Jumat, 10 Mei 2019



Gereja di Indonesia pada Masa Orde Lama
I.                   Abstraksi
Paper kali ini akan membahas tentang bagaimana Gereja di Indonesia pada Masa Orde Lama. Pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidaklah dengan sertamerta membebaskan gereja di Indonesia dari penderitaan, sebab proklamasi itu disusul oleh serangkaian perang untuk mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945-1949. Gereja pada masa orde lama banyak mengalami penderitaan dan mengalami suatu guncangan yang cukup berat. Dan pada orde Lama gereja ingin dijadikan menjadi negara Islam, sehingga ini merupakan tekanan yang dirasakan orang Kristen. Akan tetapi meski orang Kristen mengalami ketertekanan pada masa itu, maka timbul dan semakin terlihat usaha menuju keesaan gereja untuk mencapai persatuan artinya perjuangan yang lalui meski banyak tekanan akan lahirlah persatuan yaitu pada pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada 25 Mei 1950.
II.                Isi
2.1. Masa Orde Lama 
2.1.1.      Kehidupan Gereja di Indonesia
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannykepada dunia. Ini berarti bahwa gereja-gereja di Indonesia memasuki suatu iklim yang baru yaitu ia hidup dan berada di dalam suatu negara yang baru saja menyatakan dirinya sebagai suatu negara merdeka. Seperti diketahui, jepang menyerah kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Oleh karena itu, Indonesia dikembalikan kepada Belanda. Tentara sekutu yang mendarat di Indonesia untuk mengambil alih Indonesia dari tangan Jepang dan seterusnya diserahkan kepada Belanda. Di antaranya terdapatlah tentara-tentara Belanda. Wilayah-wilayah Indonesia yang telah diduduki sekutu diserahkan kepada Belanda. Belanda terus mengadakan perluasan wilayahnya dengan kekuatan militer. Hal ini mengakibatkan gereja-gereja di Indonesia terpisah yaitu sebagian gereja berada di wilayah penduduk Belanda dan sebagian lagi terdapat dalam wilayah Republik Indonesia. Pada umumnya kehidupan gereja dalam ke dua wilayah tersebut berada dalam keadaan sulit. Orang Kristen berada di wilayah penduduk belanda ada yang dituduh sebagai agen-agen dan mata-mata Republik sehingga mereka di tangkap dan diinterogasi oleh Belanda dan bahkan ada yang mati dibunu. Tindakan Belanda tersebut didasari karena ada orang-orang Kristen yang berjuang guna kemerdekaan Indonesia. Orang-orang Kristen yang berpihak kepada Republik mengungsi kedalam wilayah RI atau masuk ke hutan. Para pemuda Kristen yang berpihak kepada Republik bahu membahu dengan pemuda dari golongan lainnya bertempur mealwan pemerintah Belanda. Dalam kebaktian hari minggu dalam gereja-gereja di Karo dinaikkan doa syafaat bagi keselamatan RI. Sekalipun kehidupan gereja-gereja dalam wilayah pendudukan Belanda sulit namun masih lebih baik keadaannya dibandingkan keadaan gereja-gereja dalam wilayah Republik. Dalam wilayah pendudukan belanda, pendeta-pendeta belanda telah bekerja kembali. Gedung-gedung gereja, rumah-rumah Sakit, Sekolah-sekolah telah dikembalikan kepada gereja dan direhabilitasi. Gereja dan orang Kristen yang berada dalam wilayah Republik keadaannya lebih menyedihkan. Orang-orang Kristen dituduh sebagai mata-mata dan pembela belanda. Kadang-kadang terjadi penangkapan dan penganiayaan terhadap orang Kristen serta gedung gereja dibakar seperti yang terjadi Cilegam, gunung Putri, kampung sawah pada tahun 1945. Orang-orang Kristen dari terpaksa mengungsi kebogor dan Jakarta serta ketempat lainnya. Peristiwa ini dapat dihentikan sesudah pemerintah Republik turun tangan. Selain dari pada tindakan-tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan itu maka faktor lain yang menyebabkan gereja dan orang Kristen berada dalam kesulitan adalah karena tidak adanya keamanan dalam kota sehingga mereka terpaksa mengungsi ke luar kota. Inilah sebabnya sehingga pelayanan gereja sulit diadakan. Hubungan antar jemaat dan jemaat dengan sinode sulit diadakan jika tidak dapat dikatakan putus sama sekali. Harta milik gereja yang pada zaman pendudukan jepang dirampas oleh jepang kini dikuasai oleh pemerintah Republik. Keadaan yang tidak menentu ini tidak menjadikan orang Kristen berputus asa. Mereka tetap berusaha agar pelayanan gereja tetap dijalankan sedapat mungkin. Pada umumnya gereja di Indoneia pada periode revolusi fisik dan khususnya pada tahun 1945-1946 dapat dikatakan berada dalam keadaan yang sukar dan menyedihkan. Sekalipun demikian pelayanan gereja sedapat mungkin tetap diadakan. Banyak juga orang-orang yang meminta untuk menjadi orang Kristen statistic tahu 1949 menunjukkan bawha jumlah orang Kristen di Indonesia, 1. 816. 159 orang. Nampaklah bahwa sekalipun gereja-gereja Tuhan dalam kesulitan namum masih dapat berkembang. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa Tuhan Allah tidk pernah meninggal gereja dan umatnya. Dalam keadaan yang sulit ini terdapat beberapa gereja di Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai gereja yang berdiri sendiri. Usaha-usaha pendewasaan gereja yang telah dirintis pada tahun 30–an terhenti karena pendudukan jepang. Maka sesudah jepang menyerah dan pendeta –pendeta asing kembali lagi bekerja di Indonesia. Maka usaha-usaha tersebut ditreruskan lagi.[1]
2.1.2.      Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia
Pembentukan wadah keesaan gereja secara nasional di dahului oleh serangkaian persiapan. Salah satunya adalah pembentukan Panitia Perancang yang akan bertugas menyiapkan pembentukan suatu Dewan Nasional Gereja di Indonesia. Panitia Perancang ini mempersiapkan bahan-bahan bagi Konferensi Persiapan Pembentukan DGI, yang kemudian diselenggarakan pada tanggal 7-13 November 1949 di Jakarta dihadiri oleh utusan dari 29 gereja. Konferensi ini menghasilkan sejumlah kesepakatan, antara lain:
a.       Menyatakan dengan rasa sedih bahwa perpisahan dan perpecahan gereja adalah dosa ynag disebabkan oleh ketidaktaatan kepada kehendak Allah dan berjanji untuk mencari dan mengusahakan keesaan yang benar di dalam Kristus.
b.      Segera membentuk DGI sebagai tempat permusyawaratan dan usaha bersama. Dewan ini hendaknya dipandang sebagai jembatan untuk tiba kepada keesaan gereja Indonesia.
c.       Konferensi menolak konsep mengenai satu Dewan Kristen Nasional yang akan membuka kenggotaan penuh bagi badan-badan PI dan lembaga-lembaga Kristen lainnya; yang akan didirikan adalah Dewan Gereja-gereja, yang keanggotaannya hanya terbuka bagi gereja-gereja di Indonesia.
Pada tanggal 21-28 Mei 1950 sejumlah tokoh Kristen berkumpul di Sekolah Tinggi Theologia Jakarta dan menyelenggarakan Konferensi pembentukan DGI (Sidang I). Pada tanggal 25 Mei 1950 DGI dinyatakan secara resmi berdiri. Ikrar oikumene tampak dalam manifest Pembentukan DGI.
Yang kedua terkait erat juga dengan masalah isu Negara Islam, yang terkait erat juga masalah dasar negara. Pada sidang Lengkap II DGI (20-30 Juni 1953) Refolusi mengenai Kemerdekaan Beragama dan Kementrian Agama yang antara lain menyatakan
a.       Menghendaki dan mempertahankan pengalimatan tentang keerdekaan agama menurut bunyi artikel 18 dari “Universal Declaration of Human Rights”, supaya itu dinyatakan dalam UUD RI
b.      Menganjurkan supaya dalam NRI ditinjau kembali adanya susunan kementrian agama, yang sekarang ini mempunyai cabang-cabangnya sampai pada kecamatan-kecamatan
Berkaitan dengan upaya menyikapi perkembangan kea rah Negara Islam itu, gereja-gereja di Indonesia harus member respon terhadapnya, dan jawaban itu harus berupa suatu “jawab bersama” dan tanggung jawab bersama. Sudah waktunya bagi gereja-gereja di Indonesia untuk memandang seluruh Indonesia selaku satu saja lapangan pi. Itu berarti bahwa masing-masing gereja bukan hanya bertanggung jawab atas PI di wilayah sendiri. Salah satu strategi untuk  melaksanakan PI itu adalah memperkuat gereja yang berada di daerah-daerah yang mayoritas penduduknyanya beragama Islam. Masih menyangkut masalah dasar negara dan kebebasan beragama sidang lengkap III itu antara lain sebagai respons atas amanat Presiden Soekarno juga menyatakan bahwa perlu gereja-gereja memperhatikan dan memberi isi pada sila pertama yang dapat dipertanggung jawabkan, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehubungan dengan itu, dalam rangka member masukan terhadap pembaharuan atau revisi atas UUDS 1950, DGI mengusulkan agar pada UUDS itu (pasal 43) antara lain dinyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu” dan “ penguasa member perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui”.[2]
2.1.3.      Pertumbuhan Gereja di Tengah-tengah Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia (DI/TII/NII)
Darul Islam,[3] merupakan gerakan separatis Islam yang dirancang oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (1905-1962). Pada intinya gerakan Darul Islam bercita-cita mendirikan suatu negara Indonesia yang berdasarkan Islam. Kartosuwirjo telah beberapa kali memproklamasikan negara Islam Darul Islam yang merdeka. Yang pertama adalah pada tanggal 14 Agustus 1945, sebelum Jepang menyerah kepada sekutu. Yang kedua adalah tanggal 21 Desember 1948, disitu antara lain dinyatakan bahwa “Negara Islam Indonesia itu adalah kelanjutan perjuangan kemerdekaan, menurut dan mengingat Proklamasi 17 Agustus 1945”. Salah satu juga yang menjadi cita-cita Darul Islam adalah untuk mewujudkan teokrasi Islam, salah satu alasan kuat lainnya adalah penolakan dan perlawanan terhadap pemerintah colonial Belanda maupun terhadap kalangan nasionalis sekuler yang dinilainya mau berkompromi dengan Belanda.
Pada tanggal 7 Agustus 1953 Kahar Muzakkar secara resmi menyatakan diri bergabung dengan DI/TII. Pasukan Kahar Muzakkar banyak melakukan penyerangan terhadap pos-pos tentara Republik secara mendadak. Ia juga memerintahkan pasukannya untuk menculik sejumlah dokter dan pendeta-pendeta Kristen untuk bekerja di klinik dan sekolah yang dimiliki oleh DI/TII.
Dampak gerakan atau pemberontakan DI/TII terhadap kehidupan gereja atau umat Kristen serta terhadap hubungan umat Kristen dengan Islam tidak banyak catatan yang dapat dikumpulkan.[4] Umat Kristen di Indonesia pastilah menentang dengan keras gagasan dan niat untuk mendirikan Negara Islam di negeri, juga gagasan ini menurut umat Kristen bertentangan dengan sila pertama Pancasila dan kemerdekaan beragama yang dicanangkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia.[5]
Gerakan DI/TII ini terutama beroperasi di Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Gereja-gereja di daerah tersebut mengalami banyak penderitaan, terutama di daerah tanah Toraja di mana 70.000 orang Kristen mengalami terror gerombolan bersenjata, termasuk paksaan untuk bertukar agama. Pemerintah melancarkan penumpasan gerombolan ini selama bertahun-tahun. Akhirnya berkat kerjasama dengan seluruh masyarakat, berhasillah pemerintah menumpas gerombolan DI/TII ini. Dengan pulihnya situasi keamanan, nampaklah secara menyolok pertumbuhan gereja di daerah-daerah. Hal ini disebabkan oleh kesaksian Gereja itu sendiri, yang dimasa penderitaannya di uji Tuhannya, dan melalui kesetiaan dan ketekunan dari gereja yang menderita itu, dunia disekitarnya diyakinkan bahwa iman Kristen mampu mengatasi ketakutan dan maut. Hal ini telah merupakan kesaksian Gereja yang hidup.[6]
Dibawah ini mengenai dampaknya di Jawa Barat, Koernia Atje Soejana antara lain:
Yang agak lama mengganggu kehidupan masyarakat adalah kekacauan yang ditimbulkan DI/TII. Pada waktu itu beberapa jemaat GKP yang terletak di desa-desa cukup terganggu oleh gerombolan pengacau itu. Yang cukup parah adalah kejadian yang menimpa jemaat Tamiyang sekitar tahun 1951. Pada waktu itu Pdt. Oesman Sarim ditembak mati oleh gerombolan pengacau yang tidak diketahui identitasnya (dalam arti tidak diketahui dengan pasti apakah yang membunuh Pdt. Sarim itu adalah dari DI/TII ataukah dari kelompok-kelompok gerobolan liar). Ketika itu banyak rumah penduduk yang dibakar, termasuk rumah ibadah yang berbentuk masjid. Selama beberapa waktu anggota jemaat mengungsi ke Haurgeulis yang terletak tidak begitu jauh dari Tamiyang.[7]
Sedangkan dampaknya di Sulawesi Selatan dicatat oleh J.A. Sarira sebagai berikut:
Pada masa antara 1950-1965: gereja membantu pemerintah termasuk dalam usaha-usaha pembasmian gerombolan pengacau, termasuk DI/TII. Selain itu gereja juga memelopori dan melaksanakan usaha-usaha untuk pelayanan terhadap ribuan pengungsi, janda-janda dan anak yatim piatu.[8]
2.1.4.       Konteks yang terjadi pada Orde Lama
1.      Konteks Politik
Setelah kemerdekaan tersebut dibicarakalah mengenai dasar negara dan sistem politik pemerintahan bersama agar sesuai dengan apa yang diharapkan atau yang dikehendaki rakyat Indonesia. Setelah mengalami pergumulan berat untuk menentukan susunan politik yang dikehendaki bersama yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dicanangkanlah sebuah maklumat untuk mendirikan partai-partai politik. Dan kemudian timbullah partai-parai tersebut seperti jamur diatas hujan. Dan kemudian diadakanah Pemilihan Umum yang pertama pada tahun 1955.[9] Dalam pemilihan umum 1955, partai nasionalis PNI keluar sebagai partai terbesar dengan suara 22,3%. Partai terbesar keempat adalah partai komunis PKI dengan jumlah suara 16,4%. Nomor 2 dan 3 adalah masyumi dan NU yang masing-masing memperoleh 20,9% dan 18,4%. PSII ternyata telah menjadi partai kecil (2,9%); sedangkan Perti sama sekali menjadi tidak berarti (1,3%). Melalui hasil pemilihan ini telah ternyata bahwa kiprah politik Islam di Indonesia untuk sementara itu telah gagal. Dalam badan-badan perwakilan jumlah mayoritas suara yang diperlukan tidak diperoleh, sehingga tidak mungkin mewujudkan asas-asas Islam tertentu dalam Negara dan masyarakat melalui cara-cara demokrasi. Oleh karena itu, tahun 1955 dapat dipandang sebagai akhir dari periode pertama sejarah modern Islam di Indonesia.[10]
2.      Konteks Eknomi
Karena di Jawa terdapat ibu kota Negara, sebagian besar kota-kota besar lainnya, mayoritas kaum politis sipil, dan mayoritas penduduk negara, maka daerah-daerah luar Jawa pada umumnya cenderung dilupakan oleh pemerintah pusat. Dalam upaya mensubsidi perekonomian impor Jawa, maka Rupiah Indonesia dipertahankan pada nilai tukar yang dibuat tinggi. Tindakan ini menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi daerah-daerah luar Jawa. Dengan lambannya pemulihan ekonomi maka tidaklah mengherankan bahwa Indonesia belum merdeka secara ekonomi.
Masalah ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia setelah pendudukan Jepang sangatlah besar. Perkebunan-perkebunan dan instalasi-instalasi industry di seluruh penjuru negeri rusak berat. Mungkin yang paling penting adalah bahwa laju pertambahan penduduk meningkat lagi. Diperkirakan jumlah penduduk pada tahun 1950 adalah 77,2 juta jiwa, pada tahun 1955 berjumlah 85,4 juta jiwa, dan menurut sensus pada tahun 1961 adalah 97,02 juta jiwa. Produksi pangan meningkat, tetapi tidak cukup. Produksi beras pada tahun 1956 adalah 26 persen lebih tinggi daripada produksi pada tahun 1950.[11]

3.      Konteks Agama
Di tahun-tahun sesudah 1945 kemandirian Gereja secara kenyataan diubah menjadi kemandirian resmi. Di bidang jumlah, memang ada pertumbuhan gereja dalam tahun-tahun 1940-1950 dan 1950-1960, tetapi tidak berlebihan ada pertumbuhan tahunan rata-rata sedikit kurang dari lima persen. Bertambah jugalah pendeta yang ditahbiskan sedikit lebih tinggi, khususnya di tahun-tahun pertama.[12] Seperti yang sudah diketahui bahwa apa yang di alami orang Indonesia pada masa kehidupan pendudukan Jepang sangat menentukan jalannya Sejarah Gereja di Indonesia dalam periode ini. Dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu berakhirlah penindasan, penganiayaan dan penjajahan Jepang atas Indonesia. Bersamaan dengan itu, usaha dan semangat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan tanah air sudah mencapai tahap kematangan, yang berkemuncak dengan proklamasi kemerdekaan. Setelah melewati masa perang kemerdekaan, Indonesia akhirnya memperoleh kedaulatannya yang penuh. Situasi ini juga yang ikut mempengaruhi perkembangan gereja di Indonesia yang ditempatkan ditengah-tengah bangsa dan masyarakat Indonesia. Gambaran “Gereja Bertumbuh” merupakan ungkapan yang tepat untuk melukiskan keadaan gereja-gereja Indonesia sejak 1950.[13] Banyak juga tokoh beragama Kristen menempatkan diri di kalangan nasionalis, seperti melalui partai-partai Kristen yang ada misalnya, PARKINDO. Sukar untuk diukur, seberapa besar peranan para pemilih yang beragama Kristen untuk membuat partai-partai Islam tidak  berhasil menang. Betapa gigihnya perjuangan wakil-wakil mereka di parlemen bahu membahu dengan kalangan nasionalis, untuk mempertahankan Pancasila.[14]
4.      Konteks Pendidikan
Gereja-gereja yang tersendiri harus memikirkan sendiri pendidikan rendah bagi para guru agama bahwa di Sumatera, Jawa dan Ujung Pandang perlu diberikan pendidikan menengah untuk kepentingan gereja-gereja dalam masing-masing daerah itu. Dewan Gereja-gereja di Indonesia tersebut harus bertanggung jawab atas pendidikan itu. Ketika sekolah itu sepenuhnya didukung oleh DGI, dan benar-benar menjadi Sekolah Tinggi Teologia. Di tahun-tahun yang pertama HKBP terus bersikap ragu-ragu, dan tahun 1954 didirikan Universitas Nommensen dengan pendidikan teologinya sendiri. Sebelum itu bulan September 1948, Sekolah Teologi di Makassar dibuka, mula-mula bertempat di SoE (Timor), tetapi sejak 1954 di Ujung Pandang. Tidak lama sebelum itu, Sekolah Teologi di Jawa Timur, Bale Wijaya dibuka. Pendidikan Teologi di Yogyakarta, yang di prakarsai oleh gereja-gereja Gereformeed, sudah mulai lagi bulan Oktober 1946, sekarang bukan lagi guru Injil, melainkan bagi calon pendeta. Juga pendidikan teologi teologi lainnya, seperti di Sumatera Utara. Sekolah-sekolah teologi ini didirikan ada tujuannya.[15] Pendidikan diberi prioritas utama dan jumlah lembaga pendidikan meningkat secara drastis. Antara tahun 1953 dan 1960 jumlah anak yang memasuki sekolah dasar meningkat dari 1,7 juta menjadi 2,5 juta. Sekolah-sekolah lanjutan negeri dan swasta (kebanyakan sekolah agama) dan lembaga-lembaga tingkat universitas bermunculan di mana-mana tetapi terutama sekali di Jawa, dan banyak yang mencapai standar yang tinggi. Kini lebih banyak orang yang mencari pekerjaan, termasuk mereka yang berasal dari lembaga-lembaga pendidikan yang semakin banyak. Gaji adalah’ rendah dan sangat dipengaruhi inflasi. Ketidakefesienan, salah urus, dan korupsi kecil-kecilan menjadi biasa.[16] Dalam konferensi para dosen teologi diadakan awal Januari 1952 di bandung, hadir juga para wakil pendidikan teologi dari Pati, dari Banjarmasin, dari Tomohon, dan dari Ambon.[17]


2.2.Kiprah Kekristenan Pada Masa Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka, jumlah gereja bertambah besar dan kekristenan Indonesia tambah beraneka ragam. Penyebab yang pertama ialah retaknya beberapa gereja akibat unsur kesukuan/kedaerahan atau karena faktor lain. Demikianlah di Sumatera Utara lahirlah GKPS (1963), GKPI (1964) dan HKBP-Angkola (kemudian GKPA), yang melepaskan diri dari HKBP. Di Nias, AMIN (946), ONKP (1950), dan lain-lain. Di Sulawesi, GKLB (1966) dan GPIL (1966).[18]
Di tahun-tahun sesudah 1945 kemandirian gereja secara kenyataan diubah menjadi kemandirian resmi. Dibidang jumlah, memang ada pertumbuhan dalam tahun-tahun 1940-1950 dan 1950-1960, tetapi tidak berlebihan, ada pertumbuhan tahunan rata-rata sedikit kurang dari 5%. Gambaran “Gereja Bertumbuh” merupakan ungkapan yang tepat untuk melukiskan keadaan gereja-gereja Indonesia sejak 1950.[19] Banyak juga tokoh beragama Kristen menempatkan diri dikalangan nasionalis, seperti melalui partai-partai Kristen yang ada misalnya PARKINDO.[20]
Salah satu perkembangan dikalangan kekristenan pada awal periode orde lama ini adalah pembentukan DGI, 25 Mei 1950. Tujuan utama pembentukan wadah oikumenis ini adalah sebagaimana dikemukakan pada anggaran dasarnya adalah “pembentukan gereja Kristen yang Esa di Indonesia”. Perumusan ini disatu sisi merupakan rumusan teologis yang mengacu pada cita-cita keesaan gereja. Disisi lain rumusan ini mengandung muatan politis yakni mendukung cita-cita kesatuan Negara dan Bangsa Indonesia dalam wujud NKRI. Dengan kata lain, sebagian besar dari gereja-gereja dan umat Keristen di Indonesia pada waktu itu menyadari pentingnya kesatuan bangsa yang juga harus didukung oleh kesatuan atau keesaan gereja.[21]
Partisipasi Keristen dalam perjuangan bersenjata dijalankan sebagai angota-angota dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, di mana orang-orang Keristen Indonesia sejak mulanya turut memberikan sumbangannya. Di antara pemimpin Angkatan Perang Republik Indonesia sejak semula terdapat perwira-perwira Keristen seperti, Kol. Kawilarang, Kol. Simbolon, Laksamana Muda John Lie, Letnan Djendral Panggabean, Manjor Jendral Pandjaitan. Pada bulan-bulan pertama sesudah Proklamasi ada juga pasukan khusus yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Keristen seperti, KRIS, pasukan Pattimura, pasukan istimewa di Jawa Barat, Laskar Kristen di Sumatera Utara. Kewajiban umat Keristen untuk menentukan tujuan pemerintahan berdasarkan Firman Tuhan, sebab Kitab Suci menjelaskan kehendak Tuhan dalam segala lapangan kehidupan dan juga lapangan politik. Tuhan berkehendak, bahwa bangsa Indonesia harus merdeka dan harus dapat mengatur dan memerintah negaranya sendiri. Kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah sudah menurut kehendak Tuhan sebab kemerdekaan Indonesia adalah sebagai anugerah dari Tuhan memberi tugas kewajiban pada umat keristen Indonesia untuk memelihara dan mempertahankan Anugerah pemberianNya, yakni kemerdekaan Tanah Air dan Bangsa Indonesia.[22] 
Orang-orang Keristen Indonesia pada Tahun 1945-1949 beberapa berpihak pada Republik. Beberapa daerah Keristen seperti Sumatera Utara mengadakan perlawanan sangat gigih terhadap tentara Belanda. Tetapapi di pulau Jawa orang keristen termasuk rakyat keristen di pedusunan, seperti di dorong oleh naluri alamiah ikut serta dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Keikut sertaan orang keristen dalam perjuangan nasional memungkinkan mereka diterima oleh golongan orang lain sebagai warga Negara penuh dalam Negara Indonesia yang merdeka.[23]
Di bidang keuangan, para pendeta sangat kewalahan, terkhusus di daerah-daerah, sangat minus pendeta menerima gaji yang memadai, selain itu juga, yang menjadi persoalan lagi ialah bahwa jemaat kurang bersedia menyisihkan uang untuk membiayai kegiatan tingkat klasis dan sinode. Maka biasanya kantor-kantor klasis dan sinode agak terlantar lantaran tidak ada biaya. Beberapa gereja memutuskan persoalan ini dengan meminta dana untuk kegiatan tersebut dari gereja mitra di luar negeri. Akibatnya, gereja-gereja itupun memperoleh sebagian biaya dari luar negeri. Akan tetapi, dengan adanya pembangunan ekonomi sejak tahun 1970-an, keadaan mulai membaik dan bantuan dari luar negeri berkurang.
            Adanya pernyataan-pernyataan dan tindakan-tindakan dari Gereja-gereja di Indonesia dalam puluhan tahun terakhir ini. Ketiga tema itu adalah (1) tema pendamaian, (keterlibatan dalam politik) dan (3) harapan untuk masa depan dan keterlibatan di masa kini.[24]
Dibawah ini Partai Politik Kristen Pada Masa Orde Lama[25]
1.      Partai Kristen Nasional (PKN)
Gedung pusat kegiatan Kristen di jalan Kramat No. 65, yang kemudian disebut Balai Pertemuan Kristen, menjadi tempat bersejarah dalam rangka sambutan pihak Kristen terhadap persiapan dan proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia. Ketika berlangsung pembicaraan di dalam PPKI, Mr. A.A. Maramis dan Sartono memperkenalkan rancangan UUD kepada kelompok Kristen di Kramat 65. Pemuka-pemuka Kristen waktu itu berkebaratan terhadap pasal 6 bagian pertama rancangan UUD itu yang menyatakan bahwa presiden harus orang Indonesia asli dan beragama Islam.
Dinyatakan oleh hadirin, bahwa walaupun dalam prakteknya presiden itu mungkin selalu akan seorang Indonesia yang beragama Islam, tetapi hal itu tidak perlu disebut dalam Undang Undang Dasar, sebab apriori mendiskriminasikan agama-agama lain yang ada di Indonesia. Siapa saja harus di anggap dapat memangku jabatan presiden, tidak tergantung dari agama yang dipeluknya, asalkan ia mampu membawakan negara dan bangsa kepada kebahagiaan yang dicita-citakan.
Di Kramat 65 ini pula para pemuka Kristen (Protestan dan Katholik) melangsungkan pertemuan. Maklumat pemerintah tanggal 3 Nopember 1945, yang memberikan kesempatan kepada masyarakat seluas-luasnya untuk membentuk partai politik, dengan harapan pemilihan umum dapat dilangsungkan pada bulan Januari 1946. Rencana mendirikan partai politik Kristen tampaknya tidak mendapat dukungan luas kalangan pemuka Kristen Protestan, sedangkan pihak katholik yang hadir tidak dapat mengambil bahagian tanpa petunjuk dari pimpinan gerejanya.
2.      Partai Kristen Indonesia (PARKI)
PARKI bertujuan mempertahankan NRI (Negara Republik Indonesia) membantu pemerintah mencapai perdamaian dunia dan mengusahakan keadilan. Partai ini terdiri atas tiga bagian, yakni Badan Pemuda PARKI, Badan Wanita PARKI dan Belanda Perjuangan Kelaskaran PARKI Divisi Panah (dengan Malanchton Siregar sebagai panglimanya, 1945-1949). Ketika Dr. Jasmen Saragih terbunuh dalam Revolusi Sosial tanggal 3 Maret 1946, kepemimpinan partai dipegang oleh Melanchton Siregar. Kongres tahun 1946 tersebut merumuskan beberapa butir pendirian sebagai berikut:
a.       PARKI yang berdasarkan kepada faham ke-Kristenan menentang segala penjajahan
b.      PARKI berpendirian bahwa N.R.I. adalah rahmat Tuhan kepada bangsa Indonesia dank arena itu tetap mempertahankan N.R.I. yang merdeka 100 %
c.       PARKI mendesak kepada umat Kristen seluruh dunia untuk menolong tuntutan bangsa Indonesia atas pengakuan kemerdekaan, selaras dengan kodrat alam dan kehendak Tuhan.
d.      PARKI mendesak, supaya pemerintah menjalankan kewajibannya dengan tepat dan cepat untuk memberantas segala aliran yang menghalang-halangi pemerintahan.
e.       PARKI mendesak kepada pemerintah supaya dijalankan dengan segera maklumat-maklumat pemerintah untuk Provinsi Sumatera.
Kongres PARKI di Parapat tanggal 19-20 April 1947 menyetujui peleburan PARKI ke dalam PARKINDO, sesuai kesepakatan pengurus PARKINDO dengan wakil PARKI yang menghadiri rapat Komite Nasional Pusat di Malang (yang berlangsung pada tanggal 25 Februari – 3 Maret 1947). Persetujuan peleburan itu disahkan dalam Kongres ke-2 PARKINDO pada bulan April 1947 di Sukarta.

3.      Partai Kristen Indonesia (PARKINDO)
Kongres PKN, tanggal 6 dan 7 Desember 1945 di Surakarta (kemudian dikenal sebagai Kongres ke- 1 PARKINDO) “mendapatkan sambutan hangat dari umat Kristen, pemerintahan dan masyarakat umum yang menghadapi kekuatan colonial Belanda dari negeri yang warganya kebanyakan beragama Kristen”. Pada kongres ini nama partai diganti menjadi Partai Kristen Indonesia, di singkat PARKINDO. Kongres dihadiri 60 wakil dari 31 daerah di jawa, dan sejumlah peninjau (hari kedua peserta seumurnya 154 orang). Pemikiran-pemikiran yang mendukung lahirnya Partai Kristen Imdonesia dapat diungkapkan melalui karangan-karangan beberapa tokoh Partai yang di muat dalam majalah partai Kristen ini, pedoman: Suara Umat Kristen di Indonesia, yang diterbitkan secara dua mingguan sejak bulan Desember 1945 oleh Badan Penerbit Kristen di Jakarta. Pemikiran Politik PARKINDO pada tahun-tahun pertama dapat pula diungkapkan melalui pernyataan politiknya. Pada kongres ke-2 tahun 1947, PARKINDO merumuskan “Pernyataan Dasar Pendirian Parkindo”. Dalam 4 pasal masing-masing mengenai Tuhan sebagai dasar keberadaan segala sesuatu, Negara sebagai kehendak Tuhan, hakikat PARKINDO dan dukungan terhadap demokrasi. Pemikiran teologi mengenai politik, yang diungkapkan para pemuka PARKINDO, menunjukkan pengaruh Calvinisme, khususnya yang diperkembangkan di kalangan politikus Kristen Belanda. Pemerintah adalah hamba Allah dan gereja atau Orang Kristen terpanggil untuk menyaksikan kehendak Allah dalam segala kehendak Allah dalam segala lapangan kehidupan, juga dikalangan politik. Dengan kata lain politik Kristen memperjuangkan semacam teokrasi, yakni menyelenggarakan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara sesuai prinsip-prinsip agama (Kristen). Demikianlah pembentukan partai-partai Kristen Indonesia yang bermuara pada PARKINDO pada awal kemerdekaan RI pertama-tama adalah tanda kesadaran nasionalisme orang Kristen bahwa orang Kristen Indonesia juga terpanggil untuk turut memperjuangkan masa depan bangsanya yang baru merdeka.

2.3.Tokoh-tokoh dalam Masa Orde Lama
2.3.1.      T. S.G. Moelia
Ia lahir 21 Januari 1896 di Padang Sidempuan dan menempuh sekolah menengah dan tinggi di Negeri Belanda sampai memperoleh gelar doktor Sastra dan Filsafat di samping gelar Sarjana Hukum di Leiden. Pada umur 25 tahun, ia diangkat menjadi anggota dewan rakyat, disamping bekerja sebagai guru dan dalam departemen pendidikan. Ia menjadi Mentri Pertahanan dan Keamanan dalam Kabinet RI yang kedua (1945-1946). Setelah itu, Dr. Moelia terutama mencurahkan tenaga di bidang kegerejaan: pada tahun 1928. Kesatuan gereja tetap menjadi perkara penting baginya, dan pada tahun 1950 ia menjadi ketua pertama DGI (1950-1960). Disamping itu, ia menjabat Ketua Lembaga Alkitab Indonesia (1954-1966). Ketua Pengurus Sekolah Tinggi Teologi di Jakarta, dan Ketua Pengurus Universitas Kristen Indonesia yang didirikannya pada tahun 1953. Ia pun menjadi redaktur Ensiklopedia Indonesia (terbitan pertama).[26] Ia juga menyampaikan ceramah mengenai “Stewardship” (Tugas Penatalayanan) yang membuahkan pembahasan mengenai banyak sekali masalah praktis. Kemandirian gereja-gereja  muda di bidang keuangan merupakan hal yang juga mendapat prioritas yang disebabkan oleh karena keadaan masyarakat dan politik. Seperti dalam makalahnya yang berjudul “Kepemimpinan” (1935). VU menghormatinya pada tanggal 20 oktober 1966, beberapa minggu sebelum ia meninggal dengan memberi kepadanya gelar doctor kehormatan dalam teologi. Dalam kesempatan itu, J.Verkuyl bertindak sebagai promotornya.[27]

Hanya sedikit yang ditulis sesudah tahun 1945 oleh Dr. Moelia di bidang gereja, oikumene dan teologi. Selama masa yang singkat ia menjabat Menteri Pendidikan (Oktober 1945-Oktober 1946), tetapi sesudah itu ia tidak lagi memainkan peran dalam bidang politik republic. Barangkali sikapnya yang sederhana, moderat, kooperatif, yang sudah ditunjukkannya sebelum tahun 1940. Ia tidak pernah menjadi tokoh nasional yang terkenal. Tahun 1949 ia menulis buku tentang India, Negara yang berfungsi sebagai teladan bagi Negara Indonesia yang masih muda. Selanjutnya ia memusatkan daya pikirnya pada bidangnya sendiri dan demi Ensiklopedia Indonesia. Bagi DGI, STT Jakarta dan LAI ia sangat berarti. Selama 10 tahun ia menjabat sebagai ketua DGI dan memimpinnya secara stimulatif. Dalam Sidang Raya DGI tahun 1956.[28]

2.3.2.      A. L. (Tine) Fransz
Augustine (Tine) Fransz lahir tahun 1907 di Bojenegoro. Dia pernah memiliki studi di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (1926-1933), tahun 1950-1988 bekerja di DGI.[29] Dia sosok seorang yang selalu bersikap sederhana, namun ia memiliki segi yang sangat unik di kalangan oikumene. Ia tergolong generasi pertama dari CSV dan belajar hukum di Jakarta. Setelah lulus 1933 ia menjadi Sekertaris bagian Indonesia dari Young Women Christian Association. Setelah tahun 1950 tak terhitung banyaknya konferensi dan konsultasi di dalam maupun di luar negeri yang ia hadiri selaku sekertaris DGI. Disamping itu ia juga bagian dari Kontituante yang di tahun 50-an dengan sia-sia berusaha menyusun undang-undang dasar bagi Indonesia. Tidak mengherankan bahwa Verkuyl menyebutnya sebagai salah satu dari pionir Dewan gereja-gereja.[30] Dalam ceramah yang diadakan Fransz dalam konferensi pemimpin kaum muda Kristen, November 1940 di Salatiga, berjudul Persatuan Kita dalam Kristus yang melebihi segala persatuan lain. Persatuan dalam Kristus mendobrak segala perbedaan antara ras, bangsa atau gereja, yang membagi-bagi manusia berbagai kelompok. Hanya Yesus yang mampu mendobrak  keterpecahan kita dan menjadikan persatuan itu tampak. Oleh karena itu orang Kristen di Cina dan Jepang tidak mau saling berpisah dalam doa meskipun negara mereka sedang berperang.begitu pula orang Kristen di Indonesia tidak mau melepaskan orang-orang berketurunan Jerman. Kesaksian mengenai persatuan dalam Kristus itu telah menjadi bagian penting dalam hidup Fransz.[31]
A.L. Fransz (1907-1995) menulis lebih banyak karangan sesudah 1945. Salah satunya adalah Biografi John Mott, yang dimana John Mott ini adalah seorang tokoh zending dan oikumene di Indonesia. Arti Fransz secara teologi, paling tepat bisa digambarkan seperti yang disebutkan oleh Verkuyl tentang Moelia, yakni dengan kata-kata berikut: Teologinya lebih dibiarkan bergerak bebas dan dihayati dari pada digambarkan dengan tulisan. Rasa ibanya yang besar terhadap manusia dan usahanya untuk memperjuangkan struktur-struktur adil, tampak paling jelas dari rasa perihatinnya bagi mereka yang sesudah tahun 1965 menjadi orang buangan, baik dalam masyarat maupun dalam bidang politik. Ditahun-tahun 70-an dia berpartisipasi dalam proyek Benih Yang Tumbuh yang mendorong gereja-gereja anggota DGI agar masing-masing mawas diri.[32]  
2.3.3.      J. Leimena
Johannes Leimena (1905-1977), dia berasal dari Ambon tetapi ia tinggal di Jakarta sejak usia mudanya. Di kota itu dia bersekolah di STOVIA. Kemudian dari tahun 1930-1941 ia bekerja sebagai dokter di R.S Zending di Bandung.[33] Johannes Leimena lahir pada tanggal 6 Maret di Ambon.[34]
Johannes merupakan tokoh paling produktif dalam generasi sebelum perang ialah pasti Johannes Leimena. Dibandingkan dengan Moelia dan Fransz, priode dari tahun 1940-1945 lebih membawa perubahan-perubahan dalam pandangannya. Dia berjuang demi kesatuan yang tamapak dalam ceramah dalam rapat sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) bulan April 1955. Ketegangan antara Gereja dan Negara tampaknya sedikit berkurang dalam pemikirannya sesudah perang. Hubungannya yang erat dengan Soekarno, yang terus berjuang bagi kesejajaran tujuan Negara dan agama-agama. Gereja harus menjadi ragi, garam, terang dalam masyarakat dan harus berusaha mencapai suadana dan mengalakkan perkembangan desa dan memberi keprihatinan terhadap budaya lokal. Sepanjang hidupnya perhatian besar Leimena tidak pernah luntur bagi kesejahteraan masyarakat sosial setiap orang. Hal itu dibuktikan oleh berbagai publikasi di bidang kesehatan rakyat dan etika. Leimena sejak usia mudanya ia berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat selalu menjadi tujuan penting bagi Leimena. Dalam hal ini dinyatakan dalam penulisannya, antara lain ketika ia menuluis tentang masalah kesehatan masyarakat dan etik medis. Di bawah pengaruh Karl Bart. Leimena seperti juga orang-orang sejamannya, menyadari bahwa zending medis adalah “tanda” dari kasih Allah. Demikianlah, muli tahun 1939 ia dapat menentukan bahwa keberadaan zending pada akhirnya tidak hanya terletak dalam kesaksian oleh perbuatan (seperti meringankan kesusahan jiwa dan raga pasien), melainkan dalam pemberitaan rahmat dan kasih Allah kepada manusia yang hidup dalam kesusahana”. Pengutusan sang putera ke dunia menurut Leimena adalah perbuatan paling mulia yang dapat dilakukan oleh Allah Bapa bagi anak-anak-Nya yang berdosa. Sebab itu tidak mengherankan bahwa bagian Alkitab dari Yohanes 1:1-18 tergolong ayat yang paling disukainya.[35] Leimena yang akrab di sapa Om Jo ini merupakan seorang negarawan sejati, hal ini dapat kita lihat dari keseluruhan kabinet masa Soekarno Johannes Leimena pasti menjadi menterinya. Karena keberhasilannya masuk kedalam setiap cabinet tidak sedikit orang yang mencibir dan menganggap Om Jo sebagai “bunglon politik” karena menjadi menteri 18 kali dalam kabinet, serta menjadi penjabat kriisten sebanyak 7 kali. Dalam prinsip politiknya pria yang selalu menyebutkan kata rustig, rustig, rustig ini sering mengatakan bahwa politik bukan alat kekuasaan melainkan etika untuk melayani. Walaupun ia politisi Kristen, Leimena tetaplah seseorang yang mampu memposisikan dirinya dalam dinamika politik saat itu yang beragam macamnya. Ideologi Kristen dapat dipertemukan dengann ideologi Pancasila yang menjadi pandangan hidup bangsa, hal ini terlihat dengan perannya dalam pembentukan DGI pada tahun 1950 dimana dalam lembaga ini ia terpilih sebagai Wakil Ketua yang membidangi komisi gereja dan Negara. Om Jo berpulang dengan damai pada tanggal 29 Maret 1977.[36]
Menjelang akhir hidupnya pada tahun 1976 beliau masih menghadiri konsultasi pentimg tentang gereja dan masyarakat dan dengan penuh emosi ia mengetengahkan disitu bahwa gereja sebagai persekutuan akan diludahkan oleh Allah bila tidak menanggapi tanda-tanda zaman yang telah diberikan Tuhan dalam sejarah dan bila tidak mau memikul tanggung jawab atas masalah manusia didalam masyarakat. Juga sikap penggembalaannya yang mendorongnya untuk selalu berusaha merukunkan tidak pernah berubah. Dalam usahanya mempersatukan atau merukunkan ada kaliamat yang ditulisnya: “seharusnya kita melestarikan semangat oikumene, semangat yang melambangkan seluruh dunia Kristen, semangat yang direstui oleh Tuhan bagi semua orang Kristen, bersama dengan orang Keristen di Belanda, dan bersama-sama dengan orng-orang Kristen diseluruh dunia”. Mungkin usahanya yang bertujuan mendamaikan itu telah mempengaruhi banyak Gereja dan orang Keristen Indonesia yang dimasa-masa sesudah tahun 1965.[37] 
2.3.4.      A. M. Tambunan
Albert Mangara Tambunan (1911-1970), semasa hidupnya aktif di kalangan Partindo dan juga dalam Parlemen, selain itu ia pernah menjabat sebagai Menteri Sosia (1967-1970). Dalam ceramah 1952 disebutnya 4 alasan mengapa mengenai hal itu orang Keristen dulu berdiri di garis pinggir: 
1.      Politik adalah urusan pemerintah Kolonial, sedangkan Dewan Rakyat adalah lembaga tanpa kekusaan.
2.      Sebelum perang, orang Kristen terlalu sibuk memperjuangkan kemandirian Gereja smereka terlalu lelah untuk memikirkan perjuangan Nasionalis umum.
3.      Politik tidak membawa perbaikan ke masyarakatan bagi orang keristen yang sampai 1942 menduduki posisi yang Istimewa.
4.       Politik juga berarti bahwa tangan seseorang menjadi kotor.
Tambunan menunjuk pada dua masalah. Pertama-tama, ada kenyataan bahwa para pendeta akan memegang jabatan pemerintahan, padahal mereka justru diperlukan didalam gereja. Kedua, karena telah mengadakan berbagai kompromi yang berkaitan erat dengan usaha politik, mereka harus bertindak berlawanan dengan prinsip-prinsip mereka dan dengan kitab suci sehingga mereka memperlemah kata hati mereka.[38]
2.3.5.      T. B. Simatupang
T.B Simatupang lahir pada tanggal 28 Januari 1920 di Sidikalang yang pada waktu itu terletak pada Kresidenan Tapanuli. Bapaknya bernama Simon Simatupang, gelar Mangaraja Suaduon, bekerja sebagai kepala kantor pos. kemudian keluarganya pindah ke Siborong-borong, masih di Tapanuli dan dari sana keluarganya pindah ke Pematang Siantar. Di Pematang Siantar ia menamatkan sekolah dasar yang berbahasa Belanda (HIS atau Hollands Inlandse Schule), yang dikunjungi oleh anak-anak “Kampung Kristen” dan dari “Kampung Melayu”. Ia mendirikan “Persatuan Christen Indonesia”, disingkat “PERCHI” yang kemudian dianggap salah satu pendahulu bagi parti Kristen Indonesia (Parki/Parkindo), yang didirikan setelah Proklamasi kemerdekaan. Dia menulis karangan-karangan untuk surat-surat kabar dalam bahasa Batak, Indonesia dan Belanda, dia mengadakan ceramah-ceramah dan menulis buku-buku tentang kebudayaan dan marga-marga batak. Dia juga aktif dalam kehidupan dan persekolahan Kristen.[39]
2.3.6.      Amir Syarafudin
Amir Syarafudin dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1907 di Medan Tapanuli Selatan daerah yang memiliki percampuran antara Kristen dan juga Islam dari pasangan Baginda Soripada Harahap dengan Basoeno Siregar.[40] Amir yang aslinya bermarga harahap sengaja tidak menggunakan marga di belakang namnya karena kesepakatan yang diambil pada kongres pemuda 1927 untuk tidak mempergunakan marga dan gelar kebangsawanan untuk menunjukkkan bahawa semua nya orang Indonesia dan sama derajatnya. Amir menyelesaikan pelajarannya pada ELS di sibolga dan melanjutkan pendidikan nya di Belanda menyusul abang sepupunya yaitu Toean Soetan Goenoeng Mulia (T.S.G.Mulia). dan Amir muda tinggal di rumah seorang  bernama Nyonya A.A. van de Loosdrecht-Sizoo, yaitu seorang janda dari Pekabar injil A.A. van de Loodsdrecht-Sizoo yang mati ketika mengabarkan inijil di tanah toraja.[41]  Ketika masih belajar di Sekolah Tinggi Hukum Amir menjadi pemimpin Jong Sumatera bersama M.Yamin, bersama beberapa pemuda keristen lainnya ia turut mempersiapkan dan menyelengarakan Kongres Pemuda. Pada masa itu Amir pun yang berasal dari Tapanuli Selatan masuk keristen. Peralihan itu dibawah pengaruh Prof. Mr. J.M. Schepper, mantan konsul Zending dan Direktor Zending. Tokoh Schepper ini meskipun berkebangsaan Belanda dapat diterima oleh orang yang berjiwa Nasional sebab ia berani menyerang Politik Kolonial. Pada tahun 1937 Amir menjadi tokoh Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO). Pada masa kemerdekaan, Amir menjadi menteri Penerangan, Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri (1947-1948).[42] Amir juga berperan dalam menumbuhkan Nasionalisme di HKBP hal ini tampak ketika kemelut yang terjadi di HKBP antara HKBP dan perseteruan dengan pemerintah belanda dan BNZ maka pada tanggal 2 Maret 1941dibentuklah komite penilai yang di ketuai oleh J.M.Panggabean dengan Sekretaris Dr.L.Tobing dan penasihat dari Komite ini ialah Amir sendiri.[43]
Amir sebelum meninggal ditangkap pada tanggal 29 November 1948 di desa Klambu 20 KM dari Purwodadi amir ditangkap karena dia merupakan salah satu pemimpin PKI yang diangap akan melakukan pemberontakan. Setelah di tangkap seorang temannya berkata kepada nya untuk menghubungi Soekarno Hatta agar lepas namun Amir menolak dia tidak ingin berhutang budi kepada dua tokoh itu. Setelah di tahan di Yogyakarya Amir di kembalikan di Solo dan di penjarakan disana, dalam Rapat Kabinett tertanggal 18 Desember 1948 dibicarakan apa tindakan yang dilakukan kepada pemimpin PKI jikalau Belanda melakukan AGresi Militer,dari 12 orang menteri  maka 4 orang menteri meminta Amir dan kawan-kawannya di tembak mati, 4 orang menghendaki supaya Amir di bebaskan dan 4 orang tidak memberikan suara lalu Presiden Soekarno dengan hak Veto nya memerintahkan bahwa Amir dan kawan-kawannya tidak boleh di tembak. Pada tanggal 19 Desember 1948 di pagi hari Belanda melakukan Agresi Militer nya dan Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer di Solo memerintahkan untuk menembak mati semua pemimpin PKI di daerah Ngalian, sebelah timur kota Solo. Dan jenazahnya dikuburkan massal di tempat tersebut.[44]

III.             Refleksi Teologis
Seiring dengan perkembangan dan berjalannya waktu pada Orde Lama ini Kekristenan di Indonesia sangatlah menyedihkan dan mengalami banyak penderitaan dan bahkan kekristenan di orde lama ini Orang Kristen dituduh sebagai agen dan mata-mata Republik sehingga orang Kristen pada saat itu ada yang ditangkap dan ada yang sampai mati dibunuh. Dalam hal ini kita melihat bahwa mereka mengalami tekanan, akan tetapi gereja masih tetap bisa bersatu dengan membentuk DGI  untuk menentang ketidak adilan yang terjadi, dan seiring perkembangan yang terjadi juga kita juga bisa melihat bagaiamana persoalan agama yang menjadi hal yang sangat sensitif yang menimbulkan perpecahan di Indonesia apalagi di tahun-tahun Politik dan di negara Demokrasi di Indonesia oleh karena itu geraja harus bisa mengambil sikap dan bersatu untuk mempertahankan dan membela yang benar. Seperti dalam 1 Korintus 12: 25 “supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan”.
IV.             Kesimpulan
Dari pemaparan diatas kami penyaji menyimpulkan bahwa pada masa Orde Lama dipimpin oleh Soekarno-Hatta dimana hubungan partai politik dan Gereja dekat atau akrab. Anatara Gereja dan parpol adalah hubungan simbiosis mutualisme. Dapat dilihat dalam perkataan J. Leimena mengatakan bahwa Kalau Gereja berdiri ditengah-tengah lapangan, maka disekitar lapangan itu sebagai pagar penjaga berdirilah Parkindo dengan ormas-ormas Kristen lainnya untuk menjaga Gereja yang menjadi pusat kehidupan orang-orang Kristen di Indonesia itu. Kita juga dapat melihat peran serta para tokoh dalam masa orde lama. Dari apa yang telah dipaparkan  akan apa dan bagaimana Gereja pada masa orde lama.
V.                Daftar Pustaka
Arintonang, Jan S., Sejarah Perjumpaan Keristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2010
Arintonang, Jan. S., Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas, Bandung: Jurnal Info Media, 2007
Boland, B.J., Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985
Boland, B.J., Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Temprint, 1985
End, Th. Van Den & J. Weitjens, SJ, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK-GM, 2012
F. Ukur & F. L .Cooley, Benih  yang Tumbuh VIII, Irian Jaya: Gereja Keristen Irian Jaya dan Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, 1974
Hoekema, A. G., Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, Jakarta: BPK-GM, 1997
Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1993
Muskens, M. P. M., Sejarah Gereja Indonesia: Pengintegrasian di Alam Indonesia, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1973
Ngelao, Zakaria J., Kekristenan dan Nasionalisme, Jakarta: BPK-GM, 2011
Ricklefs, M. C., Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1993
Rifleks, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi, 2005
Sijabat, W. B., Partisipasi Kristen dalam Nation Building di Indonesia, Bandung: Grafika Unit II, 1968
Simatupang, Tahi Bonar, Percakapan T.B. Simatupang, Jakarta: BPK-GM 1989
Simorangkir, M. S. E., Ajaran Dua Kerajaan Allah dan Relevansinya di Indonesia, Bandung: Penerbit Satu-satu, 2011
Sirait, Saud, Politik Kristen di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 1997
Ukur, F. & F. L .Cooley, Jerih dan Juang, Jakarta: Lembaga dan Penelitian dan Studi DGI, 1979
Wellem, Frederick D., Amir Syaraffudin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Bekasi: Jalan Permata Aksara, 2009

Sumber Lain:
https://ezhou5.wordpress.com/kristiantz/sejarah-di-indonesia. diakses pada Kamis, 26 Oktober 2017,  pukul 02.02 WIB






[1] Frederiek Djara Wellem, Amir Sjarifoeddin Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, (Jakarta: Jala Permaat Aksara, 2009), 129-131
[2] Azyumardi Azra, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 285-291

[3] Darul Islam (dar al-Islam) secara harfiah berarti “rumah” atau “keluarga” Islam, dan secara luas berarti “dunia atau wilayah Islam”. Yang dimaksud adalah bagian Islam dari dunia yang di dalamnya keyakinan Islam dan pelaksanaan syariat Islam dan peraturan-peraturannya diwajibkan. Darul Islam digunakan bagi gerakan-gerakan sesudah 1945 yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita Negara Islam Indonesia.
[4] Azyumardi Azra, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 292-302
[5] Azyumardi Azra, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 303
[6] F. Ukur dan F. L. Cooley, Jerih dan Juang, 518
[7] Koernia Atje Soejana, Benih yang Tumbuh II, (Bandung & Jakarta: BPS GKP dan LPS DGI, 1975), 51
[8] J.A. Sarira, Benih yang Tumbuh VI, (Rantepao & Jakarta: BPS GKTR dan LPS DGI, 1975), 323. Catatan sarira ini dapat dilengkapi dengan informasi lisan dari beberapa warga dan tokoh masyarakat Toraja (Pdt. Dr. R. P. Borrong, tokoh masyarakat Toraja Mamasa asal kecamatan Kalumpang) tentang kekejaman gerombolan DI/TII, misalnya merusak, membakar dan membunuh. Tetapi penderitaan ini dapat juga dipandang sebagai blessing in disguise, mendorong masyarakat Toraja untuk merantau dan meraih kemajuan di perantauan.
[9] F. Ukur & F. L .Cooley, Jerih dan Juang, 362
[10] B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Temprint, 1985), 56-57
[11] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1993), 356-359
[12] A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, 234-235
[13] F. Ukur dan F. L. Cooley, Jerih dan Juang, 512-516
[14] Jan. S. Aritonang, Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 25-27
[15] Tujuan utama sekolah pandita ialah mengajarkan kepada para murid supaya ambil berdoa, mereka memperdalam pengetahuan mengenai Kitab Suci.
[16] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 357-358
[17] A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, 247-248
[18] Th. Van Den End & J. Weitjens, SJ, Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK-GM, 2012), 357
[19] F. Ukur dan F. L. Cooley, Jerih dan Juang, 512
[20] Jan. S. Aritonang,  Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 25-27
[21] https://ezhou5.wordpress.com/kristiantz/sejarah-di-indonesia. diakses pada Kamis, 26 Oktober 2017,  pukul 02.02 WIB
[22] W. B. Sijabat, Partisipasi Kristen dalam Nation Building di Indonesia, (Bandung: Grafika Unit II, 1968), 23-24
[23] Th. Van Den End & J. Weitjens, SJ, Ragi Carita , 405
[24]  T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, 42
[25]Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, (Jakarta : BPK-GM,2011), 174-180
[26] Th. Van Den End & J. Weitjens, SJ, Ragi Carita 2, 403-404
[27] A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, 261-262
[28] Siding raya dilakukan bukan hanya sekali, namun juga dilakukan pada tahun 1953, 1956, 1960, 1964, 1967, 1971, dan 1976.
[29] Tahi Bonar Simatupang, Percakapan T.B. Simatupang, (Jakarta: BPK-GM 1989), 499
[30] A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, 137-138
[31] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, (Jakarta: BPK-GM, 1994), 174-190
[32]A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, 263-263
[33] A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, 139
[34] Tim Penyusun, Johannes Leimena Negarawan Sejati dan Politis Berhati Nurani, (Jakarta: BPK-GM, 2007), 278
[35] A.G. Hoekema, Berpikir Dalam Keseimbangan yang Dinamis, (Jakarta:BPK-GM, 1996), 140-141
[36] Tim Penyusun, Johannes Leimena Negarawan Sejati, Politisi Berhati Nurani, (Jakarta: BPK-GM,2007), 11-13
[37] A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, 263-265
[38] A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, 269-271
[39] Tahi Bonar Simatupang, Percakapan T.B. Simatupang, (Jakarta: BPK-GM 1989), 87
[40] Frederick D. Wellem, Amir Syaraffudin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, (Bekasi: Jalan Permata Aksara, 2009), 30  
[41]F.D.Wellem, Amir SjarifoeddinTempatnyadalamKekristenandanPerjuangankemerdekaan Indonesia,(Jakarta : UtOmnes Unum SInt Institute, 2009), 30-36
[42] Th. Van Den End & J. Weitjens, SJ, Ragi Carita 2, 403
[43]Turman Sirait & Gopas Sirait, Ephorus Pdt.Kasianus Sirait, (Laguboti: Yayasan TP Arjuna, 2005), 111
[44]F.D.Wellem, Amir SjarifoeddinTempatnyadalamKekristenandanPerjuangankemerdekaan Indonesia,196-200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar