Senin, 13 Mei 2019



Islam Dan Tasawuf
I.                   Pendahuluan
           Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Dalam agama Islam ada dikenal dengan istilah tasawuf. Tasawuf adalah upaya menyucikan diri dengan menjauhi segala hal-hal duniawi. Nabi Muhammad adalah yang menjadi suri tauladan dalam melakukan tasawuf. Tasawuf ini juga memiliki aliran yaitu aliran tasawuf falsasfi dan sunni. Apa dan bagaimana sebenarnya tasawuf islami itu? Disini kami para penyaji akan mencoba memaparkan tentang tasawuf itu dalam sajian kami. Semoga sajian ini dapat membuka wahana berpikir kita untuk memahami kepelbagaian dalam agama Islam.
II.                Pembahasan
2.1.Pengertian Islam
     Secara etimologi Islam berasal dari kata aslama yang mengandung pengertian khahla’a (tunduk) dan Istaslama (sikap berserah diri), dan juga adda (menyerahkan atau menyampaikan). Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT.[1] Islam adalah ketundukan seorang hamba kepada wahyu Ilahi yang diturunkan kepada para nabi dan rasul khususnya Muhammad SAW guna dijadikan pedoman hidup dan juga sebagai hukum atau aturan Allah SWT yang dapat membimbing umat manusia ke jalan yang lurus, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.[2]
2.2.Pengertian Tasawuf
     Dari segi kebahasaan (linguistik) terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Misalnya Harun Nasution menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjama’ah, sufi yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani: hikmah), dan suf (kain wol kasar).[3] Selain pengertian tasawuf dapat dilihat dari segi kebahasaan, dapat juga dilihat dari segi istilah. Dalam kaitan ini terdapat tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas: kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang; dan ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk berTuhan. Jika dilihat dari sudut pandang pertama, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri. Selanjutnya dari sudut pandang kedua tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak. Dan yang ketiga tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah.
Jika ketiga definisi tasawuf tersebut satu dan lainnya dihubungkan, segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Allah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak manusia.[4]
2.3.Sejarah Dan Perkembangan Tasawuf
     Kehidupan Rasulullah s.a.w sebelum menjadi nabi dan terutama setelah beliau bertugas menjadi nabi dan rasul dari Allah S.W.T telah dijadikan tauladan utama bagi sebagian orang shufi dan tidak menyeleweng kejurusan agama-agama yang lain dari Islam. Maka dalam mensejarahkan tasawuf Islam, pada taraf yang pertama sekali berdasar dan bersumberkan pada sumbernya yang pertama, yaitu peri hidup rasulullah pendiri agama Islam, orang yang paling memuliakan Allah diseluruh alam ini. Bahwa tasawuf pada masa rasulullah s.a.w adalah sifat umum yang terdapat pada hampir seluruh nabi. Untuk itu dengan sedikit demi sedikit lahirlah filsafat ibadah dan penyelidikan-penyelidikan mendalam cara ini, dan bersamaan dengan itu lahir pula mazhab-mazhab rohaniah yang mendalami dan ini semuanya itu termasuk dalam kata tasawuf adanya.[5]
     Tasawuf dikenal secara luas dikawasan Islam sejak penghujung abad dua hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau para zahid yang mengelompok diserambi masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya. Tahap asketisme ini setidaknya sampai pada abad dua hijiriah.[6]
2.4.Tujuan Tasawuf
     Ada beberapa tujuan dari tasawuf, diantaranya adalah:
a.    Membersihkan hati dari segala keinginan dan kecenderungan buruk, dan dari kotoran yang menumpuk akibat dosa dan kesalahan.
b.   Tasawuf bertujuan untuk menyingkirkan perilaku buruk dan perbuatan dosa, menyucikan diri, dan menghiasi hati dengan perilaku yang baik dan terpuji.
c.    Tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga merasa dan sadar berada di hadirat Tuhan.
d.   Tujuan akhir tasawuf adalah membantu kaum beriman untuk mencapai ihsan, atau tingkat kesempurnaan akhlak, dengan menjadikan Nabi saw sebagai teladan.[7]
2.5.Macam-macam Aliran Tasawuf
2.5.1.      Aliran Tasawuf Falsafi
      Tasawuf falsafi adalah aliran yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistik (ghaib) dan visi rasional (akal). Selain itu tasawuf falsafi memiliki pengertian sebagai berikut tasawuf yang menggunakan pendekatan rasio atau akal pikiran. Tasawuf model ini menggunakan bahan-bahan kajian atau dari para filsof, baik menyangkut tentang Tuhan, manusia, dan sebagainya.
2.5.2.      Aliran Tasawuf Sunni (tasawuf akhlaki)
      Tasawuf sunni adalah membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Tasawuf sunni gabungan antara ilmu tasawuf dan akhlak. Akhlak hubungannya sangat erat dengan tingkah laku dan perbuatan manusia sedalam interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Tasawuf model ini berusaha untuk mewujudkan akhlak mulia dalam diri sufi, sekaligus menghindarkan diri dari akhlak mazmunah (tercela). Dan tasawuf sunni juga memiliki pengertian yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al-Quran dan hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal dan maqomat mereka kepada sumber tersebut.
2.6.Tokoh-Tokoh Tasawuf
2.6.1.      Abu Thalib Al-Makiki
      Abu Thalib Al- makki adalah seorang sufi, lahir di Jabal, suatu daerah antara Baghdad dan Wasith. Dalam sejarah para sufi tidak banyak terungkap mengenai kehidupan pengembaraan mencari ilmu yang dilakukan oleh Abu Thalib Al-Makki. Akan tetapi, dari ilmu yang ia miliki menunjukkan bahwa beliau adalah seorang sufi besar. Berbagai ilmu telah didalami dan dikuasainya, antara lain hadist, fiqih, dan tasawuf. Sebagai seorang sufi, beliau memiliki banyak pokok pikiran. Tasawuf dapat ditegakkan apabila telah memilii dasar-dasar yang kuat. Untuk mencapai dasar-dasar tersebut dibutuhkan beberapa hal yang harus ada, yaitu:
·         Kehendak yang benar dan konsekuen yang benar
·         Membina hidup taqwa dan menolak keburukan serta segala perbuatan maksiat.
·         Selalu makrifat (mengenal) Allah dan zikir (mengingat)-Nya.
·         Selalu bergaul dengan orang-orang saleh yang mampu menegakkan kehidupan taqwa yang sejati.[8]
2.6.2.      Abu Yazid Al-Busthami
      Abu Yazid Al-Busthami dilahirkan di Butham (188 H), suatu daerah sebelah utara Persia dan di tempat ini pula ia wafat dan dimakamkan. Dikalangan para ulama fiqih, Abu Yazid dikenal sebagai tokoh fiqih pengikut mazhab hanafi tetapi pada akhir kehidupannya beliau dikenal sebagai seorang sufi besar. Kehidupannya sebagai seorang sufi ditempuh dalam perjalanan yang cukup panjang, kira-kira dalam waktu 30 tahun. Abu Yazid berkelana menyelusuri padang pasir hidup dengan zuhud, makan, minum, pakaian, dan tempat tidur serba sederhana. Dari kezuhudannya itu beliau dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meraih derajat makrifat yang hakiki. Abu Yazid Al-Busthami pernah berkata “suatu penentuan mempunyai pengaruh daya penghapus; esensinya menghilang oleh esensi yang lain, jejak-jejaknya musnah oleh jejak yang lain. Selama tiga puluh tahun Allah SWT telah menjadi cermin bagiku, tetapi sekarang diriku telah menjadi cerminku sendiri bahkan Ia adalah tuhan yang berbicara dengan menggunakan lidahku karena diriku sendiri telah lenyap”. Banyak doktrin dan kata-kata hikmah yang muncul dari lidahnya, antara lain sebagai berikut:
·         Orang arif tidak tergantung cita-citanya kepada yang diangan-angankan dan seorang zahid tidak tergantung cita-citanya kepada apa-apa yang dimakan.
·         Orang yang bahagia adalah orang yang dapat mengumpulkan cita-citanya menjadi satu, yaitu semata-mata hanya kepada Allah SWT dan hanya tidak terganggu dengan apa yang dilihat oleh matanya dan yang didengar oleh telinganya di dunia. Orang yang mengenal Allah SWT maka sesungguhnya ia zuhud dari segala sesuatu yang mengganggu dirinya daripada-Nya.
·         Jika Allah SWT menawarkan kepadamu kekayaan dari Arasy sampai bumi maka katakanlah, “bukan itu ya Allah, tetapi hanya Engkau ya Allah tujuanku”.[9]
2.7. Pandangan Umat Islam Tentang Tasawuf
     Menurut at-Taftazani, Tasawuf mempunyai lima ciri yaitu:
1.   Memiliki nilai-nilai moral
2.   Pemenuhan fana (sirna, lenyap) dalam realitas mutlak
3.   Pengetahuan intuitif (berdasarkan bisikan hati) lansung
4.   Timbulnya rasa kebahagian sebagai karunia Allah SWT
5.   Penggunaan lambang-lambang pengungkapan (perasaan) yang biasanya mengandung pengertian harafiah dan tersirat.[10]
     Tasawuf juga berdasarkan Al-Quran dan Hadits, dapat dilihat ayat-ayat dan hadits-hadits yang menggambarkan dekatnya manusia dengan Allah SWT. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.   QS. Al-Baqqarah ayat 115, artinya:
      “Dan kepumyaan Allah lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui”.
2.   QS. Qaf ayat 16 artinya:
      “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.
3.   Hadits Riwayat Imam Bukkhari, artinya:
      “Barangsiapa memusuhi seseorang waliKu (wali Allah SWT adalah orang yang dekat denganNya), maka aku mengumumkan permusuhanKu terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hambaKu kepadaKu yang lebih Kusukai dari pengalaman segala yang Kuwajibkan atasnya. Kemudian, hambaKu yang senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencnitainya. Bila Aku telah cinta kepadanya, Akulah pendengarnya dengan ia mendengar, Aku penglihatannya dengan ia menlihat, Aku tangannya dengannya ia memukul, dan Aku kakinya dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepadaKu Aku perkenankan permoonannya, jika ia meminta perlindungan, Kulindungi ia”.[11]
2.8.Tahapan Yang Dilalui Oleh Seorang Hamba Yang Menekuni Tasawauf
1.   Syariat
      Syariat adalah hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad saw yang telah ditetapkan oleh ulama melalui sumbers nash al-quran maupun al-hadits atau dengan cara istimbat yaitu hukum-hukum yang telah diterangkan dalam ilmu Tauhid, fiqh, dan tasawuf. Isi syariat mencakup segala macam perintah dan larangan dari Allah SWT. Perintah-perintah itu disebut sebagai istilah ma’ruf yang meliputi perbuatan dan hukumNya wajib atau fardhu, sunnah, mubbah, atau membolehkan. Sedangkan larangan-larangan dari Allah SWT disebut dengan munkar yang meliputi perbuatan yang hukumnya haram dan makruh. Baik yang maruf maupun munkar sudah ada petunjuknya dalam al-quran dan al-hadits.[12]
2.   Tarekat
      Tarekat adalah pengalaman syariat melaksanakan beban ibadah dengan tekun dan menjauhkan dari sikap mempermudah ibaadah yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah (diremehkan). Sisi amaliah ibadah merupakan latihan kejiwaan, baik yang dilakukan oleh seorang atau secara bersama-sama, dengan melalui dan mentaati aturan tertentu untuk mencapai tingkatan kerohanian. Adapun tingkatan makam tarekat tersebut antara lain menurut Abu Nashr As-Saraj adalah sebagai berikut:
a.       Tingkatan Taubah
b.      Tingkatan Warah
c.       Tingkatan Az-Zuhd
d.      Tingkatan Al-Faqru
e.       Tingkatan Al-Shabru
f.       Tingkatan At-Tawaqal
g.      Tingkatan Ar-Ridha.[13]
3.   Hakikat
      Hakikat adalah suasana kejiwaan seorang sufi ketika ia mencapai suatu tujuan tertentu sehingga ia dapat menyaksikan tanda-tanda ketuhanan dengan mata hatinya. Hakikat yang didapatkan oleh seorang sufi setelah lama menempuh tarekat dengan melakukan suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dialami dan dihadapinya. Karena itu seorang sufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan yaitu:
a.      Ainul Yaqin
b.      Immul Yaqin
c.       Haqul Yaqin
                                                Pengalaman batin yang sering dialami oleh seorang sufi melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan marifat, dimana ahkikat itu merupakan tujuan awal tasawuf, sedangkan marifat merupakan tujuan akhirnya.[14]
4.    Marifat
      Marifat adalah hadirnya kebenaran Allah SWT pada seseorang sufi dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan nur ilahi. Marifat membuat ketenangan dalam hati. Akan tetapi tudak semua sufi dapat mencapai pada tingkatan ini, karena itu seseorang yang sudah sampai pada tingkatan marifat ini memmiliki tanda-tanda tertentu antara lain:
a.       Selalu memancar cahaya marifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya
b.      Tidak menjadikan keputusan pada suatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata.
c.       Tidak mengingikan nikmat Allah SWT yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya pada hal yang haram.[15]
III.             Kesimpulan
           Dari pemaparan diatas dapat kami simpulkan bahwa tasawuf adalah bagian daripada agama Islam yang dimana tasawuf adalah untuk menyucikan diri dan mendekatkan hubungan dengan Allah SWT dengan menanggalkan sifat-sifat duniawi. Adapun tujuan daripada tasawuf ini adalah untuk membersihkan diri, dan mecapai ihsan. Dalam hal itu ada tahapan-tahapan yang harus dilalui yaitu syariat, tarekat, hakikat, dan marifat. Tasawuf ini juga adalah berdasarkan al-quran dan al-hadits.
IV.             Daftar Pustaka
Barus, L., Belajar Islamologi di ABDI SABDA, Medan: 2008
Kabbani, Syekh Muhammad Hisyam, Tasawuf dan Ihsan, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007
Mahmud, Syekh, Akidah dan Syariat Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1984
Mujieb, M. Abdul, Ensiklopedia Tasawuf, Jakarta: PT. Mizan Publika, 2009
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007
Rakhmat, Jalaludin, Islam dan Pluralisme, Jakarta: SERAMBI, 2006
Saifuddin, Asep, Kedudkan Mazhab Dalam Syariat, Jakarta: Magenta Bakhti Guna, 1984
Shalaby, Ahmad, Pemikiran Islam, Jakarta: AMZAH, 2001
Siregar, H.A. Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1989
Sumber lain:
https://syairiblog.blogspot.co.id/2015/04/makalah-Islam-dan-tasawuf.html, diakses pada tanggal 22 April pkl. 18.00 wib. 



[1] Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, (Jakarta: SERAMBI, 2006), 40
[2] L. Barus, Belajar Islamologi di ABDI SABDA, (Medan: 2008), 79
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), 286
[4] Ibid, 287-288
[5] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1989), 152
[6] H.A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT RajaGrafindo
                 Persada, 2002), 36
[7] Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007),
                   22
[8] M. Abdul Mujieb, Ensiklopedia Tasawuf, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2009), 18
[9]  M. Abdul Mujieb, Ensiklopedia Tasawuf, 19
[10] Syekh Mahmud, Akidah dan Syariat Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), 7
[11] https://syairiblog.blogspot.co.id/2015/04/makalah-Islam-dan-tasawuf.html, diakses pada tanggal
                     22 April pkl. 18.00 wib.  
[12] Asep Saifuddin, Kedudkan Mazhab Dalam Syariat, (Jakarta: Magenta Bakhti Guna, 1984), 59
[13]  Syekh Mahmud, Akidah dan Syariat Islam, 4-6
[14] Ahmad Shalaby, Pemikiran Islam, (Jakarta: AMZAH, 2001), 70.
[15] Ibid, 72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar