Sistem
Etika Buddha
I.
Pendahuluan
Etika
merupakan ilmu yang menyelidiki dan memberikan norma dan pedoman tentang
bagaimana manusia bertingkah laku yang baik dalam seluruh aspek kehidupan
sehari-hari. Etika dalam hidup beragama sangatlah penting dan sangat diperlukan
karena merupakan faktor motivasi yang mendorong dan melandasi cita-cita dan
amal perbuatan. Namun pada kenyataannya manusia tidaklah sempurna maka ia harus
melatih dirinya untuk lebih baik. Dalam
pembahasan kali ini kita akan melihat dengan jelas bagaimana sebenarnya sistem
etika dalam Buddha. Semoga sajian ini dapat menambah wawasan kita bersama.
II.
Pembahasan
2.1. Pengertian Buddha
Secara
etimologi asal usul kata buddha adalah suatu bentuk dari pokok atau dasar kata
kerja “buddh” yang artinya bangun.
Orang buddha ialah “orang yang bangun”, artinya orang yang telah bangun dari
malam kesesatan dan sekarang ada di tengah-tengah cahaya pemandangan yang
benar, kepada orang buddha diberikan juga nama-nama yang lain misalnya bhagavat yang artinya luhur, tathagata artinya yang sempurna.[1] Buddha
juga diartikan sebagai “Yang sadar” atau “Yang Tercerahkan”.[2]
2.2. Latar Belakang Buddha
Buddha
bukanlah nama orang, melainkan suatu gelar. Nama pendiri agama Buddha yang
didapatnya dari orang tuanya ialah Siddhartha.[3]
Siddharta dilahirkan sekitar 2500-2600 tahun yang lalu dan umumnya dianggap
pada tahun 563 sM. Ia diberi nama lengkap Siddhartha Gautama. Siddhartha
artinya pencapaian sempurna dan Gautama adalah nama keluarganya. Beliau
kemudian diramalkan akan menjadi orang suci dan guru agung spiritual.[4] Sang
Buddha merupakan pembaharu agama dengan menolak hal-hal seperti konsep mengenai
banyak dewa, upacara yang berlebih-lebihan, sistem pembagian ke dalam
kasta-kasta, diskriminasi kaum, dan kekuasaan berlebihan yang dimiliki para
pendeta.[5]
Di
samping ini semua, Ia merasa terjebak di tengah-tengah kemewahan seperti seekor
burung dalam sangkar emas. Dalam perjalanan dan kunjungannya keluar istana ia
mendapat pengalaman yaitu: orang tua, orang sakit, orang mati dan petapa. Saat
ia melihat hal-hal tersebut kesadarannya datang bahwa “hidup akan menjadi uzur
dan mati” lalu ia bertanya dimana ada alam kehidupan yang tidak ada keuzuran
dan kematian. Kemudian ia melihat penampakan petapa yang tenang karena telah
melepas nafsu keduniawian, maka ia mengambil keputusan bahwa langkah pertama
dalam pencarian kebenaran adalah meninggalkan hidup keduniawian. Dengan
demikian ia menyadari bahwa kepemilikan duniawi tidak dapat membawa kebahagiaan
sejati yang didambakan orang. Maka pada usia 29 tahun diam-diam ia mengucapkan
selamat tinggal pada isteri dan anaknya yang tertidur, menunggang kuda putih
dan pergi ke hutan untuk menemukan penerangan yang sempurna. [6]
2.3. Sumber Ajaran
Buddha
Pandangan hidup dan Etika Agama Buddha dapat
dipelajari dalam Kitab Suci Tripitaka, yang
terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Sutta
Pitaka : berisi ajaran Buddha
kepada para muridnya.
2. Winaya
Pitaka : berisi peraturan-peraturan
yang mengatur tata tertib
Sangha (jemaat).
3. Abbidhamma
Pitaka : berisi ajaran lebih mendalam tentang
hakekat dan
tujuan hidup manusia, ilmu pengetahuan
yang
membawa kepada kelepasan. [7]
Kitab suci Tripitaka dipakai baik oleh Buddhisme
Theravada maupun oleh Buddhisme Mahayana. Aliran Theravada dalam Kitab Sucinya Pali Canon, menekankan bahwa Buddha
hanyalah seorang manusia, seorang yang telah mencapai pencerahan; dan bahwa
pencerahan dapat dicapai dengan mengikuti teladan dan pengajarannya.
Sementara Buddhisme Mahayana menekankan
bahwa orang tidak boleh bergantung pada usaha
mereka sendiri untuk mencapai nirwana. Untuk menuju pencerahan orang perlu
dibantu oleh mereka yang sudah mencapai pencerahan tetapi masih tinggal di bumi
supaya dapat menolong orang lain mencapai nirwana.[8]
2.4. Sitem Etika Buddha
Etika
(Sila) dalam buku agama Buddha sering diterjemahkan sebagai “moral, kebajikan,
atau perbuatan baik”. Ajaran Buddha tentang sila adalah etika Buddhis, petunjuk
dan latihan moral yang membentuk perilaku baik. Menurut bahasa Pali, “Sila”
dalam pengertian luas padannya adalah “etika” dan dalam pengertian sempit
padannya adalah “moral”.[9] Etika
timbul dari kenyataan bahwa tidak ada satu pun manusia yang sempurna maka ia
sangat memerlukan latihan. Etika umat Buddha tidak berlandaskan pada adat
sosial yang berubah tetapi pada hukum alam yang tidak berubah. Etika umat
Buddha pada hakikatnya adalah bagian dari alam dan hukum tetap sebab akibat
moral. Misi Buddha adalah untuk mencerahkan manusia akan sifat keberadaan dan
untuk menasihatkan bagaimana cara terbaik untuk kebahagiaan mereka dan
keuntungan orang lain.[10]
Etika
yang dibangun sang Buddha adalah cinta kasih dan kasih sayang yang diwujudkan
oleh sabda sang Buddha: “Penderitaanmu
adalah penderitaanku, dan kegembiraanmu adalah kegembiraanku”. Empat ikrar
yang berdasarkan cinta kasih dan kasih sayang yang tidak terbatas adalah:[11]
1. Berusaha
menolong semua makhluk.
2. Menolak
semua keinginan nafsu keduniawian.
3. Mempelajari,
menghayati dan mengamalkan dharma (aturan dan kebenaran).
4. Berusaha
mencapai pencerahan sempurna.
Etika
(Sila) dapat digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu:[12]
1. Pancasila
Bertekad
untuk menjalani aturan latihan untuk menghindarkan diri dari:
·
Membunuh
·
Mengambil yang tidak
diberikan
·
Berperilaku menyimpang
dalam kenikmatan indrawi
·
Mengucap dusta
·
Mengkonsumsi zat yang menyebabkan
ketidakwaspadaan.
Tujuan
dilakukannya latihan di atas adalah untuk menghilangkan nafsu kasar yang
diwujudkannya melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan.
2. Delapan
sila
Tujuan
menjalani delapan sila ini adalah untuk mengembangkan relaksasi dan ketenangan,
melatih batin, dan mengembangkan diri secara spiritual. Delapan sila yang harus
dihindari adalah:
·
Membunuh
·
Mengambil yang tidak
diberikan
·
Melakukan tindakan
seksual
·
Mengucap dusta
·
Mengkonsumsi zat yang
menyebabkan ketidakwaspadaan
·
Makan selewat tengah
hari sampai fajar berikutnya
·
Menari, Menyanyi,
bermain musik, menonton pertunjukan yang tak pantas, mengenakan kalung,
wewangian, dan benda yang mengarah untuk merias diri
·
Menggunakan tempat
duduk yang tinggi dan mewah.
3. Dasa
sila[13]
·
Tidak melakukan pembunuhan
·
Tidak melakukan
pencurian
·
Tidak melakukan
hubungan kelamin yang salah
·
Tidak berkata tidak
benar
·
Tidak memfitnah
·
Tidak berkata kasar
·
Tidak membicarakan hal
yang tidak berguna
·
Tidak tamak
·
Tidak berhati dengki
(tidak beritikad jahat)
·
Tidak berpandangan yang
salah
Sang
Buddha melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk
dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan buruk yang diakibatkan oleh
badan jasmani, ucapan dan pikiran yaitu:
a. Badan
Jasmani: Pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
b. Ucapan:
penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan yang kasar, percakapan yang tidak berguna.
c. Pikiran:
Kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.[14]
2.5. Nilai-nilai Etika
Buddha
Adapun
nilai-nilai dalam Etika Buddha adalah:
a. Jalan
Mulia Berunsur Delapan[15]
1. Memiliki
Pandangan yang Benar
Pandangan
benar adalah seseorang memahami sifat karma yang bermanfaat (baik) dan karma
yang tidak bermanfaat (buruk) dan bagaimana hal itu dapat dilakukan oleh
pikiran, ucapan dan tubuh. Dengan memahami karma, seseorang akan belajar untuk
menentang keburukan dan melakukan kebaikan demi menciptakan hasil yang
diinginkan dalam hidup,
2. Berpikir
yang Benar
Yang
membawa kepada sifat mencintai semua bentuk-bentuk kehidupan, bahkan juga
kepada kehidupan yang tingkatnya paling rendah sekalipun.
3. Berbicara
yang Benar
Berbicara
yang benar ini bertujuan yang murni,
mulia, dan baik.
4. Berbuat
yang Benar
Menyangkut
tindakan yang bermoral, penuh perhatian kepada sesama, dan melakukan kebaikan
terhadap semua makhluk hidup.
5. Mata
Pencaharian yang Benar
Maksudnya
ialah supaya umat Buddha jangan mencari mata pecaharian dari hal-hal yang
mengakibatkan kekerasan, atau harus mengikuti ajaran agamanya; rahib Buddha
harus diurus oleh umat Buddha.
6. Usaha
yang Benar
Usaha
yang benar ini untuk mengusir semua semua pikiran jahat.
7. Perhatian
yang Benar
Yang
menyangkut kesadaran terhadap kebutuhan-kebutuhan orang lain.
8. Konsentrasi
yang Benar
Dengan
menggunakan meditasi yang dapat menciptakan ketenangan batin seseorang dan rasa
damai dengan diri sendiri maupun dengan dunia.
Upasaka
(laki-laki) dan Upasika
(perempuan). Sila merupakan dasar dalam pengalaman ajaran agama Buddha dan
pelaksanaan sila dalam bentuk peraturan-pelatihan. Maka Umat Buddha tidak menghendaki adanya
kasta dalam masyarakat.
Hiri
adalah “malu berbuat salah” dan Ottappa adalah “takut pada perbuatan salah”
c. Pancasila-Pancadhamma[18]
Seorang Upasaka dan upasika hendaknya dapat
melatih sila dalam kehidupan sehari-hari. Umat Buddha yang menghayati konsep
ke-Tuhanan Sanghyang Adi Buddha,
diharapkan memiliki perilaku berikut ini:
Metta :
kasih sayang terhadap semua makhluk.
Karuna :
sikap sedia meringankan makhluk lain.
Mudita : turut berbahagia dengan kebahagiaan
makhluk lain tanpa benci
dan tanpa iri hati.
Upekka :
bersikap adil, diam, tenang dan penuh dengan kebijaksanaan yang
seimbang.
2.6. Tujuan Etika Kristen[19]
1. Pelenyapan
Penderitaan
Pelenyapan
penderitaan adalah tujuan utama ajaran sang Buddha. Untuk melenyapkan
penderitaan secara tuntas seseorang harus menghilangkan nafsu keinginan,
kebencian dan ketidakpedulian.
2. Kebahagiaan
Dalam
Buddha pelenyapan penderitaan adalah kebahagiaan yang sempurna. Dengan kata
lain mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha akan hidup bahagia tanpa
keserakahan di antara mereka yang masih dikuasai oleh nafsu keinginan. Makin
banyak nafsu keinginan yang dapat dijauhkan, maka makin besarlah kebahagiaan
yang akan diperoleh.
3. Pencerahan
Dengan
adanya ajaran sang Buddha maka kebijaksanaan dan kasih sayang adalah yang
paling utama. Dengan begitu maka akan mampu menolong seluruh makhluk mengatasi
penderitaan.
4. Kebenaran
Nirvana
Pelenyapan
penderitaan diuraikan sebagai kebahagiaan sempurna dan pencerahan. Maka kebenarana
Nirvana itu haruslah dialami sendiri. Dengan kata lain “ Jika seseorang ingin
mengetahui tentang keadaan pikiran Buddha, dia harus mengembangkan pikirannya
seperti ruang kosong.”
Ringkasan seluruh
ajaran Buddha adalah :
Hindarilah yang jahat,
Banyak berbuat
kebaikan,
Sucikan hati dan
pikiran. [20]
III.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas kami para penyaji mengambil kesimpulan bahwa sistem etika
Buddha adalah suatu perbuatan itu dikatakan baik atau buruk, benar atau salah
yaitu dengan menggunakan pemeriksaan apakah tindakan itu akan membawa kelepasan
(mendatangkan kebahagiaan) bagi diri sendiri dan bagi semua makhluk.
Kebahagiaan termulia itu harus dicapai melalui pengendalian terhadap kesenangan
indria, semua kedengkian, nilai-nilai yang keliru dan kepuasan yang tidak dapat
bertahan lama. Jadi untuk sang Buddha nilai-nilai kebenaran adalah nilai-nilai
moral atau nilai-nilai etika seperti halnya menjalankan Pancasila Buddhis,
Dasasila, Jalan Mulia Berunsur Delapan dan lain-lain. Dengan singkat, kehidupan
dengan moral baik akan menghasilkan karma yang baik untuk kehidupan yang akan
datang. Akan tetapi tujuan paling utama adalah mencapai nirwana dan benar-benar
bebas dari hukum karma.
IV.
Daftar
Pustaka
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, Ehipassiko Foundation,
2012
Donath, Dorothy C., Pengenalan Agama Buddha, Yayasan
Penerbit Karaniya, 2005
Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2010
Honig Jr, A. G., Ilmu Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012
Keene, Michael, Agama-agama Dunia, Yogyakarta: Kanisius,
2006
Mukti, Krishnanda
Wijaya, Wacana Buddha-Dharma,
Jakarta: Yayasan Dharma
Pembangunan, 2003
Rashid,
Dhammavisarada Teja S.M., Sila dan Vinaya,
Jakarta: Buddhis BODHI, 1997
Sudarman,
Sutradharma Tj., Menjalani Kehidupan
Buddhisme Confuciusme dan
Taoisme,
Jakarta: Sunyata, 1998
Tarigan, Jacobus, Religiositas, Agama & Gereja Katolik, Jakarta: Grasindo, 2007
[1] A. G. Honig Jr, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012), 165
[2] Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, (Jakarta: Ehipassiko
Foundation, 2012), 15
[3] A. G. Honig Jr, Ilmu Agama, 167
[5] ....Ibid, 20
[6] Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, 16
[7] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2010), 63
[9] Krishnanda Wijaya Mukti,
Wacana Buddha-Dharma, (Jakarta:
Yayasan Dharma Pembangunan, 2003), 176
[10] Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, 210-211
[11] Sutradharma Tj.
Sudarman, Menjalani Kehidupan Buddhisme Confuciusme
dan Taoisme, (Jakarta: Sunyata, 1998), 23
[12] Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, 231-234
[13] Dhammavisarada Teja S.M.
Rashid, Sila dan Vinaya, (Jakarta:
Buddhis BODHI, 1997), 3-4
[14] Sutradharma Tj.
Sudarman, Menjalani Kehidupan Buddhisme Confuciusme
dan Taoisme, 24
[15] Michael Keene, Agama-agama Dunia, (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), 75
[16] Dhammavisarada Teja S.M.
Rashid, Sila dan Vinaya, 8
[17]...., Ibid, 12
[19] Sutradharma Tj.
Sudarman, Menjalani Kehidupan Buddhisme
Confuciusme dan Taoisme, 37-40
[20] Dorothy C. Donath, Pengenalan Agama Buddha, 62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar