Jumat, 10 Mei 2019


Penerapan Metode Kristologi Fungsional (MKF) dalam berbagai Konteks Pergumulan di Benua Eropa dan Amerika
I.                   Pendahuluan
Banyak persoalan yang kita jumpai dalam kehidupan ini, dan persoalan tersebut bertumpu pada pribadi masing-masing. Namun jika kita berbicara tentang pergumulan atau persoalan teologi terkhusus Kristen, hal itu merupakan akar dari persoalan Kristologi. Persoalan ini mengacu pada Kristus sebagai objek utamanya. Maka dalam hal ini saya sebagai penyaji akan memaparkan tentang kristologi, pergumulan tentang kristologi, dan penghayatan mengenai fungsi Kristus berdasarkan konteks yang sudah ditentukan, yaitu berupa pergumulan di benua Eropa dan juga Amerika. Semoga bermanfaat.
II.                Pembahasan
2.1. Metode Kristologi Fungsional
Dalam KBBI, Metode adalah suatu cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai maksud, atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan  suatu guna untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.[1] Kristologi (Christology) yaitu studi teologis atas Yesus Kristus, yang secara sistematis menyelidiki siapakah Dia dalam diri-Nya sendiri dan artinya bagi orang-orang yang percaya kepada-Nya. PB memuat berbagai pendekatan kristologis terhadap diri Yesus, meskipun tidak sangat sistematis. Kristologi Fungsional yaitu Kristologi yang memusatkan perhatian pada karya penyelamatan Kristus; dengan demikian sangat dekat dengan Soteriologi. Kristologi ini dengan sendirinya mengandaikan Kristologi ontologis, yang memusatkan perhatian pada telaah mengenai siapakah Kristus itu pada diri-Nya sendiri.[2]  Kristologi fungsional tampak dalam Paul Tillich yang menegaskan bahwa “kristologi adalah suatu fungsi soteorologi. Persoalan soteorologi menciptakan pertanyaan kristologi dan memberikan arah bagi jawaban kristologi”. Dan yang paling berantusias dengan kristologi fungsional ialah kaum Pluralis, yang menekankan karya Yesus bagi manusia, bukan dalam arti penebusan tetapi dalam arti pembaharuan sosial.[3]
2.2. Konteks Pergumulan di Benua Eropa
Gereja-gereja di Eropa merupakan Gereja-mayoritas di negaranya masing-masing. Akan tetapi dalam abad ke-19 juga bangkitlah tantangan-tantangan yang hebat untuk gereja dari pihak masyarakat umum. Tantangan pertama ialah perkembangan pemikiran modern yang dengan cara makin terbuka menjauhi iman Kristen. Banyak orang Eropa, yang tergoda oleh filsafat itu, meninggalkan agama Kristen, mula-mula kaum cendikiawan, kemudian juga golongan-golongan lain. Tantangan yang kedua bertolak dari keadaan sosial. Pada abad ke 19 di Eropa terjadilah urbanisasi dan industrialisasi. Kaum buruh merasa tertindas oleh golongan yang menguasai kehidupan ekonomis dan politis. Dan karena Gereja di Eropa, berhubungan erat dengan penguasa-penguasa itu, maka kaum buruh sudah tidak lagi begitu mempedulikan gereja dan iman Kristen.[4] Terutama kaum buruh di Eropa kaum buruh terasing dari gereja oleh karena sudah memiliki persekutuan yang baru, yaitu partai, etika yang baru, yaitu pergumulan kelas, dan sorga yang baru yaitu masyarakat yang baru menurut Marx, akan diwujudkan sesudah revolusi yang besar.[5] Keadaan krisis dan meleset berkembang di Eropah, kebudayaan Eropah telah melepaskan dirinya dari kuasa Firman Allah, lalu mendasarkan kepercayaannya kepada Dunia, kepada manusia dan akalnya, kepada Roh dan zat-benda.[6]   Di salah satu bagian wilayah di benua Eropa yang menggambarkan keadaan sosial adalah kota London. Banyak orang hidup melarat, ada banyak pemabuk dan pelacur. Di kota London dalam waktu satu tahun terdapat 2.157 orang mati begitu saja dijalanan, 2.297 yang bunuh diri, 30.000 wanita pelacur, 160.000 orang dihukum karena mabuk di jalan umum, dan 900.000 orang yang melarat[7]; anak-anak gelandangan, orang-orang yang kelaparan. Di Eropa krisis peradaban yang diisyaratkan oleh kemunduran kekristenan menawarkan kepada mereka yang tetap di dalam gereja, serentetan tantangan dan kesempatan, seperti: tantangan intelektual dan Kultural yang paling serius sekarang ini adalah Sekularisme[8]. Namun selama modernisasi ditandai oleh penyempitan rasional yang sebenarnya bersifat meragukan dan kurang menghargai orang dan pandangan yang menganggap Yesus sebagai manusia belaka, yang mencirikan teologi Inggris belakangan ini tidak banyak menolong.[9]
Berdasarkan hal ini, kita dapat mengetahui bahwa pada abad ke 19 sampai abad ke 20 di Eropa terjadi kemerosotan iman Kristen yang dipengaruhi filsafat dan sekularisme yang mengakibatkan terjadinya ketertindasan dan kemelaratan dalam arti yang miskin selalu ditindas oleh penguasa atau orang kaya yang berotoritas. Hal ini terjadi karna perkembangan ilmu pengetahuan, yang mengakibatkan mereka mendewakan pikiran. Melalui hal tersebut pandangan tentang Kristus dan fungsi-Nya sudah salah arah dan tidak lagi satu pandangan sehingga permasalahan tentang Kristologi di Eropa berkembang sampai saat ini dan banyak memunculkan ide atau pandangan tokoh-tokoh di Eropa.
2.3. Tokoh dan Ide Kristologi Fungsional di Benua Eropa
2.3.1.      Karl Bath
Karl Barth adalah seorang teolog besar dalam kalangan gereja reformatories pada abad ke-20. Dilahirkan pada tahun pada tahun 1886 di Basel, Swis. Pada abad ke 20, yang ditandai dengan kemajuan teknologi yang luar biasa (sekularisasi) serta di bawah bayang-bayang Perang Dunia I, Barth memikirkan  bagaimana ia dapat membawa firman Allah agar manusia Kristen abad ini dapat disapa  oleh Firman itu. Persoalan yang merisaukan Barth juga adalah mungkinkah manusia dapat berbicara tentang Allah. Mungkinkah Firman Allah itu dapat diucapkan oleh seorang manusia. Pada tahun 1919, ia mengarang tafsiran Surat Roma (Romerbrief). Barth membiarkan Paulus berbicara seakan-akan Paulus hidup pada abad ini di Eropa. Di sini Barth sangat menekankan sifat eskatologis pemberitaan Injil. Jikalau teologi abad ke-19 meniadakan jarak antara Allah dan manusia, maka Teologi Karl Barth mempertahankan dengan gigih adanya jarak yang tak terjangkau oleh manusia dengan Tuhan Allah. Teologi Barth mengungkapkan bagaimana manusia terus-menerus berusaha menguasai Tuhan Allah demi kepentingan diri sendiri. Namun segala usaha itu akan diadili, dihukum dan datang kepada krisis. Ia sangat menekankan kristus dalam penguraian pandangan teologinya sehingga dapat dikatakan teologi adalah kristologi.[10] Barth bermaksud untuk berseru kepada Gereja supaya kembali kepada pengakuan yang sungguh-sungguh atas kuasa mutlak firman Tuhan.[11]
2.3.2.      Rudolf Bultman
Bultman adalah seorang ahli Perjanjian Baru, ahli bahasa, seorang filsuf yang bersama-sama dengan Karl Barth dan Paul Thillich merupakan teolog besar dalam abad ke-20. Ia dilahirkan pada tahun 1884 di Jerman. Dalam sejarah teologi Bultman dikenal dengan demythologizing-nya. Menurut Bultman, manusia modern menemukan kesulitan untuk mengerti pemberitaan Perjanjian Baru.[12] Apa yang ia ajarkan adalah pembenaran hanya oleh iman (pribadi dan eksistensial) dan bukan oleh sejarah. Yesus kristus yang kita jumpai dewasa ini adalah kristus yang diberitakan, bukan kristus yang sejarah.[13]
2.3.3.      William Booth
Booth dilahirkan dalam sebuah keluarga miskin di Nottingham, Inggris pada tanggal 10 April 1829. Booth melihat bahwa gereja terpanggil untuk mengangkat manusia yang miskin, terdindas dan diperlakuan secara tidak adil. Injil adalah berita kesukaan bagi setiap orang, termasuk juga untuk orang yang miskin secara kebendaan. Ia melihat adanya segi sosial dari injil Yesus Kristus.[14]
2.3.4.      Dietrich Boenhoeffer
Boenhoeffer dilahirkan pada tanggal 4 Februari 1906 di Breslau, Jerman. Pada usia 17 tahun dia telah memasuki Universitas Tubingen dan studi teologinya dilanjutkannya di Berlin. Ia adalah seorang yang mengamati perkembangan politik di Jerman.[15] Karya Boenhoeffer yang terkenal adalah “mengikut Yesus” atau Noachfolge. Kasih karunia yang murah bertolak dari kenyataan bahwa orang Kristen sejati pun tetap berdosa lalu menggunakan fakta ini membenarkan kehidupan orang berdosa. Setiap usaha untuk hidup sebagai murid dicap sebagai legalisme atau kegairahan. Boenhoeffer mengusulkan “kekristenan tanpa agama” artinya kita harus melihat bahwa Yesus Kristus sebagai “Tuhan orang yang tidak beragama”. Ia ingin membersihkan orang Kristen dari segi-segi tertentu dari keragaman yang bersifat borjuis dan picik. Baginya gereja harus mengikuti teladan Yesus “manusia bagi orang lain”.[16]
2.4.Konteks Pergumulan di Benua Amerika
Amerika Serikat merupakan negara yang pertama, di mana gereja dan negara dipisahkan. Gereja-gereja tidak mendapat dukungan apapun dari negara, dan negara tidak mencampuri urusan negara-negara. Anggota-anggota gereja sendirilah yang mengurus dan membiayai gerejanya. Semangat dan kegiatan anggota gereja (“awam”) merupakan salah satu sumbangan gereja-gereja Amerika Serikat kepada Gereja sedunia.[17] Amerika Selatan adalah benua penuh sumber alam, namun mayoritas penduduknya terperangkap dalam kehidupan yang melarat. Kesulitan disebabkan oleh struktur yang tidak adil, baik di dalam masing-masing negara itu sendiri (rezim yang menindas), maupun antara wilayah itu dan dunia “maju” (kapitalisme yang menindas).[18] Dan salah satu ciri khas Kekristenan di Amerika adalah banyaknya kelompok yang sangat menekankan satu pokok ajaran sambil menolak sesama  orang Kristen yang tidak menerima ajaran itu.[19]
           Amerika Latin merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya alam, namun penduduknya dikepung oleh kemelaratan. Kekayaan Negara-negara Amerika Latin hanya dinikmati oleh sekelompok orang yang menerapkan sistim maciavelly, yaitu mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara. Hal ini sama artinya dengan memperkaya diri dengan cara mengorbankan orang lain, kaum lemah. Upaya untuk mengatasi kemelaratan di Amerika Latin telah diupayakan oleh banyak pihak, namun tidak membuahkan hasil. Di negara-negara Amerika Latin mengalami kemelaratan disebabkan oleh kemiskinan, terbelakang, juga karna penindasan (regim-pemerintahan menindas rakyat).[20] Di Amerika Serikat pada tahun 60-an mulai berkembang dengan apa yang disebut teologi hitam. Yang dititik beratkan teologi ini adalah melepaskan diri dari teologi kulit putih yang telah menciptakan seorang Allah sesuai gambar seorang bangsa Barat yang kulit putih. Hal ini merupakan berlawanan dengan agama Kristen yang telah menjadikan Tuhan sama dengan kebudayaan dipenjajahan bangsa kulit putih, maka teologi hitam yang mengaku Tuhan yang setia kawan dengan sertiap insan yang tertindas dari ras dan bangsa apapun, dan yang berada ditengah-tengah penderitaan, penghinaan dan kematian mereka. Para teolog kulit hitam berbicara tentang Mesias kulit hitam, Allah yang tertindas di bumi ini, yang bangkit untuk memberi kehidupan dan harapan kepada semua yang tertindas. Mesias yang berkulit hitam ini yang adalah orang yang tertindas dari Allah. Kelihatan pada wajah-wajah orang miskin dan tertindas yang berkulit hitam.[21]
Pergumuan  yang ada di Amerika, disebabkan karna munculnya Kapitalisme dan rezim yang menindas. Dan salah satu ciri khas Kekristenan di Amerika adalah banyaknya kelompok yang sangat menekankan satu pokok ajaran sambil menolak sesama  orang Kristen yang tidak menerima ajaran itu. Dalam hal ini sudah terjadi saling menindas antara umat Kristen. Yang juga memunculkan teologi yang mencirikan Yesus menurut pandangan mereka sendiri.
2.5. Tokoh dan Ide Kristologi Fungsional di Benua Amerika
2.5.1.      Jame Come
Ia adalah seorang teolog yang berkulit hitam dan merupakan orang pertama yang memperkenalkan dan menyebarluaskan apa yang disebut Teologi Hitam”. James Cone menuliskan bahwa “Kristus Amerika itu tidak memiliki ciri rasial, Ia berkulit berkulit langsat, berambut ikal warna coklat dan kadang-kadang sungguh ajaib memiliki mata biru. Orang-orang berkulit putih keberatan jika, Ia berbibir tebal, sama seperti orang Farisi keberatan, jika mereka melihat Dia di suatu pesta bersama oang pemungut cukai. Namun orang berkulit putih setuju atau tidak Kristus berkulit hitam dengan raut muka yang menjijikkan bagi masyarakat kulit putih” James Cone mempertanyakan kembali apa artinya keputusan konsili nicea pada tahun 325 yang menyatakan bahwa Kristus adalah sehakikat dengan Bapa dan keputusan Chalcedon pada tahun 451, yang menyatakan bahwa kedua kodrat yang ilahi dan manusiawi, tidak terbagi dan terpisah dan tidak bercampur, dan tidak berubah. Apa artinya bagi mereka yang melihat Yesus bukan sebagai suatu gagasan dalam pemikiran, tetapi Yesus yang mereka kenal sebagai juruselamat dan sahabat.
Dalam bukunya The Spirituals and Blues ia menguraikan bahwa Yesus bukanlah pokok-pokok permasalahan teologis. Ia dilihat dalam kenyataan pengalaman kaum kulit hitam. Berbicara mengenai Allah Bapa dan Anak adalah dua cara untuk berbicara tentang kenyataan kehadiran ilahi dalam masyarakat budak. Yang menjadi pusat keberadaan mereka adalah lambang dari penderitaan mereka. Yesus berada ditengahnya, sehingga Ia adalah sahabat dan teman penderitaan dalam perbudakan “Spiritual” itu tidak hanya berbicara tentang apa yang telah dilakukan oleh Yesus dan sedang dilakukan bagi orang kulit hitam dalam perbudakan. Ia dianggap sebagai orang yang memegang kunci penghakiman. Yesus dianggap sebagai Raja yang membebaskan manusia dari penderitaan. Cone menegaskan bahwa Yesus Kristus harus diakui berdasarkan keberadaan-Nya kini, dalam masa lampau dan dalam waktu yang akan datang.[22]
2.5.2.      Leonardo Boff
Boff adalah seorang teolog Amerika Latin yang sangat terbuka menggumuli “Kristologi”. Boff berasal dari Brazil. Pada tahun 1972 ia menulis tentang Kristologi Amerika Latin yang berjudul Yesus Kristus sang pembebas, suatu Kristologi untuk masa kini. Menurut Boff, merenungkan dan menghayati kepercayaan kita kepada Yesus Kristus dalam konteks sosio-historis yang ditandai dengan penguasaan dan penindasan, berarti menyembah Yesus Kristus dan memproklamasikan Dia sebagai pembebas. Kristologi pembebasan berpihak kepada orang yang tertindas.[23]
2.5.3.      Jon Subrino
Dalam Kristologinya, yaitu segi kehidupan dari Yesus yang historis. Ia mengembangkannya bertolak dari situasi Amerika Latin, yakni penindasan, ketidakadilan,  dan penindasan. Kristologi tersebut mempunyai landasan dalam Kehidupan Yesus yang historis dan dalam sejarah bangsa yang menderita.  Satu-satunya jalan untuk mengenal Yesus ialah mengikuti-Nya dalam kenyataan hidup-Nya, dan menghayati apa yang Ia pertaruhkan dalam masa hidupnya. Mengikut Yesus adalah syarat untuk mengenal Allah. Maksud pengkajian tentang Yesus adalah meluruskan jalan untuk secara efektif bekerja sama dengan Dia.[24]
III.             Kesimpulan
Dalam pembahasan ini yang menjadi pokok penting dari metode kristologi fungsional yaitu bagaimana kita menghayati karya Yesus dalam kehidupan ini. Dalam hal ini pergumulan hidup yang tertera di atas , meliputi Eropa dan Amerika; suatu cerminan bagi kita bagaimana  pergumulan mereka tentang pandangan dan penghayatan mereka terhadap Yesus. Banyak pendapat para tokoh yang mengutarakan kesiapaan Yesus dan apa fungsi Yesus dalam setiap pergumulan yang dihadapi manusia di setiap negara. Sebagian mengatakan bahwa Yesus sebagai Tuhan orang yang tidak beragama, manusia bagi orang lain, Yesus sebagai Pembebas, Tuhan yang setia kawan dengan setiap insan yang tertindas dari ras dan bangsa, dan sebagainya. Pendapat tersebut hadir karna adanya pengaruh paham-paham, yang berdasarkan perkembangan zaman. Di Eropa, perkembangan teologi (iman Kristen) menjadi merosot karna ilmu pengetahuan yang berkembang, penindasan, urbanisasi,industralisasi, di mana mereka mengandalkan rasio atau mendewa-dewakan pikiran, bahkan pemikiran filsafat yang makin lama semakin memasuki pemikiran Kristen. Di Amerika, kemelaratan disebabkan oleh kemiskinan, terbelakang, juga karna penindasan (regim-pemerintahan menindas rakyat), yang memunculkan teologi baru tentang Yesus yaitu teologi kulit Hitam dan penderitaannya.
IV.             Tambahan Dosen
Metode adalah suatu cara untuk menghadirkan Kristus dalam konteks pergumulan. Dalam hal ini kita ingin mempelajari beberapa tokoh-tokoh yang menerapkan metode, mewartakan Kristus supaya umat yang hidup dalam konteks tertentu bisa mengakui dan meyakini Kristus dalam kehidupannya.
Ada beberapa tujuan kita mempelajari topik ini, yaitu:
1.      Untuk mengetahui/supaya mahasiswa (calon pelayan) mengetahui berbagai varia metode.
2.      Supaya mahasiswa setelah menjadi pelayan memiliki kreativitas untuk menciptakan metode pelayanan di tengah-tengah pergumulan umat supaya umat dalam pergumulan itu tidak menghindar dari Kristus tetapi menjadikan Kristus kekuatannya atau dalam pergumulannya tetap mengimani Kristus.
3.      Supaya mahasiswa setelah dalam pelayanannya memiliki informasi tentang varia metodologi yang dapat memberikan inspirasi/landasan berpikir dalam rangka membangun metodologi pelayanan.
4.      Tentu saja informasi yang dikumpulkan tidak saja dari berbagai belahan dunia tetapi juga berbagai daerah yang ada di Indonesia dan Sumatera Utara khususnya dan semua metode-metode itu diharapkan dapat membantu mahasiswa (pelayan) menciptakan atau menemukan metodologi pelayanan.
Beberapa Metode
·         Benua Afrika
Konteks pergumulan yang terjadi dari Afrika yang menarik yaitu konteks keberagaman. Orang Afrika menganggap selalu ada hubungan mereka dengan leluhurnya. Walau sudah mati tapi hubungannya dengan orang hidup tetap ada. Mereka meyakini bahkan kehidupan mereka dituntun oleh leluhur.
Paling tidak ada tiga keyakinan mereka kepada leluhurnya:
1.      Pemimpin/Kepala Setiap suku
Yaitu bukan hanya orang hidup yang jadi pemimpin mereka, tapi juga orang yang sudah mati juga bahkan termasuk leluhur mereka. Mereka menyebutnya chif. Pemimpin ini merupakan petunjuk bagi mereka untuk menunjukkan jalan atau pilihan yang benar. Kalau mereka ada dalam suatu pilihan hidup atau permasalan yang diperhadapkan pada mereka biasanya mereka minta petunjuk pada chif.

2.      Datu disebut sebagai Nganga
Fungsinya perantara dengan ila-ilah atau dewa-dewa tertinggi yang mereka sembah kalau mereka ingin menjalin hubungan dengan dewa tertinggi maka hanya Ngangalah perantaranya. Supaya doa atau permohonan bisa sampai.
3.      Orang Afrika percaya bahwa selalu ada pertengkaran antara leluhur dengan roh jahat atau penghulu-penghulu Setan
Dan mereka yakin bahwa  hanya leluhur merekalah yang dapat menolong mereka. Oleh jarna itu ketika mereka meminta pertolongan leluhur maka leluhur akan berperang melawan roh jahat. Peminpin leluhur  akan datang menolong mereka yang disebut “Nana”.
Ketika penginjil datang, maka mereka berpikir supaya mereka menjadi junjungan tertinggi. Ada beberapa tokoh mencoba satu metode yang sangat berhasil yang menyatukan Nana dari yang mereka puja itu. Nama Nganga (Chif) diartikan sebagai Yesus dan dan Nana juga diartikan sebagai Yesus. Dukun tertinggi itu adalah Yesus Kristus. Ternyata metode itu berhasil memenangkan hati orang Afrika.
Contoh
Siapa nama Tuhan orang Karo sebelum Kristen datang?
Dibata Kaci-kaci
Padahal dalam Hukum ke 3, “jangan menyebut nama Tuhan Allah dengan sembarangan”, tapi kenapa nama Tuhan disebut dengan sembarangan seperti itu?
Sebelum penginjil datang orang karo, toba, simalungun, pakpak, dll sudah memiliki sebutan untuk Allah yang tertinggi yaitu Debata.
Untuk menggeser nama itu, kalau berdoa kepada Allah tertinggi harus diikutkan nama Debata dan disambu g dengan kata Yesus atau Allah. Jadi penggunaan nama Yahwe, Yahowa bukan tujuan melanggar hukum ke 3 tapi metode penginjilan.
Adakalanya keindahan Tuhan yang tidak bisa dikatakan dengan kata-kata maka bisa mengungkapkannya dengan seni: tenunan, bataik dan lain-lain. Dari banyak karya ada satu karya yang menarik, yakni gembala dikerumuni domba. Yoh. 10:14. Dalam konteks Jawa, gembala yang baik itu mengayomi domba-domba, harus melingkupi. Lukisan itu mengungkapkapkan. Konsep Gembala di Alkitab. Mazmur 23, Yohanes 34, dan dari ungkapan itulah disampaikan. Beginilah gembala yang baik. Maka orang jawa menyatakan gembala yang baik.
Rombongan Missi
Suku Asmat, ada kata “kamu adalah domba-domba Allah” bagi orang itu diganti dengan kata “Kamu adalah babi-babi Allah”. Induk babi dipotong maka anaknya digendong-gendong oleh perempuan dikasih susu, dan setelah besar, dipotong, dan dimakan.  Hal itu tidak manusiawi  lagi perlakuan kita kepada domba, susunya diambil, bulunya dagingnya dimakan. Tuhan akan menjaga sampai besar setelah besar maka dipersembahkan atau menjdai korban. Terserah kepada Tuhan mau jadi apa itu.
·         Benua Amerika
Suku aslinya adalah suku Indian, mereka garang-garang, berani, koboi, dia bertindak dalam keadaan sempit.tapi yang membangun amerika bukan India tapi Inggris, yang masuk orang-orang pintar.maka mulailah dibangun industri  di Amerika oleh pemodal-pemodal Kapital mereka membutuhkan buruh, lalu mereka memperkerjakan orang India menjadi buruh. . kalau ada tuntutan mereka tidak dipenuhi, maka:
1.      Orang India tidak bisa dijadikan buruh dan mengmabil buruh orangAFrika maka diberikan angin Surga, barangsiapa yang ingin menjadi buruh,  akan diberikan rumah, makanan, dan paikaian bagus. Dalam pertahun 10/12 juta buruh  yang diangkut. Mereka diangkut 1 angkutan dengan dengan kepala bermerk Yesus dan mereka dimasukkan ke dalam Camp  yang bermerek “Yesus”  dan mulai diberikan penderitaan. Dari pengusaha memberikan lebel Yesus dengan tujuan untuk mengatakan bahwa Yrsus lah yang berkuasa atas segala-galanya. Tapi orang Afrika yang menerima penderitaan itu bahwa Yesus penyengsara, pembuat derita, jahat, penindas, kekerasan dank eras. Ada seorang Zending ini mengambil anak kecil dari Afrika di sekolah kan ke sekolah Teologia, zending ini berkata, “kau sudah diutus untuk memberitakan injil, tentukanlah kemana kau pergi” dan anak kecil itu menjawab “kalau aku berbicara pada kulit putih maka mereka tidak akan menerimaku karna bagi orang Kulit Putih, orang Afrika itu lebih rendah dari pada binatang. Jiak aku pergi ke kulit hitam aku akan dibunuh karna mereka menganggap bahwa Yesus itu pembunuh. Maka dibacanyalah Yoh: 1+14, ada kata “kita””artinya adalah Allah menjadi kita. Siapa kita? “Kulit Hitam”. Kita : kulit hitam. Mereka : Kulit putih. Yesus itu kulit hitam, bukan mereka. Yohanes 53: “Mesias itu tidak tampan” , kesimpulannya ternyata Yesus itu bukan yang digambarkan oleh kulit tapi muka jelek dan rambut kriting. YESUS itu kekuatan dan penderitaan kita. Mula-mula dia ditolak, tapi saat dijelaskannya bahwa Yesus itu adalah kita bukan mereka maka mereka bisa meenerima.
Dan bagaimana supaya umat mengakui Yesus sebagai Tuhan dan kekutannya.      
V.                Daftar Pustaka
….KBBI., Jakarta: Balai Pustaka, 1996
Avis, Paul., Ambang Pintu Teologi, Jakarta: BPK GM, 2001
Collins, Gerald O’ & Edward G. Farrugia., Kamus Teologi,  Yogyakarta: Kanisius, 1998
End, Thomas Van Den., Harta dalam Bejana, Jakarta: Bpk – Gunung Mulia, 2012
End, Thomas Van Den., Harta dalam Bejana, Jakarta: Bpk – Gunung Mulia, 2014
H. Berkhof & I. H. Inklaar., Sejarah Gereja,  Jakarta: BPK GM, 1993
H. Berkhof & I. H. Inklaar., Sejarah Gereja,  Jakarta: BPK GM, 2014
Lane, Tony., Runtut Pijar, Jakarta: BPK GM, 2016
Lumintang, Stevri I. Lumban., Theologia Abu-abu Pluralisme Agama, Malang: Gandum Mas,2004
Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat, Jakarta: BPK GM, 2011
Wessels, Anton., Memandang Yesus, Jakarta: BPK-GM, 1999




[1] ….KBBI , (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 581
[2] Gerald O’Collins & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, (Yogyakarta: KAnisius, 1998),170
[3] Stevri I. Lumban Lumintang, Theologia Abu-abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas,2004), 189
[4] Thomas Van Den End, Harta dalam Bejana, (Jakarta: Bpk – Gunung Mulia, 2012), 363-364
[5] Thomas Van Den End, Harta dalam Bejana, 364
[6] H. Berkhof & I. H. Inklaar, Sejarah Gereja,  (Jakarta: BPK GM, 2014), 332-333
[7] Thomas Van Den End, Harta dalam Bejana , 367-368

[8] Paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajararan agama.
[9] Paul Avis, Ambang Pintu Teologi, (Jakarta: BPK GM, 2001), 78
[10] FD. Wellem, Riwayat Hidup Singkat, (Jakarta: BPK GM, 2011), 28-29
[11] H. Berkhof & I. H. Inklaar, Sejarah Gereja,  (Jakarta: BPK GM, 1993), 344
[12] FD. Wellem, Riwayat Hidup Singkat, (Jakarta: BPK GM, 2011), 46
[13] Tony Lane, Runtut Pijar,(Jakarta: BPK GM, 2016), 239
[14] FD. Wellem, Riwayat Hidup Singkat, 44
[15] F. D. Wellem,  Riwayat Hidup Singkat, 40-41
[16] Tony Lane, Runtut Pijar, 227-230
[17] Thomas Van Den End, Harta dalam Bejana,349
[18] Tony Lane, Runtut Pijar, 281
[19] Thomas Van Den End, Harta dalam Bejana, 355
[20]  Stevri I. Lumban Lumintang, Theologia Abu-abu Pluralisme Agama, 398
[21] Anton Wessels, Memandang Yesus, (Jakarta: BPK-GM, 1999), 83
[22]  Anton Wessels, Memandang Yesus, 84-85
[23]  Anton Wessels, Memandang Yesus, 70-71
[24] Anton Wessels, Memandang Yesus, 72-74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar