta melakukan kehendak Allah bukan pengetahuan keilmuwan secara kognitif, melainkan pengetahuan iman.[6]
b. Pengkhotbah harus memiliki kualitas pribadi yang bisa diteladani oleh umat. Seorang pengkhotbah harus memiliki sifat yang stabil.[7]
c. Dalam cara hidup seorang pengkhotbah mengutamakan disiplin yang tinggi dan taat pada peraturan, serta sanggup mengarahkan dan membimbing semua jemaat.[8]
d. Seorang pengkhotbah haruslah orang yang memiliki iman teguh. Hal ini tidak berarti bahwa ia kebal akan godaan dan kebingungan, tetapi ia berani melawan dan mengalahkan godaan.[9]
e. Pengkhotbah harus memiliki kepemimpinan.[10]
f. Seorang Pengkhotbah janganlah menjadi seorang peniru saja, melainkan menjadi dirinya sendiri dan mengungkapkan semua pergumulannya dengan firman Tuhan itu dengan caranya sendiri. Sehingga apa yang diungkapkan si pengkhotbah itu adalah bukan milik orang lain, bukan pinjaman, atau sesuatu yang asing, melainkan miliknya sendiri.[11]
2.3.2. Penampilan Pengkhotbah
Gaya atau penampilan dapat mengungkapkan sikap dan perasaan lebih akurat daripada kata-katanya.[12] Karena dari gaya dan penampilan kita cukup menentukan untuk masuk dalam sebuah komunikasi yang akan terbangun melalui khotbah.[13] Pengkhotbah harus memperhatikan penampilannya karena mata jemaat akan tertuju kepadanya. Pengkhotbah harus memakai pakaian sopan, rapi, dan bersih. Dan memperhatikan rambut dan juga sepatu ang akan dikenakan ketika berkhotbah.[14]
2.4.Tekhnik Menyampaikan Khotbah
2.4.1. Doa
            Doa adalah persekutuan yang mesra antara manusia dan Tuhan. Dengan berdoa, seorang pengkhotbah mengadakan hubungan yang mesra dengan Tuhan yang tidak kelihatan, Tuhan yang hidup. Doa adalah nafas orang percaya, termasuk pengkhotbah. Tanpa doa, kehidupan rohani kita akan mati. Doa merupakan cara langsung untuk membuka diri seseorang (juga pengkhotbah) kepada kuasa Allah yang kreatif. Hal inilah yang memampukan pengkhotbah mengalami aliran semangat rohani yang baru oleh kuasa Roh Kudus.[15] Dalam mengawali khotbah, seorang pengkhotbah sebaiknya mengajak jemaat untuk berdoa sebelum teks dibacakan. Hal ini menandakan bahwa  pengkhotbah dan pendengar mengandalkan pekerjaan Roh Kudus, bukan diri sendiri. Sebab yang akan diperdengarkan adalah firman Tuhan. Jadi pengkhotbah dan jemaat harus meminta bimbingan dan pengajaran Tuhan.[16] Berkhotbah tanpa berdoa sama seperti berlayar dengan kapal layar pada saat tidak ada angin. Anda mungkin dapat meluncurkan perahu dan mengembangkan layar, tetapi tidak dapat pergi kemana pun.[17] Pengkhotbah bukan saja berdoa untuk kesuksesan pelayanannya, tetapi juga berdoa untuk dirinya agar sungguh-sungguh menjalankan apa yang ia wartakan dari mimbar, apakah khotbah itu menyenangkan hati Tuhan karena yang dikhotbahkan adalah firman Tuhan. Dengan doa pengkhotbah melangkah naik ke mimbar dan melangkah turun dari mimbar.[18]
2.4.2. Pembacaan Teks
            Pada waktu teks dibacakan merupakan bagian yang pertama dari khotbah. Karena itu seorang pengkotbah diharapkan untuk menjadi pembaca yang tepat. Pembacaan teks menentukan mutu kesadaran pendengar dan menarik perhatian mereka terhadap firman Allah.[19] Dan dalam pembacaan teks, pengkhotbah hendaknya menyebutkan nama kitab, pasal, ayat secara terpisah atau diberi jeda beberapa detik dan diucapkan beberapa kali.[20] Ada tiga cara dalam pembacaan teks Alkitab:
a. Puitis
            Model puitis tidak memiliki lagu/nada/melodi yang menentang. Nada atau lagu dalam pembacaan puitis ditentukan oleh karakter kata yang diucapkan. Semua kata memiliki karakter, yang karakter itu ditampilkan oleh pengucapan kata itu. Nats-nats yang tepat dibacakan dengan model puitis adalah kitab sastra, hikmat, ratapan.
b. Dramatikal
Pembacaan model dramatikal adalah pembacaan teks yang tidak menggunakan alat bantu. Tetapi hanya mendramatiskan ulang sebuah peristiwa yang ada di dalam teks dengan menggunakan suara, dinamika, artikul. Model ini bertujuan untuk menggambarkan dan melukiskan apa yang sudah dikerjakan Allah dan yang akan dikerjakan Allah. Pembacaan teks dalam dramatikal digunakan untuk semua teks yang berdialog. Kaitannya dengan pembacaan teks secara dramatikal, pengkhotbah tidak hanya membuat jemaatnya tertarik, bahkan bisa larut dalam situasi yang digambarkan oleh pengarang asli melalui proses berkhotbah. Sehingga pada saat pembacaan teks disampaikan, pendengar merasa berhadapan langsung dengan peristiwa dalam teks.
c. Teater
            Pembacaan model teater adalah pembacaan yang menggunakan gaya bahasa sendiri dan bahasa tubuh serta menggunakan potensi yang ada. Gaya bahasa harus diperhatikan sedemikian rupa dalam pembacaan teks dalam khotbah, supaya jemaat mengerti firman Tuhan yang disampaikan. Dalam penyampaian model ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat peraga yang sesuai dengan teks yang dibaca.[21]
2.4.3. Penjelasan Teks
Dalam berkhotbah, pengkhotbah menyampaikan pesan khotbah dalam dua cara yaitu berbicara menggunakan kata-kata (komunikasi verbal) dan dengan bahasa tubuh (komunikasi non-verbal).[22]
1. Komunikasi Verbal
a. Suara
Suara alami bukan dibuat-buat. Gunakan nada suara sedang ketika berkhotbah dan ucapkan khotbah dengan jelas. Berbicaralah dengan jelas. Usahakan agar para pendengar yang duduk di kursi paling belakang dapat mendengar dengan jelas.[23] Dalam hal ini pengeras suara akan sangat membantu, asalkan pandai mengatur tempatnya. Pendeknya suara pengkhotbah harus dapat didengarkan oleh semua jemaat, baik itu tua maupun muda.[24]
·         Penekanan
Variai-variasi dalam kekerasan suara bisa berguna baik untuk menarik perhatian maupun memberi penekanan. Suatu perubahan dengan tekanan tertentu dapat mengkonsumsikan kepentingan ide-ide. Keseluruhan bagian dari suatu khotbah dapat ditekankan bila seseorang pengkhotbah mengungkapkannyan dengan volume suara yang lebih besar.[25] Tujuan penekanan adalah untuk mendapatkan suara di atas batas kebisingan suatu ruangan.[26]
·         Tempo
Tempo ini adalah bagaimana kecepatan pengkhotbah berbicara. Tempo adalah unsur penting lainnya dalam artikulasi. Ada beberapa masalah umum yang terkait dengan tempo. Pertama, pengkhotbah berbicara terlalu cepat. Para pendengar perlu waktu yang cukup untuk mengubah bunyi menjadi kata-kata dan kata-kata menjadi kesatuan makna (ungkapan, kalimat), lalu kesatuan makna menjadi pemikian dan perasaan, lalu pemikiran dan perasaan menjadi kenangan, pengetahuan, dan rencana bertindak. Kedua, pengkhotbah berbicara terlalu lamban. Bila ini terjadi, pikiran pendengar akan berkelana atau pendengar bisa selesai bermain-main dengan pikirannya dengan cara yang mungkin tidak sesuai dengan maksud pengkhotbah. Ahli teori komunikasi mengusulkan sekitar 140-160 kata per menit. Sehingga penting juga untuk menggunakan tempo yang berbeda-beda dalam berbicara sehingga pembicaraan tidak terdengar monoton. Penting juga menggunakan tempo yang berbeda-beda dalam berbicara sehingga pembicaraan tidak terdengar monoton. Tujuannya adalah meragamkan kecepatan berbicara dengan cara menambah penekanan alami dan keanekaragaman dalam percakapan.[27]
·         Nada
Nada adalah suasana dari sebuah khotbah secara keseluruhan. Nada ini penting agar suasana ini sesuai ide dan tujuan pengkhotbah. Seorang pengkhotbah tidak boleh menjadi kecanduan menggunakan satu nada saja, tetapi harus berusaha untuk menggunakan beragam nada dalam berkhotbah demi mencegah kebosanan.[28] Nada meliputi perpindahan suara dengan skala tinggi dan rendah, dalam tingkat nada yang berbeda, dengan perubahan-perubahan nada suara yang bervariasi.[29] Suara monoton mengucapkan semua kata-kata ataupun ungkapan kalimat dengan nada yang sama tanpa adanya nada tinggi atau rendah. Ini dapat melelahkan dan membosankan bagi jemaat, sekalipun isi khotbah bagus.[30]
·         Jeda
Pembicara yang terampil mengenali bahwa jeda berfungsi seperti koma, titik koma, dan tanda seru. Jeda adalah tanda-tanda baca dalam berbiara. Jeda lebih dari hanya sekedar berhenti berbicara, sebab jeda juga memberi para pendengar suatu kesempatan singkat untuk berpikir, merasakan, dan merespon.[31]


                                    2. Komunikasi Non-Verbal (Bahasa Tubuh)
·         Pandangan Mata
Pandangan mata pengkhotbah harus tertuju kepada jemaat. Pandangan sebaiknya diarahkan sedikit lebih tinggi dari kepala pendengar agar semua yang hadir merasa benar-benar disapa. Pandangan hendaknya menyebar, tidak tertuju pada satu arah atau terlalu sering memandang satu arah tersebut.[32] Arahkan pandangan mata ke seluruh jemaat dan bakan pandangan anda berhenti sejenak pada beberapa orang yang berbeda. Selama penyampaian khotbah, pertahankan terus kontak pandang.[33]
·         Gerak-gerik
Hindari stereotype tertentu dalam gerak-gerik atau gerakan khotbah. Lakukanlah gerakan-gerakan yang wajar, jangan meniru gerakan orang lain atau bersikap berlebihan dalam berkhotbah.[34] Gerak tubuh dapat membantu pengkhotbah dalam memberi penjelasan dan penggambaran. Gerak tubuh juga dapat memberi pengkhotbah dalam memberi penekanan pada ucapan serta menjaga daya tarik dan mempertahankan perhatian. Gerak tubuh dapat membuat pengkhotbah menjadi tenang. Ketika tubuh bekerja untuk membuat ide-ide, maka kita akan merasa lebih yakin dan siap.[35]


·         Ekspresi Wajah
Ekspresi wajah juga merupakan bagian penting dari bahasa tubuh ketika berkhotbah. Dalam hal ini kesesuaian dengan pesan yang disampaikan sangatlah penting. Jika seseorang menyampaikan pesan yang berisi sukacita dan kegembiraan, wajah seharusnya idak muram. Jika pesan yang disampaikan memberikan pengharapan, wajah seharusnya tidak menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran.[36]
            III. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat saya simpulkan, bahwa hal yang dilakukan dalam pelaksanaan khotbah adalah yang pertama, bagaimana seharusnya sikap seorang pengkhotbah dan setelah itu bagaimana kita menyampaikan khotbah dengan tekhnik-tekhnik yang baik. Seorang pengkhotbah ketika sudah di mimbar harus menggunakan tekhnik-tekhnik untuk membaca teks dan penjelasan teks. Bahwa dalam membaca teks ada 3 cara, yaitu: Puitis, dramatikal, dan teater. Dan untuk penjelasan teks pun pengkhotbah harus memperhatikan dua cara untuk penjelasan teks, yaitu dengan cara komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal atau bahasa tubuh. Kita sudah mengetahui bahwa dalam menyampaikan khotbah tidak hanya dengan verbal/oral tetapi bahasa tubuh pun dapat membantu untuk menyampaikan sebuah khotbah. Sikap dan tekhnik inilah yang membuat si pendengar tertarik dengan isi khotbahnya.
            IV. Daftar Pustaka
....KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 2007
EvansWilliam, Cara Mempersiapkan Khotbah, Jakarta: BPK-GM, 2014
de Jong. S., KHOTBAH Persiapan, Isinya, Bentuknya, Jakarta: BPK-GM, 2014
SutantoHasan, Homiletika Prinsip dan Metode Berkhotbah, Jakarta:BPK-GM, 1990
PouwP.H., Uraian Singkat Tentang Homiletik, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2006
GintingE.P., Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, Yogyakarta: ANDI, 2003, 235
AnggraitoNoor, Menyiapkan Khotbah Ekspositori Secara Praktis, Yogyakarta: ANDI, 2001
TambunanLukman, Khotbah dan Retorika, Jakarta: BPK-GM, 2011
RitschiDietrich, Teologi Pemberitaan Tuhan, Jakarta: BPK-GM, 1990
ScharfGreg, Khotbah yang Transformatif, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013 
ShipmannMichaelK., Khotbah Alkitabiah Yang Komunikatif dan Berwibawa, Bandung: YBI, 2004
VinesJerry &Shaddix Jim, Homiletika Kuasa Dalam Berkhotbah, Malang: Gandum Mas, 2002
RobinsonHaddon W., Cara Berkhotbah Yang Baik, Yogyakarta: ANDI, 2002
McClureJohn S., Firman Pemberitaan, Jakarta: BPK-GM, 2012
Robinson, Haddon W., Cara Berkhotbah Yang Baik, (Yogyakarta: ANDI, 2011), 222
Ronda, Daniel, Prosiding Seminar Khotbah Kontemporer Vol 35, Sekolah Tinngi Theologia Jaffray, 2015
                                                                                                             


[1]..... KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 1063
[2] William Evans, Cara Mempersiapkan Khotbah, (Jakarta: BPK-GM, 2014), 18
[3] S. de Jong, KHOTBAH Persiapan, Isinya, Bentuknya, (Jakarta: BPK-GM, 2014), 18
[4] Hasan Sutanto, Homiletika Prinsip dan Metode Berkhotbah, (Jakarta:BPK-GM, 1990), 350
[5] P.H. Pouw, Uraian Singkat Tentang Homiletik, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2006), 64
[6] E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, (Yogyakarta: ANDI, 2003), 235
[7] Noor Anggraito, Menyiapkan Khotbah Ekspositori Secara Praktis, (Yogyakarta: ANDI, 2001), 37
[8] Lukman Tambunan, Khotbah dan Retorika, (Jakarta: BPK-GM, 2011), 86
[9] E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, 235
[10] Balewitaya, Khotbah Kreatif , (Malang: Gandum Mas, 1994), 39
[11] Balewitaya, Khotbah Kreatif, 40
[12] Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang Baik, (Yogyakarta: ANDI, 2011), 222
[13] Daniel Ronda, Prosiding Seminar Khotbah Kontemporer Vol 35, (Sekolah Tinngi Theologia Jaffray, 2015), 31-32
[14] Noor Anggraito, Menyiapkan Khotbah Ekspositori Secara Praktis, 134-135
[15] E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, 172
[16] Dietrich Ritschi, Teologi Pemberitaan Tuhan, (Jakarta: BPK-GM, 1990), 20
[17] Greg Scharf, Khotbah yang Transformatif, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013), 252
[18] Lukman Tambunan, Khotbah dan Retorika, 122                                                      
[19] Michael K. Shipmann, Khotbah Alkitabiah Yang Komunikatif dan Berwibawa, (Bandung: YBI, 2004), 127
[20] Hasan Sutanto, Homiletika Prinsip dan Metode Berkhotbah,  20
[21] Hasan Sutanto, Homiletika Prinsip dan Metode Berkhotbah, 355-357
[22] Jerry Vines & Jim Shaddix, Homiletika Kuasa Dalam Berkhotbah, (Malang: Gandum Mas, 2002), 471
[23] E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, 231
[24] S. de Jong, KHOTBAH Persiapan, Isinya, Bentuknya, 74
[25] Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang Baik, (Yogyakarta: ANDI, 2002), 238
[26] John S. McClure, Firman Pemberitaan, (Jakarta: BPK-GM, 2012), 206
[27] John S. McClure, Firman Pemberitaan, 251-252
[28] John S. McClure, Firman Pemberitaan, 188          
[29] Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang Baik, 237
[30] S. de Jong, KHOTBAH Persiapan, Isinya, Bentuknya, 75
[31] Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang Baik, 240s
[32] E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, 231                                         
[33] Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang Baik, 234
[34]E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, 232
[35] Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang Baik, 230
[36] John S. McClure, Firman Pemberitaan, 29



Model-Model Wahyu dan Kemajemukan
I.                   Pendahuluan
Setiap agama yang memiliki pemahaman yang berbeda tentang wahyu yang ada pada setiap kepercayaan mereka. Melalui penyataan tersebut Allah menyatakan diriNya kepada semua umatNya. Didalam pembahasan kali ini saya penyaji akan memparkan tentang wahyu itu dan model-model wahyu tersebut, serta pandangan wahyu didalam setiap agama-agama yang ada seperti agama Kristen, Islam, Budha dan Hindu. Semoga sajian kali ini dapat menambah wawasan kita bersama.
II.                Pembahasan
2.1.Pengertian Wahyu
Penyataan adalah tindakan Allah untuk membuka diri (Allahlah yang membuka cadar atau selubung yang menghalangi manusia) menyatakan dan memperkenalkan diriNya kepada manusia, sehingga melalui tindakan tersebut, manusia dimungkinkan beroleh pengenalan terhadap Allahnya dan dapat bersekutu dengan-Nya.[1] Penyataan dapat berarti perbuatan mengungkapkan atau membuka atau menyingkapkan. Istilah itu dapat pula berarti apa yang diungkapkan atau dibukakan atau disingkapkan. Sering kali yang ditekankan ialah pengertian yang aktif. Penyataan terdapat dalam komunikasi Allah dengan manusia melalui penglihatan yang diberikanNya, firman yang diucapkanNya dan perbuatan yang dilakukanNya.[2]
2.2.Wahyu menurut Alkitab[3]
2.2.1.      Perjanjian Lama
Didalam perjanjian lama, Allah menyatakan diri melalui firmanNya (Kej. 12:1-3), melalui karya-karya penampakan (semak duri menyala, tiang awan dan api, malaikat Tuhan), melalui perebuatan-perbuatan-perbuatanNya yang besar. Semua ini merupakan sarana penyataan Allah, atau car yang dipakai Allah, atau cara yang dipakai Allah untuk memperkenalkan atau menyatakan diriNya.
2.2.2.      Perjanjian Baru
Istilah perjanjian baru untuk penyataan Allah adalah apokaluptein dan phaneroun. Apokaluptein berarti mengambil tutup atau menampakkan apa-apa yang tadinya tertutup. Phaneroun berarti terbuka karena membukanya selubung yang tadinya tertutup. Apokaluptein diartikan penyataan, dimana Allah menyingkapkan selubung, tampil kedalam sejarah, dan menyatakan kehendakNya kepada manusia.
2.3.Pengertian Kemajemukan
Kemajemukan adalah keanekaragman yang dimana keanekaragaman itu terdiri dari beberapa bagian yang merupakan kesatuan. Pembicaraan tentang kemajemukan ini biasa atau sering dibicarakan didalam konteks kerukunan antar umat beragama.[4]
2.4.Model-Model Wahyu
Menurut Avery Dulles, S.J didalam bukunya yang berjudul Model-Model Wahyu, penulis memaparkan beberapa model-model Wahyu didalam bukunya, antara lain:[5]
2.4.1.      Model Allah Sebagai Ajaran
Menurut model ini pernyataan-pernyataan itu dihubungkan dengan Allah itu sebagai guru yang beribawa. Allah disini dilihat sebagai guru yang tidak sesat yang mengkomunikasikan pengetahuan itu dengan bicara dan tulisan. Sehingga yang diharapkan adalah penerima menaruh minat dan perhatian bagaikan seorang murid. Model ini atau teori proposisional memiliki dasar yang pasti dalam kitab suci yang sering berbicara seolah-olah Tuhan yang menyampaikan kabarNya dalam bahasa manusia.
2.4.2.      Model Allah Sebagai Sejarah
Isi dalam wahyu adalah tindakan-tindakan besar yang telah dilakukan Allah dalam sejarah. Bentuk wahyu yang pertama adalah perbuatan-perbuatan atau peristiwa-peristiwa yang bila dilihat dalam hubungan timbal balik merupakan pernyataan diri Allah sebagai Tuhan dan tujuan sejarah. Dalam model ini sarana komunikasi adalah antara Allah dan manusia adalah sejarah keselamatan. Allah digambarkan sebagai agen transenden yang menghasilkan peristiwa-peristiwa itu dan dengan perantaraanNya, Ia memberikan tanda bagi umatNya. Wahyu historis dapat memberikan suatu jawaban terhadap persoalan umum menyangkut arti dan tujuan sejarah.
2.4.3.      Model Allah Sebagai Pengalaman batiniah
Didalam model ini, isi wahyu bukanlah informasi mengenai masa lampau dan juga bukan kebenaran doktrinal yang abstrak, melainkan isinya adalah Allah, yang mengkomunikasikan dirinya dengan penuh kasih kepada hati yang terbuka kepadaNya. Model ini lebih mengutamakan pengalaman batiniah yang istimewa tentang rahmat atau persatuan dengan Allah, sehingga pandangan tentang yang ilahi ini langsung terjadi pada setiap-setiap orang. Model ini lebih mengutamakan dan mengakui kualitas dari pengalaman itu sendiri.
2.4.4.      Model Penyataan Allah Sebagai kehadiran Dialektik
Model ini mempunyai basis biblis. Model ini juga memiliki suatu fokus kristologis yang jelas, karena model ini secara eksklusif memandang Kristus sebagai wahyu Allah. Tetapi model juga mengatakan bahwa Allah tidak dapat dikenal sebagai objek. Allah yang transenden menjumpai subjek manusiawi melalui sabda dalamnya iman dapat mengenal kehadiran Allah dan Sabda Allah secara serentak menwahyukan dan menyembuyikan kehadiran Allah. Sehingga model wahyu ini terjadi melalui Sabda yang berkuasa dan mempuyai daya pengubah, seperti pewartaan tentang salib dan kebangkitan. Karena wahyu datang dari sabda, maka bentuknya yang khas adalah Kristus, sabda dalam pribadi. Jawaban yang sesuai dengan wahyu dalam model ini adalah iman. Karena termasuk dalam hakikat wahyu bahwa ia harus diterima, maka jawaban iman dimasukkan dalam defenisi tentang wahyu itu sendiri. Iman memberikan suatu pengertian baru tentang  Allah dan diri manusia, karena seorang beriman memahami dirinya sebagai seorang berdosa yang disambut Allah dengan penuh kasih sayang ke dalam persahabatan.
2.4.5.      Model Penyataan Allah Sebagai Kesadaran
Model kesadaran tentang wahyu dapat dilukiskan menurut bentuk wahyu, isinya, daya penyelamatannya dan jawaban yang dituntut. Bentuk wahyu dalam model ini merupakan suatu terobosan kedalam tingkat kesadaran manusia yang lebih tinggi, agar seluruh diri dialami sebagai dibentuk dan dikuasai oleh kehadiran ilahi. Wahyu menampakkan diri melalui peristiwa-peristiwa paradigmatik yang bila diingat kembali akan merangsang imajinasi untuk membentuk pengalaman secara baru. Model ini menegaskan bahwa wahyu berarti pembaruan hidup manusia yang total. Penerima wahyu adalah mereka yang berani mengimpikan impian baru yang menjawab panggilan untuk membangun satu dunia yang sungguh-sunguh manusiawi sehingga ini menekankan keterlibatan akal budi dalam menerima wahyu.
2.5.pandangan Wahyu dalam Agama-agama
2.5.1.      Agama Kristen
Pusat penyataan Kristen adalah pribadi Yesus sendiri yang selalu memanggil dan sukar dipahami. Bahasa Kristen tentang penyataan memiliki sifat dramatis yang mengubah situasi, sering kali mengherankan dan tidak diharapkan. Sehingga penyataan Allah didalam Yesus Kristus diintegrasikan kedalam seluruh prosespenciptaan sejak awal dan penyataan Allah itu hadir melalui tanda-tanda.[6] Didalam Alkitab menunjukkan bahwa Allah bukanlah pemuas manusia dalam berbagai kekurangan dan juga kesenangan yang terdapat pada pribadi manusia tersebut. Allah lah yang memanggil manusia itu sendiri agar manusia itu mengabdi kepadaNy, oleh karena itu bagian akhir dari penyelamatan Allah bukanlah semata demi kebahagian manusia, melainkan kemuliaan dan kehormatan bagi Allah sendiri.[7] Allah menyatakan firmaNya (Lih. Kej.12:1-3), melalui karya penampakan (Semak duri, tinang awan, dan malaikat Tuhan), melalui perbuatan-perbuatanNya, (Vision)melalui karya penglihatan (Vision) melalui kemudiam juga melalui nubuat.[8] Didalam agama Kristen ada 2 penyataan, yaitu penyataan umum dan penyataan khusus :
a.      Penyataan Umum
Penyataan ini menunjuk  kepada apa yang Allah telah nyatakan melaluai alam semesta.[9] Allah menyatakan diri melalui pelbagai kebajikan: menurunkan hujan, memberikan musim-musim subur, makanan, makanan dan lain-lain (Kis.14:17). Ada penyataan diri Allah (kekuatan dan keilahianNya) melalui karya ciptaanNya (Rm.1:19-20). Tujuan penyataan Allah itu supaya manusia mengenal Allah mengerti kehendakNya, mengabdikan diri kepada Dia dan tahu mempergunakan semua ciptaan Allah untuk memuliakan Allah. Sebab tujuan tertinggi Allah bukan untuk mencapai kebahagian manusia, melainkan untuk kemulian dan kehormatan Allah sendiri (Rm.11:36). [10]
b.      Penyataan Khusus
Penyataan khusus menerangkan betapa Allah mengasihi manusia, yang tak lain adalah kesegambaran dan keserupaan diriNya, sehingga Allah pun mengharuskan diriNya menjadi manusia yang serupa dengan dosa, agar Ia bisa menyelamatkan mereka dari dosa (Yoh.1:1-24; 3:16).[11] Hubungan penyataan umum dan penyataan khusus tidak hanya terbatas pada kesamaan sumber, yakni Allah sendiri sebagai asal-usul keduanya. Penyataan umum harus dilihat dari perspektif pernyataan khusus bahkan harus dikatakan bahwa karya penciptaan harus dirangkul oleh rencana penyelamatan. Sebab Allah pertama sekali mau menyelamatkan manusia oleh karena itu diciptakanNya dunia. Melalui pemahaman ini dapat disimpulkan bahwa dunia diciptakan dalam rangka penyelamatan manusia.[12] Tujuan penyataan khusus ini agar melalui pengenalan dan persekutuan antara manusia dengan khalikNya. Allah pun dimuliakan (Rm.11:36); Allah mewujudkan maksud penebusan-Nya kepada umatNya dan membawa umatNya untuk berada dalam kemulian bersama Dia. Selain itu tujuan dari penyataan ini membawa orang untuk mengalami kuasa pengenalan tentang Allah yang menyelamatkan pribadinya.[13]
2.5.2.      Agama Islam
Allah mengutus Muhammad, jajaran nabi yang terakhir dan terbesar, dan mewahyukan kehendakNya kepadanya kedalam sejumlah wahyu yang dicatat tanpa kesalahan, didalam Al-Qur’an. Umat Islam memberikan penghormatan yang tinggi terhadap Muhammad, tetpai karena dia tidak seperti Tuhan maka tidak boleh disembah.[14] Menurut padangan umat muslim Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang terakhir mengungguli wahyu lebih dahulu diturunkan kepada umat.[15] Umat muslim juga percaya bahwa Al-Qur’an merupakan penyingkapan terakhir dari Allah dan meringkaskan semua penyingkapan terdahulu. Al-Qur’an merupakan kriterirum semua kebenaran, karena ia sungguh-sungguh selaras dengan penyingkapan-penyingkapan Allah yang lain. Visi Islam adalah bangsa yang membentuk Umah, harus menyerahkan diri kepada kehendak Allah sebagai mana disingkapkan dalam Al-Qur’an. Penyerahan diri itu adalah pendamaian Islam, seperti halnya Yudaisme tetapi mengilhami tenaga yang begitu besar dalam menjelaskan kehendak Allah. Orang-orang muslim percaya bahwa Al-Qur’an adalah salinan sempurna atas firman yang abadi.[16]
2.5.3.      Agama Hindu
Pandangan Hindu tentang penyataan ini bukanlah persitiwa supranatural, melainkan merupakan hasil pendisplinan diri dengan sungguh-sungguh melalui latihan yoga, yang akan membawa kepada pencerahan. Firman itu hadir kepada semua manusia untuk merasakannya. Banyak orang Hindu menekankan pentingnya pengalaman langsung, sehingga membuat peranan shruti menjadi sekunder. Dalam pandangan ini, penyataan atau wahyu didasarkan pada kemampuan spritual, yang pada prinsipnya terbuka bagi setiap orang dan tidak perlu dengan perantaraan Veda.[17] Wahyu ini dimunculkan dalam kesadaran para guru, dan pengalaman-pengalaman, intuisi-intuisi mereka, apa yang mereka dengarkan tentang yang Ilahi dimuat dalam empat kitab Veda tersebut yaitu,  Rig Veda, Sama Veda, Yajur Veda, dan Atharwa Veda.[18] Kehidupan keagamaan umat Hindu didasarkan pada naskah suci yang disebut Veda Samhita, yang mereka yakini sebagi ciptaan Brahmana.[19]
2.5.4.      Agama Budha
Umat Budha percaya akan adanya realitas tertinggi, tetapi mereka tidak menyebut realitas ini “Allah”. Sehingga banyak umat Buddha merasa lebih berbahagia bila membicarakan tentang “filsafat hidup” daripada berbicara tentang agama. Budha menggunakan cerita perumpamaan, ilustrasi dari alam, ungkapan, kiasan, tanya jawab, diskusi dan debat untuk menyampaikan pesan-pesannya namun ia tidak meninggalkan catatan apapun. Sehingga setelah kematiannya, para muridnya mulai mengumpulkan cuplikan-cuplikan ajarannya.[20] Agama Budha tidak mengklaim agama didasarkan pada penyataan atau wahyu yang berasal dari Allah. Seperti Sidharta Gautama yang menjadi Budha setelah mengalami pencerahan di bawah sebatang pohon bodhi (pohon pengetahuan). Seorang Budha tidak memperkenalkan dirinya sebagai seorang nabi yang telah menerima pesan dari Ilahi, melainkan sebgai petunjuk jalan yang ditemukan menuju jalan kebebasan dari penderitaan.[21]   
2.6.Pandangan Para tokoh mengenai Model-model Wahyu dalam Agama-agama.
2.6.1.      Karl barth
Barth adalah seorang teolog besar dalam kalangan gereja reformatoris pada abad ke-20.[22] Barth mengatakan bahwa: “Sejauh wahyu Allah dengan sendirinya menghasilkan apa yang hanya dapat dihasilkan Allah, yakni pemulihan persahabatan manusia dengan Allah. Wahyu adalah perdamaian itu sendiri”. Selain itu Barth juga berpendapat bahwa kitab suci dan sabda yang diwartakan menjadi wahyu bila dan sejauh Allah berkenan untuk berbicara melalui mereka.[23] Dalam pemahaman Barth ini dijelaskan 2 prinsip utama yang dibuktikan dalam kitab suci. Pertama, penyataan adalah pemberian diri dan manifestasi diri Allah sendiri. Melalui penyataanNya, Allah menyingkapkan kepada manusia bahwa Ia adalah Allah dan Tuhan. Manusia dapat mengenal Allah bukan berdasarkan kemampuannya sendiri, melainkan karena memang Allah menyediakan diri untuk dikenal dan disapa. Tanpa penyataan maka upaya manusia maka upaya manusia mengenal Allah dari sudut pandangnya sendiri menjadi sebuah upaya yang sama seali sia-sia. Kedua Barth juga menegaskan bahwa, sebagai pemberian diri dan manifestasi diri Allah, penyataan tersebut merupakan tindakan dimana didalam dan melalui anugerah, Ia mendamaikan manusia dengan diriNya sendiri. Barth menyatakan bahwa kekristenan menjadi benarsejauh berpusat pada penyataan Allah dalam Yesus Kristus. Hanya dengan demikianlah kekristenan memiliki kemungkinan menjadi agama yang benar. Inti dari penegasan Barth tentang kebenaran Kristiani, kita melihat ada dua klaim, pertama penyataan bahwa hanya ada satu agama yang benar muncul dari pemikiran bahwa penyataan dan keselamatan diberikan hanya didalam Yesus Kristus. Kedua, agama yang benar ini dibenarkan melalui satu cara yang yang tidak ditegaskan sama sekali dalam agama-agama dunia.[24]
2.6.2.      Karl Rahner
Rahner adalah seorang teolog besar Gereja katolik  pada abad ke-20.[25] Ia memahami bahwa penyataan Allah sebagai penawar kasih kepada manusia, baik sadar maupun tidak, secara eksplisit ia menafsirkan bahwa peristiwa Yesus Kristus merupakan ungkapan yang konkret terhadap kasih Allah yang universal sebagai penyelamatan, merangkul semua orang.[26] Pannenberg juga mengatakan bahwa penyataan Allah itu menghendaki keselamatan bagi semua orang dan percaya kepada Kristus perlu untuk keselamatan.rahmat Allah bekerja dalam diri setiap orang. Oleh karena itu rahmat Allah, rahmat Allah tidak terikat bekerja melalui agama Kristen saja. Kasih karunia Allah didalam Kristus Yesus dapat menjangkau manusia melalui agama bukan Kristen, bahkan dalam diri seorang ateis pun rahmat Allah itu bekerja, yang memberi kemungkinan kepadanya untuk bertindak sesuai dengan hati nuraninya sehingga ia menikmati keselamatan.[27]
2.6.3.      Wolhart Pannenberg
Pannenberg merupakan salah seorang teolog besar pada abad ke-20. Karya teologinya yang berjudul Penyataan Sebagai sejarah. Ia menempatkan penyataan-penyataan Allah, khususnya dalam diri Yesus Kristus, terutama dalam peristiwa kebangkitan Kristus.[28]  Pannenberg menunjukkan bahwa kebangkitan Yesus mengandung makna universal dan tak ada bandingannya sejauh didalam diri Yesus transformasi mulia dari alam semesta sudah secara prolepis menyerap dalam sejarah.[29] Bagi Pannenberg, penyataan sejarah merupakan bentuk satu-satunya dari penyataan. Penyataan yang terjadi dalam sejarah yang biasa dan beranggapan bahwa penyataan ini dapat dimengerti oleh semua orang dan penerimaannya adalah sesuatu yang alamiah.[30]
2.6.4.      Paul Tillich
Paul Tillich dilahirkan di Brandenburg, Jerman, pada tahun 1886. Ayahnya adalah seorang pendeta Gereja Lutheran. Ia belajar Teologi pada beberapa universitas terkemuka di Jerman, yakni Universitas Tubingen, Berlin, Halle dan Breslau.[31] Menurut Tillich di dalam penyataan disingkapkan dimensi yang paling dalam dari kehidupan manusia dan keberadaannya menjadi transparan bagi dasar ilahi yang terdapat di dalamnya. Penyataan adalah manifestasi dari apa yang sangat menyangkut manusia. Tillich menyebut media penyataaan adalah  alam, sejarah dan firman.  Bagi Tillich penyataan di dalam yesus Kristus adalah penyataan yang ultimate yang “menentukan” dan “memberikan norma”.[32]
III.             Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa wahyu adalah suatu penyataan Allah untuk umat manusia, yang dimana tindakan Allah disini untuk membuka diri serta menyatakan diri kepada umat manusia, sehingga melalui tindakan tersebut, manusia dimungkinkan beroleh pengenalan terhadap Allahnya dan dapat bersekutu dengan-Nya. Dalam hal ini model-model wahyu disini untuk memiliki sifat-sifatnya sendiri bagaimana caranya dalam pengenalannya terhadap Allah. Allah juga dalam menyatakan dirinya dalam setiap agama-agamanya untuk menyingkap setiap karya-karyaNya dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kepercayaan agama itu masing-masing. Serta setiap agama juga memiliki cara yang berbeda dalam mengungkapkan penyataan Allah yang terjadi didalam agama-agama tersebut.
IV.             Daftar Pustaka
Adiprasetya Joas, Mencari Dasar Bersama, Jakarta: BPK-GM, 2009
Ali Mukti, Agama-Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998
Becker Dieter, Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK-GM, 2003
Dulles Avery, S. J., Model-Model Wahyu, Flores: Nusa Indah,1994
Hadiwijono Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2008
Keene Michael, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Kanisius, 2006
Lapidus M.Ira, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: BPK-GM,2000
Lasor S.W., Penganatar Perjanjian Lama I, Taurat dan Sejarah, Jakarta: BPK-GM, 2010
Lefebure D.Leo, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, Jakarta: BPK-GM, 2003
Lumintang I. Stevri, Teologi Abu-Abu, Malang: Gandum Mas, 2004
Robert David, Apakah Alkitab itu Benar?, Memahami Kebenaran Alkitab Pada Masa Kini, Jakarta: BPK-GM, 2007
Ruslani, Wacana Spritualitas Timur dan Barat, Yogyakarta: Qalam,2000
Shenk W.David, Ilah-Ilah Global, Jakarta:BPK-GM,2003
Syukur Niko, Pengantar Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Wellem D.F., M.Th, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2003
Kamus :
...., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003



[1] Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-Abu, (Malang: Gandum Mas, 2004), 644
[2] W. S. Lasor, Penganatar Perjanjian Lama I, Taurat dan Sejarah, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 34
[3] Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-Abu, 644-645
[4] ...., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), 1144
[5] Avery Dulles, S. J., Model-Model Wahyu, (Flores: Nusa Indah,1994), 49-129
[6] Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 72-75
[7] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 2008), 29
[8] Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-Abu, 645-650
[9] David Robert, Apakah Alkitab itu Benar?, Memahami Kebenaran Alkitab Pada Masa Kini, (Jakarta: BPK-GM, 2007), 119
[10] Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-Abu, 645-646
[11] Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-Abu, 648
[12] Niko Syukur, Pengantar Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 115
[13] Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-Abu, 649
[14] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 121
[15] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam,(Jakarta: BPK-GM,2000),30
[16] David W. Shenk, Ilah-Ilah Global,(Jakarta:BPK-GM,2003), 345-346
[17] Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, 221
[18] Ruslani, Wacana Spritualitas Timur dan Barat, (Yogyakarta: Qalam,2000),92
[19] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998),60
[20] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, 66-67
[21] David W. Shenk, Ilah-Ilah Global,129-130
[22] F. D. Wellem, M.Th, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 28
[23] Avery Dulles, S. J., Model-Model Wahyu, 103-105
[24] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 51-53
[25] F. D. Wellem, M.Th, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, 161
[26] Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, 152
[27] F. D. Wellem, M.Th, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, 162
[28] F. D. Wellem, M.Th, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, 153
[29] Avery Dulles, S. J., Model-Model Wahyu, 75
[30] Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 38
[31] F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja  183
[32] Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, 37-38