Islam Dan Tasawuf
I.
Pendahuluan
Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah
SWT. Dalam agama Islam ada dikenal dengan istilah tasawuf. Tasawuf adalah upaya
menyucikan diri dengan menjauhi segala hal-hal duniawi. Nabi Muhammad adalah
yang menjadi suri tauladan dalam melakukan tasawuf. Tasawuf ini juga memiliki
aliran yaitu aliran tasawuf falsasfi dan sunni. Apa dan bagaimana sebenarnya
tasawuf islami itu? Disini kami para penyaji akan mencoba memaparkan tentang
tasawuf itu dalam sajian kami. Semoga sajian ini dapat membuka wahana berpikir
kita untuk memahami kepelbagaian dalam agama Islam.
II.
Pembahasan
2.1.Pengertian Islam
Secara etimologi Islam berasal dari kata aslama yang mengandung pengertian khahla’a (tunduk) dan Istaslama
(sikap berserah diri), dan juga adda (menyerahkan
atau menyampaikan). Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah
SWT.[1]
Islam adalah ketundukan seorang hamba kepada wahyu Ilahi yang diturunkan kepada
para nabi dan rasul khususnya Muhammad SAW guna dijadikan pedoman hidup dan
juga sebagai hukum atau aturan Allah SWT yang dapat membimbing umat manusia ke
jalan yang lurus, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.[2]
2.2.Pengertian Tasawuf
Dari segi kebahasaan (linguistik) terdapat sejumlah kata atau
istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Misalnya Harun Nasution
menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang
yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat
berjama’ah, sufi yaitu bersih dan
suci, sophos (bahasa Yunani: hikmah),
dan suf (kain wol kasar).[3] Selain
pengertian tasawuf dapat dilihat dari segi kebahasaan, dapat juga dilihat dari
segi istilah. Dalam kaitan ini terdapat tiga sudut pandang yang digunakan para
ahli untuk mendefinisikan tasawuf. Pertama,
sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas: kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang;
dan ketiga, sudut pandang manusia
sebagai makhluk berTuhan. Jika dilihat dari sudut pandang pertama, tasawuf
dapat didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri. Selanjutnya dari sudut
pandang kedua tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan
akhlak. Dan yang ketiga tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah.
Jika ketiga definisi
tasawuf tersebut satu dan lainnya dihubungkan, segera tampak bahwa tasawuf pada
intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat
membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat dengan
Allah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak manusia.[4]
2.3.Sejarah Dan Perkembangan Tasawuf
Kehidupan Rasulullah s.a.w sebelum menjadi nabi dan terutama
setelah beliau bertugas menjadi nabi dan rasul dari Allah S.W.T telah dijadikan
tauladan utama bagi sebagian orang shufi dan tidak menyeleweng kejurusan
agama-agama yang lain dari Islam. Maka dalam mensejarahkan tasawuf Islam, pada
taraf yang pertama sekali berdasar dan bersumberkan pada sumbernya yang
pertama, yaitu peri hidup rasulullah pendiri agama Islam, orang yang paling
memuliakan Allah diseluruh alam ini. Bahwa tasawuf pada masa rasulullah s.a.w
adalah sifat umum yang terdapat pada hampir seluruh nabi. Untuk itu dengan
sedikit demi sedikit lahirlah filsafat ibadah dan penyelidikan-penyelidikan
mendalam cara ini, dan bersamaan dengan itu lahir pula mazhab-mazhab rohaniah
yang mendalami dan ini semuanya itu termasuk dalam kata tasawuf adanya.[5]
Tasawuf dikenal secara luas dikawasan Islam sejak penghujung
abad dua hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau para
zahid yang mengelompok diserambi masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan
kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan
kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan
yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang
dengan pesatnya. Tahap asketisme ini setidaknya sampai pada abad dua hijiriah.[6]
2.4.Tujuan Tasawuf
Ada beberapa tujuan dari tasawuf, diantaranya adalah:
a.
Membersihkan hati dari segala keinginan
dan kecenderungan buruk, dan dari kotoran yang menumpuk akibat dosa dan
kesalahan.
b.
Tasawuf bertujuan untuk menyingkirkan
perilaku buruk dan perbuatan dosa, menyucikan diri, dan menghiasi hati dengan
perilaku yang baik dan terpuji.
c.
Tujuan tasawuf adalah memperoleh
hubungan langsung dengan Tuhan sehingga merasa dan sadar berada di hadirat
Tuhan.
d.
Tujuan akhir tasawuf adalah membantu
kaum beriman untuk mencapai ihsan, atau
tingkat kesempurnaan akhlak, dengan menjadikan Nabi saw sebagai teladan.[7]
2.5.Macam-macam Aliran Tasawuf
2.5.1. Aliran Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah aliran yang ajaran-ajarannya memadukan
antara visi mistik (ghaib) dan visi rasional (akal). Selain itu tasawuf falsafi
memiliki pengertian sebagai berikut tasawuf yang menggunakan pendekatan rasio
atau akal pikiran. Tasawuf model ini menggunakan bahan-bahan kajian atau dari
para filsof, baik menyangkut tentang Tuhan, manusia, dan sebagainya.
2.5.2. Aliran Tasawuf Sunni (tasawuf
akhlaki)
Tasawuf sunni adalah membersihkan tingkah laku atau saling
membersihkan tingkah laku. Tasawuf sunni gabungan antara ilmu tasawuf dan
akhlak. Akhlak hubungannya sangat erat dengan tingkah laku dan perbuatan
manusia sedalam interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Tasawuf
model ini berusaha untuk mewujudkan akhlak mulia dalam diri sufi, sekaligus
menghindarkan diri dari akhlak mazmunah (tercela). Dan tasawuf sunni juga
memiliki pengertian yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al-Quran
dan hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal dan maqomat mereka kepada
sumber tersebut.
2.6.Tokoh-Tokoh Tasawuf
2.6.1. Abu Thalib Al-Makiki
Abu Thalib Al- makki adalah seorang sufi, lahir di Jabal, suatu
daerah antara Baghdad dan Wasith. Dalam sejarah para sufi tidak banyak
terungkap mengenai kehidupan pengembaraan mencari ilmu yang dilakukan oleh Abu
Thalib Al-Makki. Akan tetapi, dari ilmu yang ia miliki menunjukkan bahwa beliau
adalah seorang sufi besar. Berbagai ilmu telah didalami dan dikuasainya, antara
lain hadist, fiqih, dan tasawuf. Sebagai seorang sufi, beliau memiliki banyak
pokok pikiran. Tasawuf dapat ditegakkan apabila telah memilii dasar-dasar yang
kuat. Untuk mencapai dasar-dasar tersebut dibutuhkan beberapa hal yang harus
ada, yaitu:
·
Kehendak yang benar dan konsekuen yang
benar
·
Membina hidup taqwa dan menolak
keburukan serta segala perbuatan maksiat.
·
Selalu makrifat (mengenal) Allah dan
zikir (mengingat)-Nya.
·
Selalu bergaul dengan orang-orang saleh
yang mampu menegakkan kehidupan taqwa yang sejati.[8]
2.6.2. Abu Yazid Al-Busthami
Abu Yazid Al-Busthami dilahirkan di Butham (188 H), suatu
daerah sebelah utara Persia dan di tempat ini pula ia wafat dan dimakamkan.
Dikalangan para ulama fiqih, Abu Yazid dikenal sebagai tokoh fiqih pengikut
mazhab hanafi tetapi pada akhir kehidupannya beliau dikenal sebagai seorang
sufi besar. Kehidupannya sebagai seorang sufi ditempuh dalam perjalanan yang
cukup panjang, kira-kira dalam waktu 30 tahun. Abu Yazid berkelana menyelusuri
padang pasir hidup dengan zuhud, makan, minum, pakaian, dan tempat tidur serba
sederhana. Dari kezuhudannya itu beliau dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT
dan meraih derajat makrifat yang hakiki. Abu Yazid Al-Busthami pernah berkata
“suatu penentuan mempunyai pengaruh daya penghapus; esensinya menghilang oleh
esensi yang lain, jejak-jejaknya musnah oleh jejak yang lain. Selama tiga puluh
tahun Allah SWT telah menjadi cermin bagiku, tetapi sekarang diriku telah
menjadi cerminku sendiri bahkan Ia adalah tuhan yang berbicara dengan
menggunakan lidahku karena diriku sendiri telah lenyap”. Banyak doktrin dan
kata-kata hikmah yang muncul dari lidahnya, antara lain sebagai berikut:
·
Orang arif tidak tergantung cita-citanya
kepada yang diangan-angankan dan seorang zahid tidak tergantung cita-citanya
kepada apa-apa yang dimakan.
·
Orang yang bahagia adalah orang yang
dapat mengumpulkan cita-citanya menjadi satu, yaitu semata-mata hanya kepada
Allah SWT dan hanya tidak terganggu dengan apa yang dilihat oleh matanya dan
yang didengar oleh telinganya di dunia. Orang yang mengenal Allah SWT maka
sesungguhnya ia zuhud dari segala sesuatu yang mengganggu dirinya daripada-Nya.
·
Jika Allah SWT menawarkan kepadamu
kekayaan dari Arasy sampai bumi maka katakanlah, “bukan itu ya Allah, tetapi
hanya Engkau ya Allah tujuanku”.[9]
2.7. Pandangan Umat Islam Tentang
Tasawuf
Menurut at-Taftazani, Tasawuf mempunyai lima ciri yaitu:
1.
Memiliki nilai-nilai moral
2.
Pemenuhan fana (sirna, lenyap) dalam
realitas mutlak
3.
Pengetahuan intuitif (berdasarkan
bisikan hati) lansung
4.
Timbulnya rasa kebahagian sebagai
karunia Allah SWT
5. Penggunaan
lambang-lambang pengungkapan (perasaan) yang biasanya mengandung pengertian
harafiah dan tersirat.[10]
Tasawuf juga berdasarkan Al-Quran dan
Hadits, dapat dilihat ayat-ayat dan hadits-hadits yang menggambarkan dekatnya
manusia dengan Allah SWT. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
QS. Al-Baqqarah ayat 115, artinya:
“Dan kepumyaan Allah lah timur dan barat,
maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui”.
2.
QS. Qaf ayat 16 artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat
kepadanya dari urat lehernya”.
3.
Hadits Riwayat Imam Bukkhari, artinya:
“Barangsiapa memusuhi seseorang waliKu
(wali Allah SWT adalah orang yang dekat denganNya), maka aku mengumumkan
permusuhanKu terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hambaKu kepadaKu
yang lebih Kusukai dari pengalaman segala yang Kuwajibkan atasnya. Kemudian,
hambaKu yang senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan melaksanakan amal-amal
sunnah, maka Aku senantiasa mencnitainya. Bila Aku telah cinta kepadanya,
Akulah pendengarnya dengan ia mendengar, Aku penglihatannya dengan ia menlihat,
Aku tangannya dengannya ia memukul, dan Aku kakinya dengan itu ia berjalan.
Bila ia memohon kepadaKu Aku perkenankan permoonannya, jika ia meminta
perlindungan, Kulindungi ia”.[11]
2.8.Tahapan Yang Dilalui Oleh Seorang
Hamba Yang Menekuni Tasawauf
1.
Syariat
Syariat adalah hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT
kepada nabi Muhammad saw yang telah ditetapkan oleh ulama melalui sumbers nash
al-quran maupun al-hadits atau dengan cara istimbat yaitu hukum-hukum yang
telah diterangkan dalam ilmu Tauhid, fiqh, dan tasawuf. Isi syariat mencakup
segala macam perintah dan larangan dari Allah SWT. Perintah-perintah itu
disebut sebagai istilah ma’ruf yang
meliputi perbuatan dan hukumNya wajib atau fardhu, sunnah, mubbah, atau
membolehkan. Sedangkan larangan-larangan dari Allah SWT disebut dengan munkar yang meliputi perbuatan yang
hukumnya haram dan makruh. Baik yang maruf maupun munkar sudah ada petunjuknya
dalam al-quran dan al-hadits.[12]
2.
Tarekat
Tarekat adalah pengalaman syariat melaksanakan beban ibadah
dengan tekun dan menjauhkan dari sikap mempermudah ibaadah yang sebenarnya
memang tidak boleh dipermudah (diremehkan). Sisi amaliah ibadah merupakan
latihan kejiwaan, baik yang dilakukan oleh seorang atau secara bersama-sama,
dengan melalui dan mentaati aturan tertentu untuk mencapai tingkatan
kerohanian. Adapun tingkatan makam tarekat tersebut antara lain menurut Abu
Nashr As-Saraj adalah sebagai berikut:
a.
Tingkatan Taubah
b.
Tingkatan Warah
c.
Tingkatan Az-Zuhd
d.
Tingkatan Al-Faqru
e.
Tingkatan Al-Shabru
f.
Tingkatan At-Tawaqal
g.
Tingkatan Ar-Ridha.[13]
3.
Hakikat
Hakikat adalah suasana kejiwaan seorang sufi ketika ia mencapai
suatu tujuan tertentu sehingga ia dapat menyaksikan tanda-tanda ketuhanan
dengan mata hatinya. Hakikat yang didapatkan oleh seorang sufi setelah lama menempuh
tarekat dengan melakukan suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang
dialami dan dihadapinya. Karena itu seorang sufi sering mengalami tiga macam
tingkatan keyakinan yaitu:
a. Ainul Yaqin
b. Immul Yaqin
c. Haqul Yaqin
Pengalaman batin yang sering
dialami oleh seorang sufi melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat
dengan marifat, dimana ahkikat itu merupakan tujuan awal tasawuf, sedangkan
marifat merupakan tujuan akhirnya.[14]
4.
Marifat
Marifat adalah hadirnya kebenaran Allah SWT pada seseorang sufi
dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan nur ilahi. Marifat membuat
ketenangan dalam hati. Akan tetapi tudak semua sufi dapat mencapai pada
tingkatan ini, karena itu seseorang yang sudah sampai pada tingkatan marifat
ini memmiliki tanda-tanda tertentu antara lain:
a.
Selalu memancar cahaya marifat padanya
dalam segala sikap dan perilakunya
b.
Tidak menjadikan keputusan pada suatu
yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata.
c.
Tidak mengingikan nikmat Allah SWT yang
banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya pada hal yang haram.[15]
III.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat kami simpulkan bahwa tasawuf
adalah bagian daripada agama Islam yang dimana tasawuf adalah untuk menyucikan
diri dan mendekatkan hubungan dengan Allah SWT dengan menanggalkan sifat-sifat
duniawi. Adapun tujuan daripada tasawuf ini adalah untuk membersihkan diri, dan
mecapai ihsan. Dalam hal itu ada tahapan-tahapan yang harus dilalui yaitu
syariat, tarekat, hakikat, dan marifat. Tasawuf ini juga adalah berdasarkan
al-quran dan al-hadits.
IV.
Daftar
Pustaka
Barus, L., Belajar Islamologi di ABDI SABDA, Medan:
2008
Kabbani, Syekh Muhammad
Hisyam, Tasawuf dan Ihsan, Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta, 2007
Mahmud, Syekh, Akidah dan Syariat Islam, Jakarta: Bina
Aksara, 1984
Mujieb, M. Abdul, Ensiklopedia Tasawuf, Jakarta: PT. Mizan
Publika, 2009
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2007
Rakhmat, Jalaludin, Islam dan Pluralisme, Jakarta: SERAMBI,
2006
Saifuddin, Asep, Kedudkan Mazhab Dalam Syariat, Jakarta:
Magenta Bakhti Guna, 1984
Shalaby, Ahmad, Pemikiran Islam, Jakarta: AMZAH, 2001
Siregar, H.A. Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1989
Sumber
lain:
https://syairiblog.blogspot.co.id/2015/04/makalah-Islam-dan-tasawuf.html,
diakses pada tanggal 22 April pkl. 18.00 wib.
[1] Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, (Jakarta: SERAMBI,
2006), 40
[2] L. Barus, Belajar Islamologi di ABDI SABDA, (Medan: 2008), 79
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2007), 286
[4] Ibid, 287-288
[5] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1989), 152
[6] H.A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta:
PT RajaGrafindo
Persada, 2002), 36
Persada, 2002), 36
[7] Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan, (Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2007),
22
22
[8] M. Abdul Mujieb, Ensiklopedia Tasawuf, (Jakarta: PT.
Mizan Publika, 2009), 18
[9]
M. Abdul Mujieb, Ensiklopedia
Tasawuf, 19
[10] Syekh Mahmud, Akidah dan Syariat Islam, (Jakarta: Bina
Aksara, 1984), 7
[11] https://syairiblog.blogspot.co.id/2015/04/makalah-Islam-dan-tasawuf.html, diakses pada tanggal
22 April pkl. 18.00 wib.
22 April pkl. 18.00 wib.
[12] Asep Saifuddin, Kedudkan Mazhab Dalam Syariat, (Jakarta:
Magenta Bakhti Guna, 1984), 59
[13]
Syekh Mahmud, Akidah dan Syariat
Islam, 4-6
[14] Ahmad Shalaby, Pemikiran Islam, (Jakarta: AMZAH, 2001),
70.
[15] Ibid, 72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar