Jumat, 10 Mei 2019


Sistem Etika Buddha
I.                   Pendahuluan
Etika merupakan ilmu yang menyelidiki dan memberikan norma dan pedoman tentang bagaimana manusia bertingkah laku yang baik dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Etika dalam hidup beragama sangatlah penting dan sangat diperlukan karena merupakan faktor motivasi yang mendorong dan melandasi cita-cita dan amal perbuatan. Namun pada kenyataannya manusia tidaklah sempurna maka ia harus melatih dirinya untuk lebih baik.  Dalam pembahasan kali ini kita akan melihat dengan jelas bagaimana sebenarnya sistem etika dalam Buddha. Semoga sajian ini dapat menambah wawasan kita bersama.

II.                Pembahasan
2.1. Pengertian Buddha
Secara etimologi asal usul kata buddha adalah suatu bentuk dari pokok atau dasar kata kerja “buddh” yang artinya bangun. Orang buddha ialah “orang yang bangun”, artinya orang yang telah bangun dari malam kesesatan dan sekarang ada di tengah-tengah cahaya pemandangan yang benar, kepada orang buddha diberikan juga nama-nama yang lain misalnya bhagavat yang artinya luhur, tathagata artinya yang sempurna.[1] Buddha juga diartikan sebagai “Yang sadar” atau “Yang Tercerahkan”.[2]

2.2. Latar Belakang Buddha
Buddha bukanlah nama orang, melainkan suatu gelar. Nama pendiri agama Buddha yang didapatnya dari orang tuanya ialah Siddhartha.[3] Siddharta dilahirkan sekitar 2500-2600 tahun yang lalu dan umumnya dianggap pada tahun 563 sM. Ia diberi nama lengkap Siddhartha Gautama. Siddhartha artinya pencapaian sempurna dan Gautama adalah nama keluarganya. Beliau kemudian diramalkan akan menjadi orang suci dan guru agung spiritual.[4] Sang Buddha merupakan pembaharu agama dengan menolak hal-hal seperti konsep mengenai banyak dewa, upacara yang berlebih-lebihan, sistem pembagian ke dalam kasta-kasta, diskriminasi kaum, dan kekuasaan berlebihan yang dimiliki para pendeta.[5]
Di samping ini semua, Ia merasa terjebak di tengah-tengah kemewahan seperti seekor burung dalam sangkar emas. Dalam perjalanan dan kunjungannya keluar istana ia mendapat pengalaman yaitu: orang tua, orang sakit, orang mati dan petapa. Saat ia melihat hal-hal tersebut kesadarannya datang bahwa “hidup akan menjadi uzur dan mati” lalu ia bertanya dimana ada alam kehidupan yang tidak ada keuzuran dan kematian. Kemudian ia melihat penampakan petapa yang tenang karena telah melepas nafsu keduniawian, maka ia mengambil keputusan bahwa langkah pertama dalam pencarian kebenaran adalah meninggalkan hidup keduniawian. Dengan demikian ia menyadari bahwa kepemilikan duniawi tidak dapat membawa kebahagiaan sejati yang didambakan orang. Maka pada usia 29 tahun diam-diam ia mengucapkan selamat tinggal pada isteri dan anaknya yang tertidur, menunggang kuda putih dan pergi ke hutan untuk menemukan penerangan yang sempurna. [6]

2.3. Sumber Ajaran Buddha
Pandangan hidup dan Etika Agama Buddha dapat dipelajari dalam Kitab Suci Tripitaka, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1.      Sutta Pitaka                 : berisi ajaran Buddha kepada para muridnya.
2.      Winaya Pitaka             : berisi peraturan-peraturan yang mengatur tata tertib
                                            Sangha (jemaat).
3.      Abbidhamma Pitaka   : berisi ajaran lebih mendalam tentang hakekat dan
  tujuan hidup manusia, ilmu pengetahuan yang 
  membawa kepada kelepasan. [7]

Kitab suci Tripitaka dipakai baik oleh Buddhisme Theravada maupun oleh Buddhisme Mahayana. Aliran Theravada dalam Kitab Sucinya Pali Canon, menekankan bahwa Buddha hanyalah seorang manusia, seorang yang telah mencapai pencerahan; dan bahwa pencerahan dapat dicapai dengan mengikuti teladan dan pengajarannya. Sementara Buddhisme  Mahayana menekankan bahwa orang tidak  boleh bergantung pada usaha mereka sendiri untuk mencapai nirwana. Untuk menuju pencerahan orang perlu dibantu oleh mereka yang sudah mencapai pencerahan tetapi masih tinggal di bumi supaya dapat menolong orang lain mencapai nirwana.[8] 
2.4. Sitem Etika Buddha
Etika (Sila) dalam buku agama Buddha sering diterjemahkan sebagai “moral, kebajikan, atau perbuatan baik”. Ajaran Buddha tentang sila adalah etika Buddhis, petunjuk dan latihan moral yang membentuk perilaku baik. Menurut bahasa Pali, “Sila” dalam pengertian luas padannya adalah “etika” dan dalam pengertian sempit padannya adalah “moral”.[9] Etika timbul dari kenyataan bahwa tidak ada satu pun manusia yang sempurna maka ia sangat memerlukan latihan. Etika umat Buddha tidak berlandaskan pada adat sosial yang berubah tetapi pada hukum alam yang tidak berubah. Etika umat Buddha pada hakikatnya adalah bagian dari alam dan hukum tetap sebab akibat moral. Misi Buddha adalah untuk mencerahkan manusia akan sifat keberadaan dan untuk menasihatkan bagaimana cara terbaik untuk kebahagiaan mereka dan keuntungan orang lain.[10]
Etika yang dibangun sang Buddha adalah cinta kasih dan kasih sayang yang diwujudkan oleh sabda sang Buddha: “Penderitaanmu adalah penderitaanku, dan kegembiraanmu adalah kegembiraanku”. Empat ikrar yang berdasarkan cinta kasih dan kasih sayang yang tidak terbatas adalah:[11]
1.      Berusaha menolong semua makhluk.
2.      Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
3.      Mempelajari, menghayati dan mengamalkan dharma (aturan dan kebenaran).
4.      Berusaha mencapai pencerahan sempurna.

Etika (Sila) dapat digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu:[12]
1.      Pancasila
Bertekad untuk menjalani aturan latihan untuk menghindarkan diri dari:
·         Membunuh
·         Mengambil yang tidak diberikan
·         Berperilaku menyimpang dalam kenikmatan indrawi
·         Mengucap dusta
·         Mengkonsumsi zat yang menyebabkan ketidakwaspadaan.
Tujuan dilakukannya latihan di atas adalah untuk menghilangkan nafsu kasar yang diwujudkannya melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan.
2.      Delapan sila
Tujuan menjalani delapan sila ini adalah untuk mengembangkan relaksasi dan ketenangan, melatih batin, dan mengembangkan diri secara spiritual. Delapan sila yang harus dihindari adalah:
·         Membunuh
·         Mengambil yang tidak diberikan
·         Melakukan tindakan seksual
·         Mengucap dusta
·         Mengkonsumsi zat yang menyebabkan ketidakwaspadaan
·         Makan selewat tengah hari sampai fajar berikutnya
·         Menari, Menyanyi, bermain musik, menonton pertunjukan yang tak pantas, mengenakan kalung, wewangian, dan benda yang mengarah untuk merias diri
·         Menggunakan tempat duduk yang tinggi dan mewah.

3.      Dasa sila[13]
·         Tidak melakukan pembunuhan
·         Tidak melakukan pencurian
·         Tidak melakukan hubungan kelamin yang salah
·         Tidak berkata tidak benar
·         Tidak memfitnah
·         Tidak berkata kasar
·         Tidak membicarakan hal yang tidak berguna
·         Tidak tamak
·         Tidak berhati dengki (tidak beritikad jahat)
·         Tidak berpandangan yang salah
Sang Buddha melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan buruk yang diakibatkan oleh badan jasmani, ucapan dan pikiran yaitu:
a.       Badan Jasmani: Pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
b.      Ucapan: penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan yang kasar,     percakapan yang tidak berguna.
c.       Pikiran: Kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.[14]

2.5. Nilai-nilai Etika Buddha
Adapun nilai-nilai dalam Etika Buddha adalah:
a.       Jalan Mulia Berunsur Delapan[15]
1.      Memiliki Pandangan yang Benar
Pandangan benar adalah seseorang memahami sifat karma yang bermanfaat (baik) dan karma yang tidak bermanfaat (buruk) dan bagaimana hal itu dapat dilakukan oleh pikiran, ucapan dan tubuh. Dengan memahami karma, seseorang akan belajar untuk menentang keburukan dan melakukan kebaikan demi menciptakan hasil yang diinginkan dalam hidup,
2.      Berpikir yang Benar
Yang membawa kepada sifat mencintai semua bentuk-bentuk kehidupan, bahkan juga kepada kehidupan yang tingkatnya paling rendah sekalipun.
3.      Berbicara yang Benar
Berbicara yang benar ini  bertujuan yang murni, mulia, dan baik.
4.      Berbuat yang Benar
Menyangkut tindakan yang bermoral, penuh perhatian kepada sesama, dan melakukan kebaikan terhadap semua makhluk hidup.
5.      Mata Pencaharian yang Benar
Maksudnya ialah supaya umat Buddha jangan mencari mata pecaharian dari hal-hal yang mengakibatkan kekerasan, atau harus mengikuti ajaran agamanya; rahib Buddha harus diurus oleh umat Buddha.
6.      Usaha yang Benar
Usaha yang benar ini untuk mengusir semua semua pikiran jahat.
7.      Perhatian yang Benar
Yang menyangkut kesadaran terhadap kebutuhan-kebutuhan orang lain.
8.      Konsentrasi yang Benar
Dengan menggunakan meditasi yang dapat menciptakan ketenangan batin seseorang dan rasa damai dengan diri sendiri maupun dengan dunia.
b.      Upasaka dan Upasika[16]
Upasaka (laki-laki) dan Upasika (perempuan). Sila merupakan dasar dalam pengalaman ajaran agama Buddha dan pelaksanaan sila dalam bentuk peraturan-pelatihan.  Maka Umat Buddha tidak menghendaki adanya kasta dalam masyarakat.
Hiri dan Ottapa[17]
Hiri adalah “malu berbuat salah” dan Ottappa adalah “takut pada perbuatan salah”
c.       Pancasila-Pancadhamma[18]
Seorang Upasaka dan upasika hendaknya dapat melatih sila dalam kehidupan sehari-hari. Umat Buddha yang menghayati konsep ke-Tuhanan Sanghyang Adi Buddha, diharapkan memiliki perilaku berikut ini:
Metta         : kasih sayang terhadap semua makhluk.
Karuna      : sikap sedia meringankan makhluk lain.
Mudita      : turut berbahagia dengan kebahagiaan makhluk lain tanpa benci
                    dan tanpa iri hati.    
Upekka      : bersikap adil, diam, tenang dan penuh dengan kebijaksanaan yang
                          seimbang.
2.6. Tujuan Etika Kristen[19]
1.      Pelenyapan Penderitaan
Pelenyapan penderitaan adalah tujuan utama ajaran sang Buddha. Untuk melenyapkan penderitaan secara tuntas seseorang harus menghilangkan nafsu keinginan, kebencian dan ketidakpedulian.
2.      Kebahagiaan
Dalam Buddha pelenyapan penderitaan adalah kebahagiaan yang sempurna. Dengan kata lain mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha akan hidup bahagia tanpa keserakahan di antara mereka yang masih dikuasai oleh nafsu keinginan. Makin banyak nafsu keinginan yang dapat dijauhkan, maka makin besarlah kebahagiaan yang akan diperoleh.

3.      Pencerahan
Dengan adanya ajaran sang Buddha maka kebijaksanaan dan kasih sayang adalah yang paling utama. Dengan begitu maka akan mampu menolong seluruh makhluk mengatasi penderitaan.
4.      Kebenaran Nirvana
Pelenyapan penderitaan diuraikan sebagai kebahagiaan sempurna dan pencerahan. Maka kebenarana Nirvana itu haruslah dialami sendiri. Dengan kata lain “ Jika seseorang ingin mengetahui tentang keadaan pikiran Buddha, dia harus mengembangkan pikirannya seperti ruang kosong.”
Ringkasan seluruh ajaran Buddha adalah :
Hindarilah yang jahat,
Banyak berbuat kebaikan,
Sucikan hati dan pikiran. [20]

III.             Kesimpulan
Dari pemaparan di atas kami para penyaji mengambil kesimpulan bahwa sistem etika Buddha adalah suatu perbuatan itu dikatakan baik atau buruk, benar atau salah yaitu dengan menggunakan pemeriksaan apakah tindakan itu akan membawa kelepasan (mendatangkan kebahagiaan) bagi diri sendiri dan bagi semua makhluk. Kebahagiaan termulia itu harus dicapai melalui pengendalian terhadap kesenangan indria, semua kedengkian, nilai-nilai yang keliru dan kepuasan yang tidak dapat bertahan lama. Jadi untuk sang Buddha nilai-nilai kebenaran adalah nilai-nilai moral atau nilai-nilai etika seperti halnya menjalankan Pancasila Buddhis, Dasasila, Jalan Mulia Berunsur Delapan dan lain-lain. Dengan singkat, kehidupan dengan moral baik akan menghasilkan karma yang baik untuk kehidupan yang akan datang. Akan tetapi tujuan paling utama adalah mencapai nirwana dan benar-benar bebas dari hukum karma.

IV.             Daftar Pustaka
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, Ehipassiko Foundation, 2012
Donath, Dorothy C., Pengenalan Agama Buddha, Yayasan Penerbit Karaniya,            2005
Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,             2010
Honig Jr, A. G., Ilmu Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012
Keene, Michael, Agama-agama Dunia, Yogyakarta: Kanisius, 2006
Mukti, Krishnanda Wijaya, Wacana Buddha-Dharma, Jakarta: Yayasan Dharma
      Pembangunan, 2003
Rashid, Dhammavisarada Teja S.M., Sila dan Vinaya, Jakarta: Buddhis BODHI, 1997

Sudarman, Sutradharma Tj., Menjalani Kehidupan Buddhisme Confuciusme dan
      Taoisme, Jakarta: Sunyata, 1998

Tarigan, Jacobus, Religiositas, Agama & Gereja Katolik, Jakarta: Grasindo, 2007        




[1] A. G. Honig Jr, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 165
[2] Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, (Jakarta: Ehipassiko Foundation, 2012), 15
[3] A. G. Honig Jr, Ilmu Agama, 167
[4] Dorothy C. Donath, Pengenalan Agama Buddha, (Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya, 2005), 16-17
[5] ....Ibid, 20
[6] Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, 16
[7] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2010), 63
[8] Jacobus Tarigan, Religiositas, Agama & Gereja Katolik, (Jakarta: Grasindo, 2007), 34                          
[9] Krishnanda Wijaya Mukti, Wacana Buddha-Dharma, (Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003), 176
[10] Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, 210-211
[11] Sutradharma Tj. Sudarman, Menjalani Kehidupan Buddhisme Confuciusme dan Taoisme, (Jakarta: Sunyata, 1998), 23
[12] Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, 231-234
[13] Dhammavisarada Teja S.M. Rashid, Sila dan Vinaya, (Jakarta: Buddhis BODHI, 1997), 3-4
[14] Sutradharma Tj. Sudarman, Menjalani Kehidupan Buddhisme Confuciusme dan Taoisme, 24
[15] Michael Keene, Agama-agama Dunia, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 75
[16] Dhammavisarada Teja S.M. Rashid, Sila dan Vinaya, 8
[17]...., Ibid, 12
[18] Jacobus Tarigan, Religiositas, Agama & Gereja Katolik, 32
[19] Sutradharma Tj. Sudarman, Menjalani Kehidupan Buddhisme Confuciusme dan Taoisme, 37-40
[20] Dorothy C. Donath, Pengenalan Agama Buddha, 62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar