Senin, 13 Mei 2019



Model-Model Wahyu dan Kemajemukan
I.                   Pendahuluan
Setiap agama yang memiliki pemahaman yang berbeda tentang wahyu yang ada pada setiap kepercayaan mereka. Melalui penyataan tersebut Allah menyatakan diriNya kepada semua umatNya. Didalam pembahasan kali ini saya penyaji akan memparkan tentang wahyu itu dan model-model wahyu tersebut, serta pandangan wahyu didalam setiap agama-agama yang ada seperti agama Kristen, Islam, Budha dan Hindu. Semoga sajian kali ini dapat menambah wawasan kita bersama.
II.                Pembahasan
2.1.Pengertian Wahyu
Penyataan adalah tindakan Allah untuk membuka diri (Allahlah yang membuka cadar atau selubung yang menghalangi manusia) menyatakan dan memperkenalkan diriNya kepada manusia, sehingga melalui tindakan tersebut, manusia dimungkinkan beroleh pengenalan terhadap Allahnya dan dapat bersekutu dengan-Nya.[1] Penyataan dapat berarti perbuatan mengungkapkan atau membuka atau menyingkapkan. Istilah itu dapat pula berarti apa yang diungkapkan atau dibukakan atau disingkapkan. Sering kali yang ditekankan ialah pengertian yang aktif. Penyataan terdapat dalam komunikasi Allah dengan manusia melalui penglihatan yang diberikanNya, firman yang diucapkanNya dan perbuatan yang dilakukanNya.[2]
2.2.Wahyu menurut Alkitab[3]
2.2.1.      Perjanjian Lama
Didalam perjanjian lama, Allah menyatakan diri melalui firmanNya (Kej. 12:1-3), melalui karya-karya penampakan (semak duri menyala, tiang awan dan api, malaikat Tuhan), melalui perebuatan-perbuatan-perbuatanNya yang besar. Semua ini merupakan sarana penyataan Allah, atau car yang dipakai Allah, atau cara yang dipakai Allah untuk memperkenalkan atau menyatakan diriNya.
2.2.2.      Perjanjian Baru
Istilah perjanjian baru untuk penyataan Allah adalah apokaluptein dan phaneroun. Apokaluptein berarti mengambil tutup atau menampakkan apa-apa yang tadinya tertutup. Phaneroun berarti terbuka karena membukanya selubung yang tadinya tertutup. Apokaluptein diartikan penyataan, dimana Allah menyingkapkan selubung, tampil kedalam sejarah, dan menyatakan kehendakNya kepada manusia.
2.3.Pengertian Kemajemukan
Kemajemukan adalah keanekaragman yang dimana keanekaragaman itu terdiri dari beberapa bagian yang merupakan kesatuan. Pembicaraan tentang kemajemukan ini biasa atau sering dibicarakan didalam konteks kerukunan antar umat beragama.[4]
2.4.Model-Model Wahyu
Menurut Avery Dulles, S.J didalam bukunya yang berjudul Model-Model Wahyu, penulis memaparkan beberapa model-model Wahyu didalam bukunya, antara lain:[5]
2.4.1.      Model Allah Sebagai Ajaran
Menurut model ini pernyataan-pernyataan itu dihubungkan dengan Allah itu sebagai guru yang beribawa. Allah disini dilihat sebagai guru yang tidak sesat yang mengkomunikasikan pengetahuan itu dengan bicara dan tulisan. Sehingga yang diharapkan adalah penerima menaruh minat dan perhatian bagaikan seorang murid. Model ini atau teori proposisional memiliki dasar yang pasti dalam kitab suci yang sering berbicara seolah-olah Tuhan yang menyampaikan kabarNya dalam bahasa manusia.
2.4.2.      Model Allah Sebagai Sejarah
Isi dalam wahyu adalah tindakan-tindakan besar yang telah dilakukan Allah dalam sejarah. Bentuk wahyu yang pertama adalah perbuatan-perbuatan atau peristiwa-peristiwa yang bila dilihat dalam hubungan timbal balik merupakan pernyataan diri Allah sebagai Tuhan dan tujuan sejarah. Dalam model ini sarana komunikasi adalah antara Allah dan manusia adalah sejarah keselamatan. Allah digambarkan sebagai agen transenden yang menghasilkan peristiwa-peristiwa itu dan dengan perantaraanNya, Ia memberikan tanda bagi umatNya. Wahyu historis dapat memberikan suatu jawaban terhadap persoalan umum menyangkut arti dan tujuan sejarah.
2.4.3.      Model Allah Sebagai Pengalaman batiniah
Didalam model ini, isi wahyu bukanlah informasi mengenai masa lampau dan juga bukan kebenaran doktrinal yang abstrak, melainkan isinya adalah Allah, yang mengkomunikasikan dirinya dengan penuh kasih kepada hati yang terbuka kepadaNya. Model ini lebih mengutamakan pengalaman batiniah yang istimewa tentang rahmat atau persatuan dengan Allah, sehingga pandangan tentang yang ilahi ini langsung terjadi pada setiap-setiap orang. Model ini lebih mengutamakan dan mengakui kualitas dari pengalaman itu sendiri.
2.4.4.      Model Penyataan Allah Sebagai kehadiran Dialektik
Model ini mempunyai basis biblis. Model ini juga memiliki suatu fokus kristologis yang jelas, karena model ini secara eksklusif memandang Kristus sebagai wahyu Allah. Tetapi model juga mengatakan bahwa Allah tidak dapat dikenal sebagai objek. Allah yang transenden menjumpai subjek manusiawi melalui sabda dalamnya iman dapat mengenal kehadiran Allah dan Sabda Allah secara serentak menwahyukan dan menyembuyikan kehadiran Allah. Sehingga model wahyu ini terjadi melalui Sabda yang berkuasa dan mempuyai daya pengubah, seperti pewartaan tentang salib dan kebangkitan. Karena wahyu datang dari sabda, maka bentuknya yang khas adalah Kristus, sabda dalam pribadi. Jawaban yang sesuai dengan wahyu dalam model ini adalah iman. Karena termasuk dalam hakikat wahyu bahwa ia harus diterima, maka jawaban iman dimasukkan dalam defenisi tentang wahyu itu sendiri. Iman memberikan suatu pengertian baru tentang  Allah dan diri manusia, karena seorang beriman memahami dirinya sebagai seorang berdosa yang disambut Allah dengan penuh kasih sayang ke dalam persahabatan.
2.4.5.      Model Penyataan Allah Sebagai Kesadaran
Model kesadaran tentang wahyu dapat dilukiskan menurut bentuk wahyu, isinya, daya penyelamatannya dan jawaban yang dituntut. Bentuk wahyu dalam model ini merupakan suatu terobosan kedalam tingkat kesadaran manusia yang lebih tinggi, agar seluruh diri dialami sebagai dibentuk dan dikuasai oleh kehadiran ilahi. Wahyu menampakkan diri melalui peristiwa-peristiwa paradigmatik yang bila diingat kembali akan merangsang imajinasi untuk membentuk pengalaman secara baru. Model ini menegaskan bahwa wahyu berarti pembaruan hidup manusia yang total. Penerima wahyu adalah mereka yang berani mengimpikan impian baru yang menjawab panggilan untuk membangun satu dunia yang sungguh-sunguh manusiawi sehingga ini menekankan keterlibatan akal budi dalam menerima wahyu.
2.5.pandangan Wahyu dalam Agama-agama
2.5.1.      Agama Kristen
Pusat penyataan Kristen adalah pribadi Yesus sendiri yang selalu memanggil dan sukar dipahami. Bahasa Kristen tentang penyataan memiliki sifat dramatis yang mengubah situasi, sering kali mengherankan dan tidak diharapkan. Sehingga penyataan Allah didalam Yesus Kristus diintegrasikan kedalam seluruh prosespenciptaan sejak awal dan penyataan Allah itu hadir melalui tanda-tanda.[6] Didalam Alkitab menunjukkan bahwa Allah bukanlah pemuas manusia dalam berbagai kekurangan dan juga kesenangan yang terdapat pada pribadi manusia tersebut. Allah lah yang memanggil manusia itu sendiri agar manusia itu mengabdi kepadaNy, oleh karena itu bagian akhir dari penyelamatan Allah bukanlah semata demi kebahagian manusia, melainkan kemuliaan dan kehormatan bagi Allah sendiri.[7] Allah menyatakan firmaNya (Lih. Kej.12:1-3), melalui karya penampakan (Semak duri, tinang awan, dan malaikat Tuhan), melalui perbuatan-perbuatanNya, (Vision)melalui karya penglihatan (Vision) melalui kemudiam juga melalui nubuat.[8] Didalam agama Kristen ada 2 penyataan, yaitu penyataan umum dan penyataan khusus :
a.      Penyataan Umum
Penyataan ini menunjuk  kepada apa yang Allah telah nyatakan melaluai alam semesta.[9] Allah menyatakan diri melalui pelbagai kebajikan: menurunkan hujan, memberikan musim-musim subur, makanan, makanan dan lain-lain (Kis.14:17). Ada penyataan diri Allah (kekuatan dan keilahianNya) melalui karya ciptaanNya (Rm.1:19-20). Tujuan penyataan Allah itu supaya manusia mengenal Allah mengerti kehendakNya, mengabdikan diri kepada Dia dan tahu mempergunakan semua ciptaan Allah untuk memuliakan Allah. Sebab tujuan tertinggi Allah bukan untuk mencapai kebahagian manusia, melainkan untuk kemulian dan kehormatan Allah sendiri (Rm.11:36). [10]
b.      Penyataan Khusus
Penyataan khusus menerangkan betapa Allah mengasihi manusia, yang tak lain adalah kesegambaran dan keserupaan diriNya, sehingga Allah pun mengharuskan diriNya menjadi manusia yang serupa dengan dosa, agar Ia bisa menyelamatkan mereka dari dosa (Yoh.1:1-24; 3:16).[11] Hubungan penyataan umum dan penyataan khusus tidak hanya terbatas pada kesamaan sumber, yakni Allah sendiri sebagai asal-usul keduanya. Penyataan umum harus dilihat dari perspektif pernyataan khusus bahkan harus dikatakan bahwa karya penciptaan harus dirangkul oleh rencana penyelamatan. Sebab Allah pertama sekali mau menyelamatkan manusia oleh karena itu diciptakanNya dunia. Melalui pemahaman ini dapat disimpulkan bahwa dunia diciptakan dalam rangka penyelamatan manusia.[12] Tujuan penyataan khusus ini agar melalui pengenalan dan persekutuan antara manusia dengan khalikNya. Allah pun dimuliakan (Rm.11:36); Allah mewujudkan maksud penebusan-Nya kepada umatNya dan membawa umatNya untuk berada dalam kemulian bersama Dia. Selain itu tujuan dari penyataan ini membawa orang untuk mengalami kuasa pengenalan tentang Allah yang menyelamatkan pribadinya.[13]
2.5.2.      Agama Islam
Allah mengutus Muhammad, jajaran nabi yang terakhir dan terbesar, dan mewahyukan kehendakNya kepadanya kedalam sejumlah wahyu yang dicatat tanpa kesalahan, didalam Al-Qur’an. Umat Islam memberikan penghormatan yang tinggi terhadap Muhammad, tetpai karena dia tidak seperti Tuhan maka tidak boleh disembah.[14] Menurut padangan umat muslim Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang terakhir mengungguli wahyu lebih dahulu diturunkan kepada umat.[15] Umat muslim juga percaya bahwa Al-Qur’an merupakan penyingkapan terakhir dari Allah dan meringkaskan semua penyingkapan terdahulu. Al-Qur’an merupakan kriterirum semua kebenaran, karena ia sungguh-sungguh selaras dengan penyingkapan-penyingkapan Allah yang lain. Visi Islam adalah bangsa yang membentuk Umah, harus menyerahkan diri kepada kehendak Allah sebagai mana disingkapkan dalam Al-Qur’an. Penyerahan diri itu adalah pendamaian Islam, seperti halnya Yudaisme tetapi mengilhami tenaga yang begitu besar dalam menjelaskan kehendak Allah. Orang-orang muslim percaya bahwa Al-Qur’an adalah salinan sempurna atas firman yang abadi.[16]
2.5.3.      Agama Hindu
Pandangan Hindu tentang penyataan ini bukanlah persitiwa supranatural, melainkan merupakan hasil pendisplinan diri dengan sungguh-sungguh melalui latihan yoga, yang akan membawa kepada pencerahan. Firman itu hadir kepada semua manusia untuk merasakannya. Banyak orang Hindu menekankan pentingnya pengalaman langsung, sehingga membuat peranan shruti menjadi sekunder. Dalam pandangan ini, penyataan atau wahyu didasarkan pada kemampuan spritual, yang pada prinsipnya terbuka bagi setiap orang dan tidak perlu dengan perantaraan Veda.[17] Wahyu ini dimunculkan dalam kesadaran para guru, dan pengalaman-pengalaman, intuisi-intuisi mereka, apa yang mereka dengarkan tentang yang Ilahi dimuat dalam empat kitab Veda tersebut yaitu,  Rig Veda, Sama Veda, Yajur Veda, dan Atharwa Veda.[18] Kehidupan keagamaan umat Hindu didasarkan pada naskah suci yang disebut Veda Samhita, yang mereka yakini sebagi ciptaan Brahmana.[19]
2.5.4.      Agama Budha
Umat Budha percaya akan adanya realitas tertinggi, tetapi mereka tidak menyebut realitas ini “Allah”. Sehingga banyak umat Buddha merasa lebih berbahagia bila membicarakan tentang “filsafat hidup” daripada berbicara tentang agama. Budha menggunakan cerita perumpamaan, ilustrasi dari alam, ungkapan, kiasan, tanya jawab, diskusi dan debat untuk menyampaikan pesan-pesannya namun ia tidak meninggalkan catatan apapun. Sehingga setelah kematiannya, para muridnya mulai mengumpulkan cuplikan-cuplikan ajarannya.[20] Agama Budha tidak mengklaim agama didasarkan pada penyataan atau wahyu yang berasal dari Allah. Seperti Sidharta Gautama yang menjadi Budha setelah mengalami pencerahan di bawah sebatang pohon bodhi (pohon pengetahuan). Seorang Budha tidak memperkenalkan dirinya sebagai seorang nabi yang telah menerima pesan dari Ilahi, melainkan sebgai petunjuk jalan yang ditemukan menuju jalan kebebasan dari penderitaan.[21]   
2.6.Pandangan Para tokoh mengenai Model-model Wahyu dalam Agama-agama.
2.6.1.      Karl barth
Barth adalah seorang teolog besar dalam kalangan gereja reformatoris pada abad ke-20.[22] Barth mengatakan bahwa: “Sejauh wahyu Allah dengan sendirinya menghasilkan apa yang hanya dapat dihasilkan Allah, yakni pemulihan persahabatan manusia dengan Allah. Wahyu adalah perdamaian itu sendiri”. Selain itu Barth juga berpendapat bahwa kitab suci dan sabda yang diwartakan menjadi wahyu bila dan sejauh Allah berkenan untuk berbicara melalui mereka.[23] Dalam pemahaman Barth ini dijelaskan 2 prinsip utama yang dibuktikan dalam kitab suci. Pertama, penyataan adalah pemberian diri dan manifestasi diri Allah sendiri. Melalui penyataanNya, Allah menyingkapkan kepada manusia bahwa Ia adalah Allah dan Tuhan. Manusia dapat mengenal Allah bukan berdasarkan kemampuannya sendiri, melainkan karena memang Allah menyediakan diri untuk dikenal dan disapa. Tanpa penyataan maka upaya manusia maka upaya manusia mengenal Allah dari sudut pandangnya sendiri menjadi sebuah upaya yang sama seali sia-sia. Kedua Barth juga menegaskan bahwa, sebagai pemberian diri dan manifestasi diri Allah, penyataan tersebut merupakan tindakan dimana didalam dan melalui anugerah, Ia mendamaikan manusia dengan diriNya sendiri. Barth menyatakan bahwa kekristenan menjadi benarsejauh berpusat pada penyataan Allah dalam Yesus Kristus. Hanya dengan demikianlah kekristenan memiliki kemungkinan menjadi agama yang benar. Inti dari penegasan Barth tentang kebenaran Kristiani, kita melihat ada dua klaim, pertama penyataan bahwa hanya ada satu agama yang benar muncul dari pemikiran bahwa penyataan dan keselamatan diberikan hanya didalam Yesus Kristus. Kedua, agama yang benar ini dibenarkan melalui satu cara yang yang tidak ditegaskan sama sekali dalam agama-agama dunia.[24]
2.6.2.      Karl Rahner
Rahner adalah seorang teolog besar Gereja katolik  pada abad ke-20.[25] Ia memahami bahwa penyataan Allah sebagai penawar kasih kepada manusia, baik sadar maupun tidak, secara eksplisit ia menafsirkan bahwa peristiwa Yesus Kristus merupakan ungkapan yang konkret terhadap kasih Allah yang universal sebagai penyelamatan, merangkul semua orang.[26] Pannenberg juga mengatakan bahwa penyataan Allah itu menghendaki keselamatan bagi semua orang dan percaya kepada Kristus perlu untuk keselamatan.rahmat Allah bekerja dalam diri setiap orang. Oleh karena itu rahmat Allah, rahmat Allah tidak terikat bekerja melalui agama Kristen saja. Kasih karunia Allah didalam Kristus Yesus dapat menjangkau manusia melalui agama bukan Kristen, bahkan dalam diri seorang ateis pun rahmat Allah itu bekerja, yang memberi kemungkinan kepadanya untuk bertindak sesuai dengan hati nuraninya sehingga ia menikmati keselamatan.[27]
2.6.3.      Wolhart Pannenberg
Pannenberg merupakan salah seorang teolog besar pada abad ke-20. Karya teologinya yang berjudul Penyataan Sebagai sejarah. Ia menempatkan penyataan-penyataan Allah, khususnya dalam diri Yesus Kristus, terutama dalam peristiwa kebangkitan Kristus.[28]  Pannenberg menunjukkan bahwa kebangkitan Yesus mengandung makna universal dan tak ada bandingannya sejauh didalam diri Yesus transformasi mulia dari alam semesta sudah secara prolepis menyerap dalam sejarah.[29] Bagi Pannenberg, penyataan sejarah merupakan bentuk satu-satunya dari penyataan. Penyataan yang terjadi dalam sejarah yang biasa dan beranggapan bahwa penyataan ini dapat dimengerti oleh semua orang dan penerimaannya adalah sesuatu yang alamiah.[30]
2.6.4.      Paul Tillich
Paul Tillich dilahirkan di Brandenburg, Jerman, pada tahun 1886. Ayahnya adalah seorang pendeta Gereja Lutheran. Ia belajar Teologi pada beberapa universitas terkemuka di Jerman, yakni Universitas Tubingen, Berlin, Halle dan Breslau.[31] Menurut Tillich di dalam penyataan disingkapkan dimensi yang paling dalam dari kehidupan manusia dan keberadaannya menjadi transparan bagi dasar ilahi yang terdapat di dalamnya. Penyataan adalah manifestasi dari apa yang sangat menyangkut manusia. Tillich menyebut media penyataaan adalah  alam, sejarah dan firman.  Bagi Tillich penyataan di dalam yesus Kristus adalah penyataan yang ultimate yang “menentukan” dan “memberikan norma”.[32]
III.             Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa wahyu adalah suatu penyataan Allah untuk umat manusia, yang dimana tindakan Allah disini untuk membuka diri serta menyatakan diri kepada umat manusia, sehingga melalui tindakan tersebut, manusia dimungkinkan beroleh pengenalan terhadap Allahnya dan dapat bersekutu dengan-Nya. Dalam hal ini model-model wahyu disini untuk memiliki sifat-sifatnya sendiri bagaimana caranya dalam pengenalannya terhadap Allah. Allah juga dalam menyatakan dirinya dalam setiap agama-agamanya untuk menyingkap setiap karya-karyaNya dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kepercayaan agama itu masing-masing. Serta setiap agama juga memiliki cara yang berbeda dalam mengungkapkan penyataan Allah yang terjadi didalam agama-agama tersebut.
IV.             Daftar Pustaka
Adiprasetya Joas, Mencari Dasar Bersama, Jakarta: BPK-GM, 2009
Ali Mukti, Agama-Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998
Becker Dieter, Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK-GM, 2003
Dulles Avery, S. J., Model-Model Wahyu, Flores: Nusa Indah,1994
Hadiwijono Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2008
Keene Michael, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Kanisius, 2006
Lapidus M.Ira, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: BPK-GM,2000
Lasor S.W., Penganatar Perjanjian Lama I, Taurat dan Sejarah, Jakarta: BPK-GM, 2010
Lefebure D.Leo, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, Jakarta: BPK-GM, 2003
Lumintang I. Stevri, Teologi Abu-Abu, Malang: Gandum Mas, 2004
Robert David, Apakah Alkitab itu Benar?, Memahami Kebenaran Alkitab Pada Masa Kini, Jakarta: BPK-GM, 2007
Ruslani, Wacana Spritualitas Timur dan Barat, Yogyakarta: Qalam,2000
Shenk W.David, Ilah-Ilah Global, Jakarta:BPK-GM,2003
Syukur Niko, Pengantar Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Wellem D.F., M.Th, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2003
Kamus :
...., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003



[1] Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-Abu, (Malang: Gandum Mas, 2004), 644
[2] W. S. Lasor, Penganatar Perjanjian Lama I, Taurat dan Sejarah, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 34
[3] Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-Abu, 644-645
[4] ...., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), 1144
[5] Avery Dulles, S. J., Model-Model Wahyu, (Flores: Nusa Indah,1994), 49-129
[6] Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 72-75
[7] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 2008), 29
[8] Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-Abu, 645-650
[9] David Robert, Apakah Alkitab itu Benar?, Memahami Kebenaran Alkitab Pada Masa Kini, (Jakarta: BPK-GM, 2007), 119
[10] Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-Abu, 645-646
[11] Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-Abu, 648
[12] Niko Syukur, Pengantar Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 115
[13] Stevri I. Lumintang, Teologi Abu-Abu, 649
[14] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 121
[15] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam,(Jakarta: BPK-GM,2000),30
[16] David W. Shenk, Ilah-Ilah Global,(Jakarta:BPK-GM,2003), 345-346
[17] Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, 221
[18] Ruslani, Wacana Spritualitas Timur dan Barat, (Yogyakarta: Qalam,2000),92
[19] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998),60
[20] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, 66-67
[21] David W. Shenk, Ilah-Ilah Global,129-130
[22] F. D. Wellem, M.Th, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 28
[23] Avery Dulles, S. J., Model-Model Wahyu, 103-105
[24] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 51-53
[25] F. D. Wellem, M.Th, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, 161
[26] Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, 152
[27] F. D. Wellem, M.Th, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, 162
[28] F. D. Wellem, M.Th, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, 153
[29] Avery Dulles, S. J., Model-Model Wahyu, 75
[30] Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 38
[31] F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja  183
[32] Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, 37-38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar