Gereja di
Indonesia
pada Masa Orde Lama
I.
Abstraksi
Paper kali ini akan membahas
tentang bagaimana Gereja di Indonesia pada Masa Orde Lama. Pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945 tidaklah dengan sertamerta membebaskan gereja di Indonesia dari
penderitaan, sebab proklamasi itu disusul oleh serangkaian perang untuk
mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945-1949. Gereja pada masa orde lama banyak mengalami
penderitaan dan mengalami suatu guncangan yang cukup berat. Dan pada orde Lama
gereja ingin dijadikan menjadi negara Islam, sehingga ini merupakan tekanan
yang dirasakan orang Kristen. Akan tetapi meski orang Kristen mengalami
ketertekanan pada masa itu, maka timbul dan semakin terlihat usaha menuju keesaan
gereja untuk
mencapai persatuan artinya perjuangan yang lalui meski banyak tekanan akan
lahirlah persatuan yaitu pada
pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada 25 Mei 1950.
II.
Isi
2.1. Masa Orde Lama
2.1.1. Kehidupan
Gereja di Indonesia
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannykepada dunia. Ini berarti bahwa gereja-gereja di Indonesia
memasuki suatu iklim yang baru yaitu ia hidup dan berada di dalam suatu negara
yang baru saja menyatakan dirinya sebagai suatu negara merdeka. Seperti
diketahui, jepang menyerah kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Oleh karena
itu, Indonesia dikembalikan kepada Belanda. Tentara sekutu yang mendarat di
Indonesia untuk mengambil alih Indonesia dari tangan Jepang dan seterusnya
diserahkan kepada Belanda. Di antaranya terdapatlah tentara-tentara Belanda. Wilayah-wilayah
Indonesia yang telah diduduki sekutu diserahkan kepada Belanda. Belanda terus
mengadakan perluasan wilayahnya dengan kekuatan militer. Hal ini mengakibatkan
gereja-gereja di Indonesia terpisah yaitu sebagian gereja berada di wilayah
penduduk Belanda dan sebagian lagi terdapat dalam wilayah Republik Indonesia. Pada
umumnya kehidupan gereja dalam ke dua wilayah tersebut berada dalam keadaan
sulit. Orang Kristen berada di wilayah penduduk belanda ada yang dituduh
sebagai agen-agen dan mata-mata Republik sehingga mereka di tangkap dan
diinterogasi oleh Belanda dan bahkan ada yang mati dibunu. Tindakan Belanda
tersebut didasari karena ada orang-orang Kristen yang berjuang guna kemerdekaan
Indonesia. Orang-orang Kristen yang berpihak kepada Republik mengungsi kedalam
wilayah RI atau masuk ke hutan. Para pemuda Kristen yang berpihak kepada
Republik bahu membahu dengan pemuda dari golongan lainnya bertempur mealwan
pemerintah Belanda. Dalam kebaktian hari minggu dalam gereja-gereja di Karo
dinaikkan doa syafaat bagi keselamatan RI. Sekalipun kehidupan gereja-gereja
dalam wilayah pendudukan Belanda sulit namun masih lebih baik keadaannya
dibandingkan keadaan gereja-gereja dalam wilayah Republik. Dalam wilayah
pendudukan belanda, pendeta-pendeta belanda telah bekerja kembali. Gedung-gedung
gereja, rumah-rumah Sakit, Sekolah-sekolah telah dikembalikan kepada gereja dan
direhabilitasi. Gereja dan orang Kristen yang berada dalam wilayah Republik
keadaannya lebih menyedihkan. Orang-orang Kristen dituduh sebagai mata-mata dan
pembela belanda. Kadang-kadang terjadi penangkapan dan penganiayaan terhadap
orang Kristen serta gedung gereja dibakar seperti yang terjadi Cilegam, gunung
Putri, kampung sawah pada tahun 1945. Orang-orang Kristen dari terpaksa
mengungsi kebogor dan Jakarta serta ketempat lainnya. Peristiwa ini dapat
dihentikan sesudah pemerintah Republik turun tangan. Selain dari pada
tindakan-tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan itu maka faktor lain
yang menyebabkan gereja dan orang Kristen berada dalam kesulitan adalah karena
tidak adanya keamanan dalam kota sehingga mereka terpaksa mengungsi ke luar
kota. Inilah sebabnya sehingga pelayanan gereja sulit diadakan. Hubungan antar
jemaat dan jemaat dengan sinode sulit diadakan jika tidak dapat dikatakan putus
sama sekali. Harta milik gereja yang pada zaman pendudukan jepang dirampas oleh
jepang kini dikuasai oleh pemerintah Republik. Keadaan yang tidak menentu ini
tidak menjadikan orang Kristen berputus asa. Mereka tetap berusaha agar
pelayanan gereja tetap dijalankan sedapat mungkin. Pada umumnya gereja di
Indoneia pada periode revolusi fisik dan khususnya pada tahun 1945-1946 dapat
dikatakan berada dalam keadaan yang sukar dan menyedihkan. Sekalipun demikian
pelayanan gereja sedapat mungkin tetap diadakan. Banyak juga orang-orang yang
meminta untuk menjadi orang Kristen statistic tahu 1949 menunjukkan bawha
jumlah orang Kristen di Indonesia, 1. 816. 159 orang. Nampaklah bahwa sekalipun
gereja-gereja Tuhan dalam kesulitan namum masih dapat berkembang. Hal ini
menunjukkan kepada kita bahwa Tuhan Allah tidk pernah meninggal gereja dan
umatnya. Dalam keadaan yang sulit ini terdapat beberapa gereja di Indonesia
yang menyatakan dirinya sebagai gereja yang berdiri sendiri. Usaha-usaha
pendewasaan gereja yang telah dirintis pada tahun 30–an terhenti karena
pendudukan jepang. Maka sesudah jepang menyerah dan pendeta –pendeta asing
kembali lagi bekerja di Indonesia. Maka usaha-usaha tersebut ditreruskan lagi.[1]
2.1.2.
Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia
Pembentukan wadah keesaan gereja secara nasional di
dahului oleh serangkaian persiapan. Salah satunya adalah pembentukan Panitia
Perancang yang akan bertugas menyiapkan pembentukan suatu Dewan Nasional Gereja
di Indonesia. Panitia Perancang ini mempersiapkan bahan-bahan bagi Konferensi
Persiapan Pembentukan DGI, yang kemudian diselenggarakan pada tanggal 7-13
November 1949 di Jakarta dihadiri oleh utusan dari 29 gereja. Konferensi ini
menghasilkan sejumlah kesepakatan, antara lain:
a. Menyatakan dengan rasa sedih bahwa perpisahan dan perpecahan
gereja adalah dosa ynag disebabkan oleh ketidaktaatan kepada kehendak Allah dan
berjanji untuk mencari dan mengusahakan keesaan yang benar di dalam Kristus.
b. Segera membentuk DGI sebagai tempat permusyawaratan
dan usaha bersama. Dewan ini hendaknya dipandang sebagai jembatan untuk tiba
kepada keesaan gereja Indonesia.
c. Konferensi menolak konsep mengenai satu Dewan Kristen
Nasional yang akan membuka kenggotaan penuh bagi badan-badan PI dan
lembaga-lembaga Kristen lainnya; yang akan didirikan adalah Dewan
Gereja-gereja, yang keanggotaannya hanya terbuka bagi gereja-gereja di
Indonesia.
Pada tanggal 21-28 Mei 1950 sejumlah tokoh Kristen
berkumpul di Sekolah Tinggi Theologia Jakarta dan menyelenggarakan Konferensi
pembentukan DGI (Sidang I). Pada tanggal 25 Mei 1950 DGI dinyatakan secara
resmi berdiri. Ikrar oikumene tampak dalam manifest Pembentukan DGI.
Yang kedua terkait erat juga dengan masalah isu Negara
Islam, yang terkait erat juga masalah dasar negara. Pada sidang Lengkap II DGI
(20-30 Juni 1953) Refolusi mengenai Kemerdekaan Beragama dan Kementrian Agama
yang antara lain menyatakan
a. Menghendaki dan mempertahankan pengalimatan tentang
keerdekaan agama menurut bunyi artikel 18 dari “Universal Declaration of Human
Rights”, supaya itu dinyatakan dalam UUD RI
b. Menganjurkan supaya dalam NRI ditinjau kembali adanya
susunan kementrian agama, yang sekarang ini mempunyai cabang-cabangnya sampai
pada kecamatan-kecamatan
Berkaitan dengan upaya menyikapi perkembangan kea rah
Negara Islam itu, gereja-gereja di Indonesia harus member respon terhadapnya,
dan jawaban itu harus berupa suatu “jawab bersama” dan tanggung jawab bersama.
Sudah waktunya bagi gereja-gereja di Indonesia untuk memandang seluruh
Indonesia selaku satu saja lapangan pi. Itu berarti bahwa masing-masing gereja
bukan hanya bertanggung jawab atas PI di wilayah sendiri. Salah satu strategi
untuk melaksanakan PI itu adalah
memperkuat gereja yang berada di daerah-daerah yang mayoritas penduduknyanya
beragama Islam. Masih menyangkut masalah dasar negara dan kebebasan beragama
sidang lengkap III itu antara lain sebagai respons atas amanat Presiden
Soekarno juga menyatakan bahwa perlu gereja-gereja memperhatikan dan memberi
isi pada sila pertama yang dapat dipertanggung jawabkan, yakni Ketuhanan Yang Maha
Esa. Sehubungan dengan itu, dalam rangka member masukan terhadap pembaharuan
atau revisi atas UUDS 1950, DGI mengusulkan agar pada UUDS itu (pasal 43)
antara lain dinyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu” dan “ penguasa member
perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang
diakui”.[2]
2.1.3. Pertumbuhan
Gereja di Tengah-tengah Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia/Negara Islam Indonesia (DI/TII/NII)
Darul Islam,[3]
merupakan gerakan separatis Islam yang dirancang oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosuwirjo (1905-1962). Pada intinya gerakan Darul Islam bercita-cita
mendirikan suatu negara Indonesia yang berdasarkan Islam. Kartosuwirjo telah
beberapa kali memproklamasikan negara Islam Darul Islam yang merdeka. Yang
pertama adalah pada tanggal 14 Agustus 1945, sebelum Jepang menyerah kepada
sekutu. Yang kedua adalah tanggal 21 Desember 1948, disitu antara lain
dinyatakan bahwa “Negara Islam Indonesia itu adalah kelanjutan perjuangan
kemerdekaan, menurut dan mengingat Proklamasi 17 Agustus 1945”. Salah satu juga
yang menjadi cita-cita Darul Islam adalah untuk mewujudkan teokrasi Islam,
salah satu alasan kuat lainnya adalah penolakan dan perlawanan terhadap pemerintah
colonial Belanda maupun terhadap kalangan nasionalis sekuler yang dinilainya
mau berkompromi dengan Belanda.
Pada tanggal 7 Agustus 1953 Kahar Muzakkar secara resmi menyatakan diri
bergabung dengan DI/TII. Pasukan Kahar Muzakkar banyak melakukan penyerangan
terhadap pos-pos tentara Republik secara mendadak. Ia juga memerintahkan
pasukannya untuk menculik sejumlah dokter dan pendeta-pendeta Kristen untuk
bekerja di klinik dan sekolah yang dimiliki oleh DI/TII.
Dampak gerakan atau pemberontakan DI/TII terhadap kehidupan gereja atau
umat Kristen serta terhadap hubungan umat Kristen dengan Islam tidak banyak
catatan yang dapat dikumpulkan.[4]
Umat Kristen di Indonesia pastilah menentang dengan keras gagasan dan niat
untuk mendirikan Negara Islam di negeri, juga gagasan ini menurut umat Kristen
bertentangan dengan sila pertama Pancasila dan kemerdekaan beragama yang
dicanangkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia.[5]
Gerakan DI/TII ini terutama beroperasi di Jawa Barat, Kalimantan Selatan
dan Sulawesi Selatan. Gereja-gereja di daerah tersebut mengalami banyak
penderitaan, terutama di daerah tanah Toraja di mana 70.000 orang Kristen
mengalami terror gerombolan bersenjata, termasuk paksaan untuk bertukar agama.
Pemerintah melancarkan penumpasan gerombolan ini selama bertahun-tahun.
Akhirnya berkat kerjasama dengan seluruh masyarakat, berhasillah pemerintah
menumpas gerombolan DI/TII ini. Dengan pulihnya situasi keamanan, nampaklah
secara menyolok pertumbuhan gereja di daerah-daerah. Hal ini disebabkan oleh
kesaksian Gereja itu sendiri, yang dimasa penderitaannya di uji Tuhannya, dan
melalui kesetiaan dan ketekunan dari gereja yang menderita itu, dunia
disekitarnya diyakinkan bahwa iman Kristen mampu mengatasi ketakutan dan maut.
Hal ini telah merupakan kesaksian Gereja yang hidup.[6]
Dibawah ini mengenai dampaknya di Jawa Barat, Koernia
Atje Soejana antara lain:
Yang agak lama mengganggu kehidupan masyarakat adalah
kekacauan yang ditimbulkan DI/TII. Pada waktu itu beberapa jemaat GKP yang
terletak di desa-desa cukup terganggu oleh gerombolan pengacau itu. Yang cukup
parah adalah kejadian yang menimpa jemaat Tamiyang sekitar tahun 1951. Pada
waktu itu Pdt. Oesman Sarim ditembak mati oleh gerombolan pengacau yang tidak
diketahui identitasnya (dalam arti tidak diketahui dengan pasti apakah yang
membunuh Pdt. Sarim itu adalah dari DI/TII ataukah dari kelompok-kelompok
gerobolan liar). Ketika itu banyak rumah penduduk yang dibakar, termasuk rumah
ibadah yang berbentuk masjid. Selama beberapa waktu anggota jemaat mengungsi ke
Haurgeulis yang terletak tidak begitu jauh dari Tamiyang.[7]
Sedangkan dampaknya di Sulawesi Selatan dicatat oleh J.A. Sarira sebagai
berikut:
Pada masa antara 1950-1965: gereja membantu pemerintah
termasuk dalam usaha-usaha pembasmian gerombolan pengacau, termasuk DI/TII.
Selain itu gereja juga memelopori dan melaksanakan usaha-usaha untuk pelayanan
terhadap ribuan pengungsi, janda-janda dan anak yatim piatu.[8]
2.1.4. Konteks yang terjadi pada Orde Lama
1.
Konteks
Politik
Setelah
kemerdekaan tersebut dibicarakalah mengenai dasar negara dan sistem politik pemerintahan
bersama agar sesuai dengan apa yang diharapkan atau yang dikehendaki rakyat
Indonesia. Setelah mengalami pergumulan berat untuk menentukan susunan politik
yang dikehendaki bersama yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka
dicanangkanlah sebuah maklumat untuk mendirikan partai-partai politik. Dan
kemudian timbullah partai-parai tersebut seperti jamur diatas hujan. Dan
kemudian diadakanah Pemilihan Umum yang pertama pada tahun 1955.[9] Dalam pemilihan umum 1955, partai nasionalis PNI
keluar sebagai partai terbesar dengan suara 22,3%. Partai terbesar keempat
adalah partai komunis PKI dengan jumlah suara 16,4%. Nomor 2 dan 3 adalah
masyumi dan NU yang masing-masing memperoleh 20,9% dan 18,4%. PSII ternyata
telah menjadi partai kecil (2,9%); sedangkan Perti sama sekali menjadi tidak
berarti (1,3%). Melalui hasil pemilihan ini telah ternyata bahwa kiprah politik
Islam di Indonesia untuk sementara itu telah gagal. Dalam badan-badan perwakilan
jumlah mayoritas suara yang diperlukan tidak diperoleh, sehingga tidak mungkin
mewujudkan asas-asas Islam tertentu dalam Negara dan masyarakat melalui
cara-cara demokrasi. Oleh karena itu, tahun 1955 dapat dipandang sebagai akhir
dari periode pertama sejarah modern Islam di Indonesia.[10]
2.
Konteks
Eknomi
Karena di Jawa terdapat ibu kota Negara, sebagian
besar kota-kota besar lainnya, mayoritas kaum politis sipil, dan mayoritas
penduduk negara, maka daerah-daerah luar Jawa pada umumnya cenderung dilupakan
oleh pemerintah pusat. Dalam upaya mensubsidi perekonomian impor Jawa, maka
Rupiah Indonesia dipertahankan pada nilai tukar yang dibuat tinggi. Tindakan
ini menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi daerah-daerah luar Jawa. Dengan
lambannya pemulihan ekonomi maka tidaklah mengherankan bahwa Indonesia belum
merdeka secara ekonomi.
Masalah ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia setelah pendudukan Jepang
sangatlah besar. Perkebunan-perkebunan dan instalasi-instalasi industry di
seluruh penjuru negeri rusak berat. Mungkin yang paling penting adalah bahwa
laju pertambahan penduduk meningkat lagi. Diperkirakan jumlah penduduk pada
tahun 1950 adalah 77,2 juta jiwa, pada tahun 1955 berjumlah 85,4 juta jiwa, dan
menurut sensus pada tahun 1961 adalah 97,02 juta jiwa. Produksi pangan
meningkat, tetapi tidak cukup. Produksi beras pada tahun 1956 adalah 26 persen
lebih tinggi daripada produksi pada tahun 1950.[11]
3.
Konteks
Agama
Di tahun-tahun sesudah 1945 kemandirian Gereja secara kenyataan diubah
menjadi kemandirian resmi. Di bidang jumlah, memang ada pertumbuhan gereja
dalam tahun-tahun 1940-1950 dan 1950-1960, tetapi tidak berlebihan ada
pertumbuhan tahunan rata-rata sedikit kurang dari lima persen. Bertambah
jugalah pendeta yang ditahbiskan sedikit lebih tinggi, khususnya di tahun-tahun
pertama.[12]
Seperti yang sudah diketahui bahwa apa yang di alami orang Indonesia pada masa
kehidupan pendudukan Jepang sangat menentukan jalannya Sejarah Gereja di
Indonesia dalam periode ini. Dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu
berakhirlah penindasan, penganiayaan dan penjajahan Jepang atas Indonesia.
Bersamaan dengan itu, usaha dan semangat Indonesia untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dan tanah air sudah mencapai tahap kematangan, yang
berkemuncak dengan proklamasi kemerdekaan. Setelah melewati masa perang
kemerdekaan, Indonesia akhirnya memperoleh kedaulatannya yang penuh. Situasi
ini juga yang ikut mempengaruhi perkembangan gereja di Indonesia yang
ditempatkan ditengah-tengah bangsa dan masyarakat Indonesia. Gambaran “Gereja
Bertumbuh” merupakan ungkapan yang tepat untuk melukiskan keadaan gereja-gereja
Indonesia sejak 1950.[13]
Banyak juga tokoh beragama Kristen menempatkan diri di kalangan nasionalis,
seperti melalui partai-partai Kristen yang ada misalnya, PARKINDO. Sukar untuk
diukur, seberapa besar peranan para pemilih yang beragama Kristen untuk membuat
partai-partai Islam tidak berhasil
menang. Betapa gigihnya perjuangan wakil-wakil mereka di parlemen bahu membahu
dengan kalangan nasionalis, untuk mempertahankan Pancasila.[14]
4.
Konteks Pendidikan
Gereja-gereja yang tersendiri harus memikirkan sendiri pendidikan rendah
bagi para guru agama bahwa di Sumatera, Jawa dan Ujung Pandang perlu diberikan
pendidikan menengah untuk kepentingan gereja-gereja dalam masing-masing daerah
itu. Dewan Gereja-gereja di Indonesia tersebut harus bertanggung jawab atas
pendidikan itu. Ketika sekolah itu sepenuhnya didukung oleh DGI, dan
benar-benar menjadi Sekolah Tinggi Teologia. Di tahun-tahun yang pertama HKBP
terus bersikap ragu-ragu, dan tahun 1954 didirikan Universitas Nommensen dengan
pendidikan teologinya sendiri. Sebelum itu bulan September 1948, Sekolah
Teologi di Makassar dibuka, mula-mula bertempat di SoE (Timor), tetapi sejak
1954 di Ujung Pandang. Tidak lama sebelum itu, Sekolah Teologi di Jawa Timur,
Bale Wijaya dibuka. Pendidikan Teologi di Yogyakarta, yang di prakarsai oleh
gereja-gereja Gereformeed, sudah mulai lagi bulan Oktober 1946, sekarang bukan
lagi guru Injil, melainkan bagi calon pendeta. Juga pendidikan teologi teologi
lainnya, seperti di Sumatera Utara. Sekolah-sekolah teologi ini didirikan ada
tujuannya.[15]
Pendidikan diberi prioritas utama dan jumlah lembaga pendidikan meningkat
secara drastis. Antara tahun 1953 dan 1960 jumlah anak yang memasuki sekolah
dasar meningkat dari 1,7 juta menjadi 2,5 juta. Sekolah-sekolah lanjutan negeri
dan swasta (kebanyakan sekolah agama) dan lembaga-lembaga tingkat universitas
bermunculan di mana-mana tetapi terutama sekali di Jawa, dan banyak yang
mencapai standar yang tinggi. Kini lebih banyak orang yang mencari pekerjaan,
termasuk mereka yang berasal dari lembaga-lembaga pendidikan yang semakin
banyak. Gaji adalah’ rendah dan sangat dipengaruhi inflasi. Ketidakefesienan,
salah urus, dan korupsi kecil-kecilan menjadi biasa.[16]
Dalam konferensi para dosen teologi diadakan awal Januari 1952 di bandung,
hadir juga para wakil pendidikan teologi dari Pati, dari Banjarmasin, dari
Tomohon, dan dari Ambon.[17]
2.2.Kiprah
Kekristenan Pada Masa Orde Lama
Setelah Indonesia
merdeka, jumlah gereja bertambah besar dan kekristenan Indonesia tambah
beraneka ragam. Penyebab yang pertama ialah retaknya beberapa gereja akibat
unsur kesukuan/kedaerahan atau karena faktor lain. Demikianlah di Sumatera
Utara lahirlah GKPS (1963), GKPI (1964) dan HKBP-Angkola (kemudian GKPA), yang
melepaskan diri dari HKBP. Di Nias, AMIN (946), ONKP (1950), dan lain-lain. Di
Sulawesi, GKLB (1966) dan GPIL (1966).[18]
Di tahun-tahun sesudah 1945 kemandirian gereja secara
kenyataan diubah menjadi kemandirian resmi. Dibidang jumlah, memang ada
pertumbuhan dalam tahun-tahun 1940-1950 dan 1950-1960, tetapi tidak berlebihan,
ada pertumbuhan tahunan rata-rata sedikit kurang dari 5%. Gambaran “Gereja
Bertumbuh” merupakan ungkapan yang tepat untuk melukiskan keadaan gereja-gereja
Indonesia sejak 1950.[19]
Banyak juga tokoh beragama Kristen menempatkan diri dikalangan nasionalis,
seperti melalui partai-partai Kristen yang ada misalnya PARKINDO.[20]
Salah satu perkembangan dikalangan kekristenan pada awal periode orde
lama ini adalah pembentukan DGI, 25 Mei 1950. Tujuan utama pembentukan wadah
oikumenis ini adalah sebagaimana dikemukakan pada anggaran dasarnya adalah
“pembentukan gereja Kristen yang Esa di Indonesia”. Perumusan ini disatu sisi
merupakan rumusan teologis yang mengacu pada cita-cita keesaan gereja. Disisi
lain rumusan ini mengandung muatan politis yakni mendukung cita-cita kesatuan
Negara dan Bangsa Indonesia dalam wujud NKRI. Dengan kata lain, sebagian besar
dari gereja-gereja dan umat Keristen di Indonesia pada waktu itu menyadari
pentingnya kesatuan bangsa yang juga harus didukung oleh kesatuan atau keesaan
gereja.[21]
Partisipasi Keristen dalam perjuangan bersenjata dijalankan sebagai
angota-angota dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, di mana orang-orang
Keristen Indonesia sejak mulanya turut memberikan sumbangannya. Di antara
pemimpin Angkatan Perang Republik Indonesia sejak semula terdapat
perwira-perwira Keristen seperti, Kol. Kawilarang, Kol. Simbolon, Laksamana
Muda John Lie, Letnan Djendral Panggabean, Manjor Jendral Pandjaitan. Pada
bulan-bulan pertama sesudah Proklamasi ada juga pasukan khusus yang sebagian
besar terdiri dari orang-orang Keristen seperti, KRIS, pasukan Pattimura,
pasukan istimewa di Jawa Barat, Laskar Kristen di Sumatera Utara. Kewajiban
umat Keristen untuk menentukan tujuan pemerintahan berdasarkan Firman Tuhan,
sebab Kitab Suci menjelaskan kehendak Tuhan dalam segala lapangan kehidupan dan
juga lapangan politik. Tuhan berkehendak, bahwa bangsa Indonesia harus merdeka
dan harus dapat mengatur dan memerintah negaranya sendiri. Kemerdekaan yang
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah sudah menurut kehendak
Tuhan sebab kemerdekaan Indonesia adalah sebagai anugerah dari Tuhan memberi
tugas kewajiban pada umat keristen Indonesia untuk memelihara dan
mempertahankan Anugerah pemberianNya, yakni kemerdekaan Tanah Air dan Bangsa
Indonesia.[22]
Orang-orang Keristen Indonesia pada Tahun 1945-1949 beberapa berpihak
pada Republik. Beberapa daerah Keristen seperti Sumatera Utara mengadakan
perlawanan sangat gigih terhadap tentara Belanda. Tetapapi di pulau Jawa orang
keristen termasuk rakyat keristen di pedusunan, seperti di dorong oleh naluri
alamiah ikut serta dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Keikut sertaan
orang keristen dalam perjuangan nasional memungkinkan mereka diterima oleh
golongan orang lain sebagai warga Negara penuh dalam Negara Indonesia yang
merdeka.[23]
Di bidang keuangan, para pendeta sangat kewalahan, terkhusus di
daerah-daerah, sangat minus pendeta menerima gaji yang memadai, selain itu
juga, yang menjadi persoalan lagi ialah bahwa jemaat kurang bersedia
menyisihkan uang untuk membiayai kegiatan tingkat klasis dan sinode. Maka
biasanya kantor-kantor klasis dan sinode agak terlantar lantaran tidak ada
biaya. Beberapa gereja memutuskan persoalan ini dengan meminta dana untuk
kegiatan tersebut dari gereja mitra di luar negeri. Akibatnya, gereja-gereja
itupun memperoleh sebagian biaya dari luar negeri. Akan tetapi, dengan adanya
pembangunan ekonomi sejak tahun 1970-an, keadaan mulai membaik dan bantuan dari
luar negeri berkurang.
Adanya pernyataan-pernyataan dan
tindakan-tindakan dari Gereja-gereja di Indonesia dalam puluhan tahun terakhir
ini. Ketiga tema itu adalah (1) tema pendamaian, (keterlibatan dalam politik)
dan (3) harapan untuk masa depan dan keterlibatan di masa kini.[24]
Dibawah ini Partai
Politik Kristen Pada Masa Orde Lama[25]
1. Partai
Kristen Nasional (PKN)
Gedung pusat kegiatan Kristen di jalan
Kramat No. 65, yang kemudian disebut Balai Pertemuan Kristen, menjadi tempat
bersejarah dalam rangka sambutan pihak Kristen terhadap persiapan dan
proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia. Ketika berlangsung pembicaraan di
dalam PPKI, Mr. A.A. Maramis dan Sartono memperkenalkan rancangan UUD kepada
kelompok Kristen di Kramat 65. Pemuka-pemuka Kristen waktu itu berkebaratan
terhadap pasal 6 bagian pertama rancangan UUD itu yang menyatakan bahwa
presiden harus orang Indonesia asli dan beragama Islam.
Dinyatakan
oleh hadirin, bahwa walaupun dalam prakteknya presiden itu mungkin selalu akan
seorang Indonesia yang beragama Islam, tetapi hal itu tidak perlu disebut dalam
Undang Undang Dasar, sebab apriori mendiskriminasikan agama-agama lain yang ada
di Indonesia. Siapa saja harus di anggap dapat memangku jabatan presiden, tidak
tergantung dari agama yang dipeluknya, asalkan ia mampu membawakan negara dan
bangsa kepada kebahagiaan yang dicita-citakan.
Di Kramat 65 ini pula para pemuka
Kristen (Protestan dan Katholik) melangsungkan pertemuan. Maklumat pemerintah
tanggal 3 Nopember 1945, yang memberikan kesempatan kepada masyarakat
seluas-luasnya untuk membentuk partai politik, dengan harapan pemilihan umum
dapat dilangsungkan pada bulan Januari 1946. Rencana mendirikan partai politik
Kristen tampaknya tidak mendapat dukungan luas kalangan pemuka Kristen
Protestan, sedangkan pihak katholik yang hadir tidak dapat mengambil bahagian
tanpa petunjuk dari pimpinan gerejanya.
2. Partai
Kristen Indonesia (PARKI)
PARKI bertujuan
mempertahankan NRI (Negara Republik Indonesia) membantu pemerintah mencapai
perdamaian dunia dan mengusahakan keadilan. Partai ini terdiri atas tiga
bagian, yakni Badan Pemuda PARKI, Badan Wanita PARKI dan Belanda Perjuangan
Kelaskaran PARKI Divisi Panah (dengan Malanchton Siregar sebagai panglimanya,
1945-1949). Ketika Dr. Jasmen Saragih terbunuh dalam Revolusi Sosial tanggal 3
Maret 1946, kepemimpinan partai dipegang oleh Melanchton Siregar. Kongres tahun
1946 tersebut merumuskan beberapa butir pendirian sebagai berikut:
a.
PARKI yang berdasarkan kepada faham ke-Kristenan menentang segala
penjajahan
b.
PARKI berpendirian bahwa N.R.I. adalah rahmat Tuhan kepada bangsa
Indonesia dank arena itu tetap mempertahankan N.R.I. yang merdeka 100 %
c.
PARKI mendesak kepada umat Kristen seluruh dunia untuk menolong tuntutan
bangsa Indonesia atas pengakuan kemerdekaan, selaras dengan kodrat alam dan
kehendak Tuhan.
d.
PARKI mendesak, supaya pemerintah menjalankan kewajibannya dengan tepat
dan cepat untuk memberantas segala aliran yang menghalang-halangi pemerintahan.
e.
PARKI mendesak kepada pemerintah supaya dijalankan dengan segera
maklumat-maklumat pemerintah untuk Provinsi Sumatera.
Kongres PARKI di Parapat
tanggal 19-20 April 1947 menyetujui peleburan PARKI ke dalam PARKINDO, sesuai
kesepakatan pengurus PARKINDO dengan wakil PARKI yang menghadiri rapat Komite
Nasional Pusat di Malang (yang berlangsung pada tanggal 25 Februari – 3 Maret
1947). Persetujuan peleburan itu disahkan dalam Kongres ke-2 PARKINDO pada
bulan April 1947 di Sukarta.
3. Partai
Kristen Indonesia (PARKINDO)
Kongres PKN, tanggal 6 dan 7 Desember 1945 di
Surakarta (kemudian dikenal sebagai Kongres ke- 1 PARKINDO) “mendapatkan
sambutan hangat dari umat Kristen, pemerintahan dan masyarakat umum yang
menghadapi kekuatan colonial Belanda dari negeri yang warganya kebanyakan
beragama Kristen”. Pada kongres ini nama partai diganti menjadi Partai Kristen
Indonesia, di singkat PARKINDO. Kongres dihadiri 60 wakil dari 31 daerah di
jawa, dan sejumlah peninjau (hari kedua peserta seumurnya 154 orang).
Pemikiran-pemikiran yang mendukung lahirnya Partai Kristen Imdonesia dapat
diungkapkan melalui karangan-karangan beberapa tokoh Partai yang di muat dalam
majalah partai Kristen ini, pedoman: Suara Umat Kristen di Indonesia, yang
diterbitkan secara dua mingguan sejak bulan Desember 1945 oleh Badan Penerbit
Kristen di Jakarta. Pemikiran Politik PARKINDO pada tahun-tahun pertama dapat
pula diungkapkan melalui pernyataan politiknya. Pada kongres ke-2 tahun 1947,
PARKINDO merumuskan “Pernyataan Dasar Pendirian Parkindo”. Dalam 4 pasal
masing-masing mengenai Tuhan sebagai dasar keberadaan segala sesuatu, Negara
sebagai kehendak Tuhan, hakikat PARKINDO dan dukungan terhadap demokrasi.
Pemikiran teologi mengenai politik, yang diungkapkan para pemuka PARKINDO,
menunjukkan pengaruh Calvinisme, khususnya yang diperkembangkan di kalangan
politikus Kristen Belanda. Pemerintah adalah hamba Allah dan gereja atau Orang
Kristen terpanggil untuk menyaksikan kehendak Allah dalam segala kehendak Allah
dalam segala lapangan kehidupan, juga dikalangan politik. Dengan kata lain
politik Kristen memperjuangkan semacam teokrasi, yakni menyelenggarakan
kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara sesuai prinsip-prinsip agama (Kristen).
Demikianlah pembentukan partai-partai Kristen Indonesia yang bermuara pada
PARKINDO pada awal kemerdekaan RI pertama-tama adalah tanda kesadaran
nasionalisme orang Kristen bahwa orang Kristen Indonesia juga terpanggil untuk
turut memperjuangkan masa depan bangsanya yang baru merdeka.
2.3.Tokoh-tokoh
dalam Masa Orde Lama
2.3.1.
T. S.G. Moelia
Ia lahir 21 Januari 1896 di Padang Sidempuan dan menempuh sekolah
menengah dan tinggi di Negeri Belanda sampai memperoleh gelar doktor Sastra dan
Filsafat di samping gelar Sarjana Hukum di Leiden. Pada umur 25 tahun, ia
diangkat menjadi anggota dewan rakyat, disamping bekerja sebagai guru dan dalam
departemen pendidikan. Ia menjadi Mentri Pertahanan dan Keamanan dalam Kabinet
RI yang kedua (1945-1946). Setelah itu, Dr. Moelia terutama mencurahkan tenaga
di bidang kegerejaan: pada tahun 1928. Kesatuan gereja tetap menjadi perkara
penting baginya, dan pada tahun 1950 ia menjadi ketua pertama DGI (1950-1960).
Disamping itu, ia menjabat Ketua Lembaga Alkitab Indonesia (1954-1966). Ketua
Pengurus Sekolah Tinggi Teologi di Jakarta, dan Ketua Pengurus Universitas
Kristen Indonesia yang didirikannya pada tahun 1953. Ia pun menjadi redaktur
Ensiklopedia Indonesia (terbitan pertama).[26]
Ia juga menyampaikan ceramah mengenai “Stewardship” (Tugas Penatalayanan) yang
membuahkan pembahasan mengenai banyak sekali masalah praktis. Kemandirian
gereja-gereja muda di bidang keuangan
merupakan hal yang juga mendapat prioritas yang disebabkan oleh karena keadaan
masyarakat dan politik. Seperti dalam makalahnya yang berjudul “Kepemimpinan”
(1935). VU menghormatinya pada tanggal 20 oktober 1966, beberapa minggu sebelum
ia meninggal dengan memberi kepadanya gelar doctor kehormatan dalam teologi.
Dalam kesempatan itu, J.Verkuyl bertindak sebagai promotornya.[27]
Hanya sedikit yang ditulis sesudah tahun 1945 oleh Dr. Moelia di bidang
gereja, oikumene dan teologi. Selama masa yang singkat ia menjabat Menteri
Pendidikan (Oktober 1945-Oktober 1946), tetapi sesudah itu ia tidak lagi
memainkan peran dalam bidang politik republic. Barangkali sikapnya yang
sederhana, moderat, kooperatif, yang sudah ditunjukkannya sebelum tahun 1940.
Ia tidak pernah menjadi tokoh nasional yang terkenal. Tahun 1949 ia menulis
buku tentang India, Negara yang berfungsi sebagai teladan bagi Negara Indonesia
yang masih muda. Selanjutnya ia memusatkan daya pikirnya pada bidangnya sendiri
dan demi Ensiklopedia Indonesia. Bagi
DGI, STT Jakarta dan LAI ia sangat berarti. Selama 10 tahun ia menjabat sebagai
ketua DGI dan memimpinnya secara stimulatif. Dalam Sidang Raya DGI tahun 1956.[28]
2.3.2.
A. L. (Tine) Fransz
Augustine (Tine) Fransz lahir tahun 1907 di Bojenegoro. Dia pernah
memiliki studi di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (1926-1933), tahun 1950-1988
bekerja di DGI.[29]
Dia sosok seorang yang selalu bersikap sederhana, namun ia memiliki segi yang
sangat unik di kalangan oikumene. Ia tergolong generasi pertama dari CSV dan
belajar hukum di Jakarta. Setelah lulus 1933 ia menjadi Sekertaris bagian
Indonesia dari Young Women Christian Association.
Setelah tahun 1950 tak terhitung banyaknya konferensi dan konsultasi di
dalam maupun di luar negeri yang ia hadiri selaku sekertaris DGI. Disamping itu
ia juga bagian dari Kontituante yang
di tahun 50-an dengan sia-sia berusaha menyusun undang-undang dasar bagi
Indonesia. Tidak mengherankan bahwa Verkuyl menyebutnya sebagai salah satu dari
pionir Dewan gereja-gereja.[30]
Dalam ceramah yang diadakan Fransz dalam konferensi pemimpin kaum muda Kristen,
November 1940 di Salatiga, berjudul Persatuan
Kita dalam Kristus yang melebihi segala persatuan lain. Persatuan dalam
Kristus mendobrak segala perbedaan antara ras, bangsa atau gereja, yang
membagi-bagi manusia berbagai kelompok. Hanya Yesus yang mampu mendobrak keterpecahan kita dan menjadikan persatuan itu
tampak. Oleh karena itu orang Kristen di Cina dan Jepang tidak mau saling
berpisah dalam doa meskipun negara mereka sedang berperang.begitu pula orang
Kristen di Indonesia tidak mau melepaskan orang-orang berketurunan Jerman.
Kesaksian mengenai persatuan dalam Kristus itu telah menjadi bagian penting
dalam hidup Fransz.[31]
A.L. Fransz (1907-1995) menulis lebih banyak karangan sesudah 1945.
Salah satunya adalah Biografi John Mott, yang dimana John Mott ini adalah
seorang tokoh zending dan oikumene di Indonesia. Arti Fransz secara teologi,
paling tepat bisa digambarkan seperti yang disebutkan oleh Verkuyl tentang
Moelia, yakni dengan kata-kata berikut: Teologinya lebih dibiarkan bergerak
bebas dan dihayati dari pada digambarkan dengan tulisan. Rasa ibanya yang besar
terhadap manusia dan usahanya untuk memperjuangkan struktur-struktur adil,
tampak paling jelas dari rasa perihatinnya bagi mereka yang sesudah tahun 1965
menjadi orang buangan, baik dalam masyarat maupun dalam bidang politik.
Ditahun-tahun 70-an dia berpartisipasi dalam proyek Benih Yang Tumbuh yang mendorong gereja-gereja anggota DGI agar
masing-masing mawas diri.[32]
2.3.3.
J. Leimena
Johannes Leimena (1905-1977), dia berasal dari Ambon tetapi ia tinggal
di Jakarta sejak usia mudanya. Di kota itu dia bersekolah di STOVIA. Kemudian
dari tahun 1930-1941 ia bekerja sebagai dokter di R.S Zending di Bandung.[33]
Johannes Leimena lahir pada tanggal 6 Maret di Ambon.[34]
Johannes merupakan tokoh paling produktif dalam generasi sebelum perang
ialah pasti Johannes Leimena. Dibandingkan dengan Moelia dan Fransz, priode
dari tahun 1940-1945 lebih membawa perubahan-perubahan dalam pandangannya. Dia
berjuang demi kesatuan yang tamapak dalam ceramah dalam rapat sinode Gereja
Protestan Maluku (GPM) bulan April 1955. Ketegangan antara Gereja dan Negara
tampaknya sedikit berkurang dalam pemikirannya sesudah perang. Hubungannya yang
erat dengan Soekarno, yang terus berjuang bagi kesejajaran tujuan Negara dan
agama-agama. Gereja harus menjadi ragi, garam, terang dalam masyarakat dan
harus berusaha mencapai suadana dan mengalakkan perkembangan desa dan memberi
keprihatinan terhadap budaya lokal. Sepanjang hidupnya perhatian besar Leimena
tidak pernah luntur bagi kesejahteraan masyarakat sosial setiap orang. Hal itu
dibuktikan oleh berbagai publikasi di bidang kesehatan rakyat dan etika. Leimena
sejak usia mudanya ia berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
selalu menjadi tujuan penting bagi Leimena. Dalam hal ini dinyatakan dalam
penulisannya, antara lain ketika ia menuluis tentang masalah kesehatan
masyarakat dan etik medis. Di bawah pengaruh Karl Bart. Leimena seperti juga
orang-orang sejamannya, menyadari bahwa zending medis adalah “tanda” dari kasih
Allah. Demikianlah, muli tahun 1939 ia dapat menentukan bahwa keberadaan
zending pada akhirnya tidak hanya terletak dalam kesaksian oleh perbuatan
(seperti meringankan kesusahan jiwa dan raga pasien), melainkan dalam
pemberitaan rahmat dan kasih Allah kepada manusia yang hidup dalam kesusahana”.
Pengutusan sang putera ke dunia menurut Leimena adalah perbuatan paling mulia
yang dapat dilakukan oleh Allah Bapa bagi anak-anak-Nya yang berdosa. Sebab itu
tidak mengherankan bahwa bagian Alkitab dari Yohanes 1:1-18 tergolong ayat yang
paling disukainya.[35]
Leimena yang akrab di sapa Om Jo ini merupakan
seorang negarawan sejati, hal ini dapat kita lihat dari keseluruhan kabinet
masa Soekarno Johannes Leimena pasti menjadi menterinya. Karena keberhasilannya
masuk kedalam setiap cabinet tidak sedikit orang yang mencibir dan menganggap
Om Jo sebagai “bunglon politik” karena menjadi menteri 18 kali dalam kabinet,
serta menjadi penjabat kriisten sebanyak 7 kali. Dalam prinsip politiknya pria
yang selalu menyebutkan kata rustig,
rustig, rustig ini sering mengatakan bahwa politik bukan alat kekuasaan
melainkan etika untuk melayani. Walaupun ia politisi Kristen, Leimena tetaplah
seseorang yang mampu memposisikan dirinya dalam dinamika politik saat itu yang
beragam macamnya. Ideologi Kristen dapat dipertemukan dengann ideologi
Pancasila yang menjadi pandangan hidup bangsa, hal ini terlihat dengan perannya
dalam pembentukan DGI pada tahun 1950 dimana dalam lembaga ini ia terpilih
sebagai Wakil Ketua yang membidangi komisi gereja dan Negara. Om Jo berpulang
dengan damai pada tanggal 29 Maret 1977.[36]
Menjelang akhir hidupnya pada tahun 1976 beliau masih menghadiri
konsultasi pentimg tentang gereja dan masyarakat dan dengan penuh emosi ia
mengetengahkan disitu bahwa gereja sebagai persekutuan akan diludahkan oleh
Allah bila tidak menanggapi tanda-tanda zaman yang telah diberikan Tuhan dalam
sejarah dan bila tidak mau memikul tanggung jawab atas masalah manusia didalam
masyarakat. Juga sikap penggembalaannya yang mendorongnya untuk selalu berusaha
merukunkan tidak pernah berubah. Dalam usahanya mempersatukan atau merukunkan
ada kaliamat yang ditulisnya: “seharusnya kita melestarikan semangat oikumene,
semangat yang melambangkan seluruh dunia Kristen, semangat yang direstui oleh Tuhan
bagi semua orang Kristen, bersama dengan orang Keristen di Belanda, dan
bersama-sama dengan orng-orang Kristen diseluruh dunia”. Mungkin usahanya yang
bertujuan mendamaikan itu telah mempengaruhi banyak Gereja dan orang Keristen
Indonesia yang dimasa-masa sesudah tahun 1965.[37]
2.3.4. A. M.
Tambunan
Albert Mangara Tambunan (1911-1970), semasa hidupnya aktif di kalangan
Partindo dan juga dalam Parlemen, selain itu ia pernah menjabat sebagai Menteri
Sosia (1967-1970). Dalam ceramah 1952 disebutnya 4 alasan mengapa mengenai hal
itu orang Keristen dulu berdiri di garis pinggir:
1.
Politik adalah
urusan pemerintah Kolonial, sedangkan Dewan Rakyat adalah lembaga tanpa
kekusaan.
2.
Sebelum perang,
orang Kristen terlalu sibuk memperjuangkan kemandirian Gereja smereka terlalu
lelah untuk memikirkan perjuangan Nasionalis umum.
3.
Politik tidak
membawa perbaikan ke masyarakatan bagi orang keristen yang sampai 1942
menduduki posisi yang Istimewa.
4.
Politik juga berarti bahwa tangan seseorang
menjadi kotor.
Tambunan menunjuk pada dua masalah. Pertama-tama, ada kenyataan bahwa
para pendeta akan memegang jabatan pemerintahan, padahal mereka justru
diperlukan didalam gereja. Kedua, karena telah mengadakan berbagai kompromi
yang berkaitan erat dengan usaha politik, mereka harus bertindak berlawanan
dengan prinsip-prinsip mereka dan dengan kitab suci sehingga mereka memperlemah
kata hati mereka.[38]
2.3.5. T. B.
Simatupang
T.B Simatupang lahir pada tanggal 28 Januari 1920 di Sidikalang yang
pada waktu itu terletak pada Kresidenan Tapanuli. Bapaknya bernama Simon
Simatupang, gelar Mangaraja Suaduon, bekerja sebagai kepala kantor pos.
kemudian keluarganya pindah ke Siborong-borong, masih di Tapanuli dan dari sana
keluarganya pindah ke Pematang Siantar. Di Pematang Siantar ia menamatkan
sekolah dasar yang berbahasa Belanda (HIS atau Hollands Inlandse Schule), yang dikunjungi oleh anak-anak “Kampung
Kristen” dan dari “Kampung Melayu”. Ia mendirikan “Persatuan Christen
Indonesia”, disingkat “PERCHI” yang kemudian dianggap salah satu pendahulu bagi
parti Kristen Indonesia (Parki/Parkindo), yang didirikan setelah Proklamasi
kemerdekaan. Dia menulis karangan-karangan untuk surat-surat kabar dalam bahasa
Batak, Indonesia dan Belanda, dia mengadakan ceramah-ceramah dan menulis
buku-buku tentang kebudayaan dan marga-marga batak. Dia juga aktif dalam
kehidupan dan persekolahan Kristen.[39]
2.3.6.
Amir Syarafudin
Amir Syarafudin dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1907 di
Medan Tapanuli Selatan daerah yang memiliki percampuran antara Kristen dan juga
Islam dari pasangan Baginda Soripada Harahap dengan Basoeno Siregar.[40]
Amir
yang aslinya bermarga harahap sengaja tidak menggunakan marga di belakang
namnya karena kesepakatan yang diambil pada kongres pemuda 1927 untuk tidak
mempergunakan marga dan gelar kebangsawanan untuk menunjukkkan bahawa semua nya
orang Indonesia dan sama derajatnya. Amir menyelesaikan pelajarannya pada ELS
di sibolga dan melanjutkan pendidikan nya di Belanda menyusul abang sepupunya
yaitu Toean Soetan Goenoeng Mulia (T.S.G.Mulia). dan Amir muda tinggal di rumah
seorang bernama Nyonya A.A. van de
Loosdrecht-Sizoo, yaitu seorang janda dari Pekabar injil A.A. van de
Loodsdrecht-Sizoo yang mati ketika mengabarkan inijil di tanah toraja.[41] Ketika
masih belajar di Sekolah Tinggi Hukum Amir menjadi pemimpin Jong Sumatera
bersama M.Yamin, bersama beberapa pemuda keristen lainnya ia turut
mempersiapkan dan menyelengarakan Kongres Pemuda. Pada masa itu Amir pun yang
berasal dari Tapanuli Selatan masuk keristen. Peralihan itu dibawah pengaruh
Prof. Mr. J.M. Schepper, mantan konsul Zending dan Direktor Zending. Tokoh
Schepper ini meskipun berkebangsaan Belanda dapat diterima oleh orang yang
berjiwa Nasional sebab ia berani menyerang Politik Kolonial. Pada tahun 1937
Amir menjadi tokoh Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO). Pada masa kemerdekaan,
Amir menjadi menteri Penerangan, Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri
(1947-1948).[42] Amir juga
berperan dalam menumbuhkan Nasionalisme di HKBP hal ini tampak ketika kemelut
yang terjadi di HKBP antara HKBP dan perseteruan dengan pemerintah belanda dan
BNZ maka pada tanggal 2 Maret 1941dibentuklah komite penilai yang di ketuai
oleh J.M.Panggabean dengan Sekretaris Dr.L.Tobing dan penasihat dari Komite ini
ialah Amir sendiri.[43]
Amir
sebelum meninggal ditangkap pada tanggal 29 November 1948 di desa Klambu 20 KM
dari Purwodadi amir ditangkap karena dia merupakan salah satu pemimpin PKI yang
diangap akan melakukan pemberontakan. Setelah di tangkap seorang temannya
berkata kepada nya untuk menghubungi Soekarno Hatta agar lepas namun Amir
menolak dia tidak ingin berhutang budi kepada dua tokoh itu. Setelah di tahan
di Yogyakarya Amir di kembalikan di Solo dan di penjarakan disana, dalam Rapat
Kabinett tertanggal 18 Desember 1948 dibicarakan apa tindakan yang dilakukan
kepada pemimpin PKI jikalau Belanda melakukan AGresi Militer,dari 12 orang
menteri maka 4 orang menteri meminta
Amir dan kawan-kawannya di tembak mati, 4 orang menghendaki supaya Amir di bebaskan
dan 4 orang tidak memberikan suara lalu Presiden Soekarno dengan hak Veto nya
memerintahkan bahwa Amir dan kawan-kawannya tidak boleh di tembak. Pada tanggal
19 Desember 1948 di pagi hari Belanda melakukan Agresi Militer nya dan Gatot
Subroto sebagai Gubernur Militer di Solo memerintahkan untuk menembak mati
semua pemimpin PKI di daerah Ngalian, sebelah timur kota Solo. Dan jenazahnya
dikuburkan massal di tempat tersebut.[44]
III.
Refleksi Teologis
Seiring dengan perkembangan dan berjalannya waktu pada
Orde Lama ini Kekristenan di Indonesia sangatlah menyedihkan dan mengalami
banyak penderitaan dan bahkan kekristenan di orde lama ini Orang Kristen
dituduh sebagai agen dan mata-mata Republik sehingga orang Kristen pada saat
itu ada yang ditangkap dan ada yang sampai mati dibunuh. Dalam hal ini kita
melihat bahwa mereka mengalami tekanan, akan tetapi gereja masih tetap bisa
bersatu dengan membentuk DGI untuk
menentang ketidak adilan yang terjadi, dan seiring perkembangan yang terjadi
juga kita juga bisa melihat bagaiamana persoalan agama yang menjadi hal yang
sangat sensitif yang menimbulkan perpecahan di Indonesia apalagi di tahun-tahun
Politik dan di negara Demokrasi di Indonesia oleh karena itu geraja harus bisa
mengambil sikap dan bersatu untuk mempertahankan dan membela yang benar. Seperti dalam 1 Korintus 12: 25 “supaya
jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang
berbeda itu saling memperhatikan”.
IV.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas kami penyaji menyimpulkan bahwa
pada masa Orde Lama dipimpin oleh Soekarno-Hatta dimana hubungan partai politik
dan Gereja dekat atau akrab. Anatara Gereja dan parpol adalah hubungan
simbiosis mutualisme. Dapat dilihat dalam perkataan J. Leimena mengatakan bahwa
Kalau Gereja berdiri ditengah-tengah
lapangan, maka disekitar lapangan itu sebagai pagar penjaga berdirilah Parkindo
dengan ormas-ormas Kristen lainnya untuk menjaga Gereja yang menjadi pusat
kehidupan orang-orang Kristen di Indonesia itu. Kita juga dapat melihat
peran serta para tokoh dalam masa orde lama. Dari apa yang telah dipaparkan akan apa dan bagaimana Gereja pada masa orde
lama.
V.
Daftar
Pustaka
Arintonang, Jan S., Sejarah Perjumpaan Keristen dan Islam di Indonesia, Jakarta:
BPK-GM, 2010
Arintonang, Jan. S., Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas, Bandung: Jurnal Info
Media, 2007
Boland, B.J., Pergumulan
Islam di Indonesia, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985
Boland, B.J., Pergumulan
Islam di Indonesia, Jakarta: PT Temprint, 1985
End, Th. Van Den & J. Weitjens, SJ, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK-GM, 2012
F.
Ukur & F. L .Cooley,
Benih yang Tumbuh VIII, Irian Jaya: Gereja Keristen Irian Jaya dan Lembaga
Penelitian dan Studi Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, 1974
Hoekema, A. G., Berpikir
dalam Keseimbangan yang Dinamis, Jakarta: BPK-GM, 1997
Kartodirdjo, Sejarah
Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1993
Muskens, M. P. M., Sejarah
Gereja Indonesia: Pengintegrasian di Alam Indonesia, Ende-Flores:
Percetakan Arnoldus, 1973
Ngelao, Zakaria J., Kekristenan dan Nasionalisme, Jakarta: BPK-GM, 2011
Ricklefs, M. C., Sejarah
Indonesia Modern, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1993
Rifleks, M.C., Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi, 2005
Sijabat, W. B., Partisipasi
Kristen dalam Nation Building di Indonesia, Bandung: Grafika Unit II, 1968
Simatupang, Tahi Bonar, Percakapan T.B. Simatupang, Jakarta: BPK-GM 1989
Simorangkir, M. S. E., Ajaran Dua Kerajaan Allah dan Relevansinya di Indonesia, Bandung:
Penerbit Satu-satu, 2011
Sirait, Saud, Politik
Kristen di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 1997
Ukur, F. & F. L .Cooley, Jerih dan Juang, Jakarta:
Lembaga dan Penelitian dan Studi DGI, 1979
Wellem, Frederick D., Amir
Syaraffudin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Bekasi:
Jalan Permata Aksara, 2009
Sumber Lain:
https://ezhou5.wordpress.com/kristiantz/sejarah-di-indonesia. diakses pada Kamis, 26 Oktober 2017, pukul 02.02 WIB
[1] Frederiek Djara Wellem, Amir Sjarifoeddin Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan
Kemerdekaan Indonesia, (Jakarta: Jala Permaat Aksara, 2009), 129-131
[2] Azyumardi Azra, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 285-291
[3] Darul Islam (dar al-Islam) secara harfiah berarti
“rumah” atau “keluarga” Islam, dan secara luas berarti “dunia atau wilayah
Islam”. Yang dimaksud adalah bagian Islam dari dunia yang di dalamnya keyakinan
Islam dan pelaksanaan syariat Islam dan peraturan-peraturannya diwajibkan.
Darul Islam digunakan bagi gerakan-gerakan sesudah 1945 yang berusaha dengan
kekerasan untuk merealisasikan cita-cita Negara Islam Indonesia.
[4] Azyumardi Azra, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 292-302
[8] J.A. Sarira, Benih yang Tumbuh VI, (Rantepao &
Jakarta: BPS GKTR dan LPS DGI, 1975), 323. Catatan sarira ini dapat dilengkapi
dengan informasi lisan dari beberapa warga dan tokoh masyarakat Toraja (Pdt.
Dr. R. P. Borrong, tokoh masyarakat Toraja Mamasa asal kecamatan Kalumpang)
tentang kekejaman gerombolan DI/TII, misalnya merusak, membakar dan membunuh.
Tetapi penderitaan ini dapat juga dipandang sebagai blessing in disguise, mendorong masyarakat Toraja untuk merantau
dan meraih kemajuan di perantauan.
[9] F. Ukur & F. L
.Cooley, Jerih dan Juang, 362
[14] Jan. S.
Aritonang, Belajar Memahami Sejarah di
Tengah Realitas, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 25-27
[15] Tujuan
utama sekolah pandita ialah
mengajarkan kepada para murid supaya ambil berdoa, mereka memperdalam
pengetahuan mengenai Kitab Suci.
[20] Jan. S.
Aritonang, Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas,
(Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 25-27
[21] https://ezhou5.wordpress.com/kristiantz/sejarah-di-indonesia. diakses
pada Kamis, 26 Oktober 2017, pukul 02.02
WIB
[22] W. B.
Sijabat, Partisipasi Kristen dalam Nation
Building di Indonesia, (Bandung: Grafika Unit II, 1968), 23-24
[24] T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, 42
[25]Zakaria J. Ngelow, Kekristenan
dan Nasionalisme, (Jakarta : BPK-GM,2011), 174-180
[28] Siding
raya dilakukan bukan hanya sekali, namun juga dilakukan pada tahun 1953, 1956,
1960, 1964, 1967, 1971, dan 1976.
[30] A. G.
Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang
Dinamis, 137-138
[33] A. G.
Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang
Dinamis, 139
[34] Tim Penyusun, Johannes Leimena Negarawan Sejati dan
Politis Berhati Nurani, (Jakarta: BPK-GM, 2007), 278
[36] Tim Penyusun, Johannes
Leimena Negarawan
Sejati, Politisi Berhati
Nurani, (Jakarta: BPK-GM,2007),
11-13
[39] Tahi
Bonar Simatupang, Percakapan T.B.
Simatupang, (Jakarta: BPK-GM 1989), 87
[40]
Frederick D. Wellem, Amir Syaraffudin:
Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, (Bekasi:
Jalan Permata Aksara, 2009), 30
[41]F.D.Wellem, Amir
SjarifoeddinTempatnyadalamKekristenandanPerjuangankemerdekaan Indonesia,(Jakarta
: UtOmnes Unum SInt Institute, 2009), 30-36
[42] Th. Van
Den End & J. Weitjens, SJ, Ragi
Carita 2, 403
[43]Turman Sirait & Gopas Sirait, Ephorus
Pdt.Kasianus Sirait, (Laguboti: Yayasan TP Arjuna, 2005), 111
[44]F.D.Wellem, Amir
SjarifoeddinTempatnyadalamKekristenandanPerjuangankemerdekaan Indonesia,196-200
Tidak ada komentar:
Posting Komentar