Senin, 13 Mei 2019




PELAKSANAAN KHOTBAH
a. Sikap Pengkhotbah
b. Tekhnik Menyampaikan Khotbah (Doa, Pembacaan Teks, Penjelasan Teks)
                               I.            Pendahuluan
Bermacam-macam pelajaran tentang khotbah telah kita pelajari. Syarat khotbah serta pemilihan nats khotbah telah kita pelajari. Tetapi semua itu sia-sia belaka, apabila kita tidak pandai melakukannya atau mempergunakannya. Pekerjaan pengkhotbah belum selesai, kalau khotbahnya saja yang selesai. Ingatlah bahwa suka duka persiapan itu dihabiskan sekaligus pada waktu pengkhotbah itu mengkhotbahkan khotbahnya diatas mimbar. Mimbar menjadi gelanggang satu-satunya yang harus diperhatikan oleh pengkhotbah dalam jabatan keilahiannya. Sebab itu, sekarang kita pelajari bagaimana sebuah khotbah disampaikan, atau seperti judul kita di atas, bagaimana sikap pengkhotbah dan bagaimana tekhnik menyampaikan khotbah. Semoga sajian ini dapat menambah wawasan kita.
                            II.            Pembahasan
2.1.Pengertian Sikap
Sikap adalah tokoh atau bentuk tubuh. Cara berdiri (tegak, teratur, atau dipersiapkan untuk bertindak), perbuatan yang berdasarkan pada pendrian, perilaku, gerak-gerik.[1]
2.2.Pengertian Pengkhotbah
Pengkhotbah adalah yang dikhususkan oleh Allah untuk pemberitaan Injil, adalah orang yang menerima kebenaran daripada Allah dan menyampaikan kebenaran itu kepada orang lain. Tugas utama pengkhotbah adalah menjelaskan Alkitab, yaitu Wahyu yang diberikan Allah.[2] Pengkhotbah adalah orang yang bersikap terbuka terhadap Allah dan terhadap sesamanya.[3]

2.3. Sikap Pengkhotbah
Pengkhotbah yang berjalan dengan tenang, rendah hati, sopan dan yang serius pasti memberikan kesan yang lebih baik kepada pendengar. Janganlah tampil dengan sikap yang pura-pura atau dibuat-buat. Semua yang pura-pura tidak akan tahan lama. Dengan berpura-pura, yang bersangkutan sendiri pasti merasa tertekan, dan orang-orang yang dilayaninya pun akan mencibir si pengkhotbah. Lebih baik pengkhotbah maju ke depan umum dengan seadanya sesuai dengan hati dan kehidupannya. Sikap yang tidak baik dapat mengganggu konsentrasi pengkhotbah, oleh sebab itu kita harus waspada dengan sikap kita dalam berkhotbah.[4] Pengkhotbah hendaklah menghampiri mimbar  dengan tenang dan penuh kesungguhan, janganlah berlagak, jangan pula merasa canggung, lebih-lebih jangan dengan sembarang saja naik mimbar, misalnya dengan sekali lompat saja, seolah-olah hendak menunjukkan sikap begini: “Ah, sudah biasa saya naik turun di sini!”. Orang yang mempunyai angan seperti ini, sebenarnya melampaui batas kerendahan hati. Terdapat tiga macam sikap yang patut dicontoh oleh pengkhotbah di atas mimbar. Pertama; hendaklah pengkhotbah berdiri dengan tegap. Tegap berarti tegak. Berdiri tegak atinya tidak membungkuk, tidak bersandar. Kedua; hendaklah pengkhotbah menyaringkan suaranya.. Menyaringkan suara bukan berteriak atau menjerit, melainkan bersuara dengan jelas dan tegas dalam mengucapkan setiap suku kata. Ketiga; hendaklah pengkhotbah memandang jemaat, supaya diketahui bahwa Kabar Baik itu sesungguhnya diperuntukkan bagi jemaat yang hadir.[5]
2.3.1. Kepribadian Pengkhotbah
Ada beberapa kepribadian pengkhotbah:
a. Pengkhotbah membantu jemaat untuk mengetahui dan memahami kehendak Allah serta melakukan kehendak Allah bukan pengetahuan keilmuwan secara kognitif, melainkan pengetahuan iman.[6]
b. Pengkhotbah harus memiliki kualitas pribadi yang bisa diteladani oleh umat. Seorang pengkhotbah harus memiliki sifat yang stabil.[7]
c. Dalam cara hidup seorang pengkhotbah mengutamakan disiplin yang tinggi dan taat pada peraturan, serta sanggup mengarahkan dan membimbing semua jemaat.[8]
d. Seorang pengkhotbah haruslah orang yang memiliki iman teguh. Hal ini tidak berarti bahwa ia kebal akan godaan dan kebingungan, tetapi ia berani melawan dan mengalahkan godaan.[9]
e. Pengkhotbah harus memiliki kepemimpinan.[10]
f. Seorang Pengkhotbah janganlah menjadi seorang peniru saja, melainkan menjadi dirinya sendiri dan mengungkapkan semua pergumulannya dengan firman Tuhan itu dengan caranya sendiri. Sehingga apa yang diungkapkan si pengkhotbah itu adalah bukan milik orang lain, bukan pinjaman, atau sesuatu yang asing, melainkan miliknya sendiri.[11]
2.3.2. Penampilan Pengkhotbah
Gaya atau penampilan dapat mengungkapkan sikap dan perasaan lebih akurat daripada kata-katanya.[12] Karena dari gaya dan penampilan kita cukup menentukan untuk masuk dalam sebuah komunikasi yang akan terbangun melalui khotbah.[13] Pengkhotbah harus memperhatikan penampilannya karena mata jemaat akan tertuju kepadanya. Pengkhotbah harus memakai pakaian sopan, rapi, dan bersih. Dan memperhatikan rambut dan juga sepatu ang akan dikenakan ketika berkhotbah.[14]
2.4.Tekhnik Menyampaikan Khotbah
2.4.1. Doa
            Doa adalah persekutuan yang mesra antara manusia dan Tuhan. Dengan berdoa, seorang pengkhotbah mengadakan hubungan yang mesra dengan Tuhan yang tidak kelihatan, Tuhan yang hidup. Doa adalah nafas orang percaya, termasuk pengkhotbah. Tanpa doa, kehidupan rohani kita akan mati. Doa merupakan cara langsung untuk membuka diri seseorang (juga pengkhotbah) kepada kuasa Allah yang kreatif. Hal inilah yang memampukan pengkhotbah mengalami aliran semangat rohani yang baru oleh kuasa Roh Kudus.[15] Dalam mengawali khotbah, seorang pengkhotbah sebaiknya mengajak jemaat untuk berdoa sebelum teks dibacakan. Hal ini menandakan bahwa  pengkhotbah dan pendengar mengandalkan pekerjaan Roh Kudus, bukan diri sendiri. Sebab yang akan diperdengarkan adalah firman Tuhan. Jadi pengkhotbah dan jemaat harus meminta bimbingan dan pengajaran Tuhan.[16] Berkhotbah tanpa berdoa sama seperti berlayar dengan kapal layar pada saat tidak ada angin. Anda mungkin dapat meluncurkan perahu dan mengembangkan layar, tetapi tidak dapat pergi kemana pun.[17] Pengkhotbah bukan saja berdoa untuk kesuksesan pelayanannya, tetapi juga berdoa untuk dirinya agar sungguh-sungguh menjalankan apa yang ia wartakan dari mimbar, apakah khotbah itu menyenangkan hati Tuhan karena yang dikhotbahkan adalah firman Tuhan. Dengan doa pengkhotbah melangkah naik ke mimbar dan melangkah turun dari mimbar.[18]
2.4.2. Pembacaan Teks
            Pada waktu teks dibacakan merupakan bagian yang pertama dari khotbah. Karena itu seorang pengkotbah diharapkan untuk menjadi pembaca yang tepat. Pembacaan teks menentukan mutu kesadaran pendengar dan menarik perhatian mereka terhadap firman Allah.[19] Dan dalam pembacaan teks, pengkhotbah hendaknya menyebutkan nama kitab, pasal, ayat secara terpisah atau diberi jeda beberapa detik dan diucapkan beberapa kali.[20] Ada tiga cara dalam pembacaan teks Alkitab:
a. Puitis
            Model puitis tidak memiliki lagu/nada/melodi yang menentang. Nada atau lagu dalam pembacaan puitis ditentukan oleh karakter kata yang diucapkan. Semua kata memiliki karakter, yang karakter itu ditampilkan oleh pengucapan kata itu. Nats-nats yang tepat dibacakan dengan model puitis adalah kitab sastra, hikmat, ratapan.
b. Dramatikal
Pembacaan model dramatikal adalah pembacaan teks yang tidak menggunakan alat bantu. Tetapi hanya mendramatiskan ulang sebuah peristiwa yang ada di dalam teks dengan menggunakan suara, dinamika, artikul. Model ini bertujuan untuk menggambarkan dan melukiskan apa yang sudah dikerjakan Allah dan yang akan dikerjakan Allah. Pembacaan teks dalam dramatikal digunakan untuk semua teks yang berdialog. Kaitannya dengan pembacaan teks secara dramatikal, pengkhotbah tidak hanya membuat jemaatnya tertarik, bahkan bisa larut dalam situasi yang digambarkan oleh pengarang asli melalui proses berkhotbah. Sehingga pada saat pembacaan teks disampaikan, pendengar merasa berhadapan langsung dengan peristiwa dalam teks.
c. Teater
            Pembacaan model teater adalah pembacaan yang menggunakan gaya bahasa sendiri dan bahasa tubuh serta menggunakan potensi yang ada. Gaya bahasa harus diperhatikan sedemikian rupa dalam pembacaan teks dalam khotbah, supaya jemaat mengerti firman Tuhan yang disampaikan. Dalam penyampaian model ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat peraga yang sesuai dengan teks yang dibaca.[21]
2.4.3. Penjelasan Teks
Dalam berkhotbah, pengkhotbah menyampaikan pesan khotbah dalam dua cara yaitu berbicara menggunakan kata-kata (komunikasi verbal) dan dengan bahasa tubuh (komunikasi non-verbal).[22]
1. Komunikasi Verbal
a. Suara
Suara alami bukan dibuat-buat. Gunakan nada suara sedang ketika berkhotbah dan ucapkan khotbah dengan jelas. Berbicaralah dengan jelas. Usahakan agar para pendengar yang duduk di kursi paling belakang dapat mendengar dengan jelas.[23] Dalam hal ini pengeras suara akan sangat membantu, asalkan pandai mengatur tempatnya. Pendeknya suara pengkhotbah harus dapat didengarkan oleh semua jemaat, baik itu tua maupun muda.[24]
·         Penekanan
Variai-variasi dalam kekerasan suara bisa berguna baik untuk menarik perhatian maupun memberi penekanan. Suatu perubahan dengan tekanan tertentu dapat mengkonsumsikan kepentingan ide-ide. Keseluruhan bagian dari suatu khotbah dapat ditekankan bila seseorang pengkhotbah mengungkapkannyan dengan volume suara yang lebih besar.[25] Tujuan penekanan adalah untuk mendapatkan suara di atas batas kebisingan suatu ruangan.[26]
·         Tempo
Tempo ini adalah bagaimana kecepatan pengkhotbah berbicara. Tempo adalah unsur penting lainnya dalam artikulasi. Ada beberapa masalah umum yang terkait dengan tempo. Pertama, pengkhotbah berbicara terlalu cepat. Para pendengar perlu waktu yang cukup untuk mengubah bunyi menjadi kata-kata dan kata-kata menjadi kesatuan makna (ungkapan, kalimat), lalu kesatuan makna menjadi pemikian dan perasaan, lalu pemikiran dan perasaan menjadi kenangan, pengetahuan, dan rencana bertindak. Kedua, pengkhotbah berbicara terlalu lamban. Bila ini terjadi, pikiran pendengar akan berkelana atau pendengar bisa selesai bermain-main dengan pikirannya dengan cara yang mungkin tidak sesuai dengan maksud pengkhotbah. Ahli teori komunikasi mengusulkan sekitar 140-160 kata per menit. Sehingga penting juga untuk menggunakan tempo yang berbeda-beda dalam berbicara sehingga pembicaraan tidak terdengar monoton. Penting juga menggunakan tempo yang berbeda-beda dalam berbicara sehingga pembicaraan tidak terdengar monoton. Tujuannya adalah meragamkan kecepatan berbicara dengan cara menambah penekanan alami dan keanekaragaman dalam percakapan.[27]
·         Nada
Nada adalah suasana dari sebuah khotbah secara keseluruhan. Nada ini penting agar suasana ini sesuai ide dan tujuan pengkhotbah. Seorang pengkhotbah tidak boleh menjadi kecanduan menggunakan satu nada saja, tetapi harus berusaha untuk menggunakan beragam nada dalam berkhotbah demi mencegah kebosanan.[28] Nada meliputi perpindahan suara dengan skala tinggi dan rendah, dalam tingkat nada yang berbeda, dengan perubahan-perubahan nada suara yang bervariasi.[29] Suara monoton mengucapkan semua kata-kata ataupun ungkapan kalimat dengan nada yang sama tanpa adanya nada tinggi atau rendah. Ini dapat melelahkan dan membosankan bagi jemaat, sekalipun isi khotbah bagus.[30]
·         Jeda
Pembicara yang terampil mengenali bahwa jeda berfungsi seperti koma, titik koma, dan tanda seru. Jeda adalah tanda-tanda baca dalam berbiara. Jeda lebih dari hanya sekedar berhenti berbicara, sebab jeda juga memberi para pendengar suatu kesempatan singkat untuk berpikir, merasakan, dan merespon.[31]


                                    2. Komunikasi Non-Verbal (Bahasa Tubuh)
·         Pandangan Mata
Pandangan mata pengkhotbah harus tertuju kepada jemaat. Pandangan sebaiknya diarahkan sedikit lebih tinggi dari kepala pendengar agar semua yang hadir merasa benar-benar disapa. Pandangan hendaknya menyebar, tidak tertuju pada satu arah atau terlalu sering memandang satu arah tersebut.[32] Arahkan pandangan mata ke seluruh jemaat dan bakan pandangan anda berhenti sejenak pada beberapa orang yang berbeda. Selama penyampaian khotbah, pertahankan terus kontak pandang.[33]
·         Gerak-gerik
Hindari stereotype tertentu dalam gerak-gerik atau gerakan khotbah. Lakukanlah gerakan-gerakan yang wajar, jangan meniru gerakan orang lain atau bersikap berlebihan dalam berkhotbah.[34] Gerak tubuh dapat membantu pengkhotbah dalam memberi penjelasan dan penggambaran. Gerak tubuh juga dapat memberi pengkhotbah dalam memberi penekanan pada ucapan serta menjaga daya tarik dan mempertahankan perhatian. Gerak tubuh dapat membuat pengkhotbah menjadi tenang. Ketika tubuh bekerja untuk membuat ide-ide, maka kita akan merasa lebih yakin dan siap.[35]


·         Ekspresi Wajah
Ekspresi wajah juga merupakan bagian penting dari bahasa tubuh ketika berkhotbah. Dalam hal ini kesesuaian dengan pesan yang disampaikan sangatlah penting. Jika seseorang menyampaikan pesan yang berisi sukacita dan kegembiraan, wajah seharusnya idak muram. Jika pesan yang disampaikan memberikan pengharapan, wajah seharusnya tidak menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran.[36]
            III. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat saya simpulkan, bahwa hal yang dilakukan dalam pelaksanaan khotbah adalah yang pertama, bagaimana seharusnya sikap seorang pengkhotbah dan setelah itu bagaimana kita menyampaikan khotbah dengan tekhnik-tekhnik yang baik. Seorang pengkhotbah ketika sudah di mimbar harus menggunakan tekhnik-tekhnik untuk membaca teks dan penjelasan teks. Bahwa dalam membaca teks ada 3 cara, yaitu: Puitis, dramatikal, dan teater. Dan untuk penjelasan teks pun pengkhotbah harus memperhatikan dua cara untuk penjelasan teks, yaitu dengan cara komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal atau bahasa tubuh. Kita sudah mengetahui bahwa dalam menyampaikan khotbah tidak hanya dengan verbal/oral tetapi bahasa tubuh pun dapat membantu untuk menyampaikan sebuah khotbah. Sikap dan tekhnik inilah yang membuat si pendengar tertarik dengan isi khotbahnya.
            IV. Daftar Pustaka
....KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 2007
EvansWilliam, Cara Mempersiapkan Khotbah, Jakarta: BPK-GM, 2014
de Jong. S., KHOTBAH Persiapan, Isinya, Bentuknya, Jakarta: BPK-GM, 2014
SutantoHasan, Homiletika Prinsip dan Metode Berkhotbah, Jakarta:BPK-GM, 1990
PouwP.H., Uraian Singkat Tentang Homiletik, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2006
GintingE.P., Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, Yogyakarta: ANDI, 2003, 235
AnggraitoNoor, Menyiapkan Khotbah Ekspositori Secara Praktis, Yogyakarta: ANDI, 2001
TambunanLukman, Khotbah dan Retorika, Jakarta: BPK-GM, 2011
RitschiDietrich, Teologi Pemberitaan Tuhan, Jakarta: BPK-GM, 1990
ScharfGreg, Khotbah yang Transformatif, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013 
ShipmannMichaelK., Khotbah Alkitabiah Yang Komunikatif dan Berwibawa, Bandung: YBI, 2004
VinesJerry &Shaddix Jim, Homiletika Kuasa Dalam Berkhotbah, Malang: Gandum Mas, 2002
RobinsonHaddon W., Cara Berkhotbah Yang Baik, Yogyakarta: ANDI, 2002
McClureJohn S., Firman Pemberitaan, Jakarta: BPK-GM, 2012
Robinson, Haddon W., Cara Berkhotbah Yang Baik, (Yogyakarta: ANDI, 2011), 222
Ronda, Daniel, Prosiding Seminar Khotbah Kontemporer Vol 35, Sekolah Tinngi Theologia Jaffray, 2015
                                                                                                             


[1]..... KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 1063
[2] William Evans, Cara Mempersiapkan Khotbah, (Jakarta: BPK-GM, 2014), 18
[3] S. de Jong, KHOTBAH Persiapan, Isinya, Bentuknya, (Jakarta: BPK-GM, 2014), 18
[4] Hasan Sutanto, Homiletika Prinsip dan Metode Berkhotbah, (Jakarta:BPK-GM, 1990), 350
[5] P.H. Pouw, Uraian Singkat Tentang Homiletik, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2006), 64
[6] E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, (Yogyakarta: ANDI, 2003), 235
[7] Noor Anggraito, Menyiapkan Khotbah Ekspositori Secara Praktis, (Yogyakarta: ANDI, 2001), 37
[8] Lukman Tambunan, Khotbah dan Retorika, (Jakarta: BPK-GM, 2011), 86
[9] E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, 235
[10] Balewitaya, Khotbah Kreatif , (Malang: Gandum Mas, 1994), 39
[11] Balewitaya, Khotbah Kreatif, 40
[12] Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang Baik, (Yogyakarta: ANDI, 2011), 222
[13] Daniel Ronda, Prosiding Seminar Khotbah Kontemporer Vol 35, (Sekolah Tinngi Theologia Jaffray, 2015), 31-32
[14] Noor Anggraito, Menyiapkan Khotbah Ekspositori Secara Praktis, 134-135
[15] E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, 172
[16] Dietrich Ritschi, Teologi Pemberitaan Tuhan, (Jakarta: BPK-GM, 1990), 20
[17] Greg Scharf, Khotbah yang Transformatif, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013), 252
[18] Lukman Tambunan, Khotbah dan Retorika, 122                                                      
[19] Michael K. Shipmann, Khotbah Alkitabiah Yang Komunikatif dan Berwibawa, (Bandung: YBI, 2004), 127
[20] Hasan Sutanto, Homiletika Prinsip dan Metode Berkhotbah,  20
[21] Hasan Sutanto, Homiletika Prinsip dan Metode Berkhotbah, 355-357
[22] Jerry Vines & Jim Shaddix, Homiletika Kuasa Dalam Berkhotbah, (Malang: Gandum Mas, 2002), 471
[23] E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, 231
[24] S. de Jong, KHOTBAH Persiapan, Isinya, Bentuknya, 74
[25] Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang Baik, (Yogyakarta: ANDI, 2002), 238
[26] John S. McClure, Firman Pemberitaan, (Jakarta: BPK-GM, 2012), 206
[27] John S. McClure, Firman Pemberitaan, 251-252
[28] John S. McClure, Firman Pemberitaan, 188          
[29] Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang Baik, 237
[30] S. de Jong, KHOTBAH Persiapan, Isinya, Bentuknya, 75
[31] Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang Baik, 240s
[32] E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, 231                                         
[33] Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang Baik, 234
[34]E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah & Khotbahnya, 232
[35] Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang Baik, 230
[36] John S. McClure, Firman Pemberitaan, 29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar