PELAKSANAAN
KHOTBAH
a.
Sikap Pengkhotbah
b.
Tekhnik Menyampaikan Khotbah (Doa, Pembacaan Teks, Penjelasan Teks)
I.
Pendahuluan
Bermacam-macam
pelajaran tentang khotbah telah kita pelajari. Syarat khotbah serta pemilihan
nats khotbah telah kita pelajari. Tetapi semua itu sia-sia belaka, apabila kita
tidak pandai melakukannya atau mempergunakannya. Pekerjaan pengkhotbah belum
selesai, kalau khotbahnya saja yang selesai. Ingatlah bahwa suka duka persiapan
itu dihabiskan sekaligus pada waktu pengkhotbah itu mengkhotbahkan khotbahnya
diatas mimbar. Mimbar menjadi gelanggang satu-satunya yang harus diperhatikan
oleh pengkhotbah dalam jabatan keilahiannya. Sebab itu, sekarang kita pelajari
bagaimana sebuah khotbah disampaikan, atau seperti judul kita di atas,
bagaimana sikap pengkhotbah dan bagaimana tekhnik menyampaikan khotbah. Semoga
sajian ini dapat menambah wawasan kita.
II.
Pembahasan
2.1.Pengertian Sikap
Sikap
adalah tokoh atau bentuk tubuh. Cara berdiri (tegak, teratur, atau dipersiapkan
untuk bertindak), perbuatan yang berdasarkan pada pendrian, perilaku,
gerak-gerik.[1]
2.2.Pengertian
Pengkhotbah
Pengkhotbah
adalah yang dikhususkan oleh Allah untuk pemberitaan Injil, adalah orang yang
menerima kebenaran daripada Allah dan menyampaikan kebenaran itu kepada orang
lain. Tugas utama pengkhotbah adalah menjelaskan Alkitab, yaitu Wahyu yang
diberikan Allah.[2]
Pengkhotbah adalah orang yang bersikap terbuka terhadap Allah dan terhadap
sesamanya.[3]
2.3. Sikap Pengkhotbah
Pengkhotbah yang berjalan dengan tenang, rendah
hati, sopan dan yang serius pasti memberikan kesan yang lebih baik kepada
pendengar. Janganlah tampil dengan sikap yang pura-pura atau dibuat-buat. Semua
yang pura-pura tidak akan tahan lama. Dengan berpura-pura, yang bersangkutan
sendiri pasti merasa tertekan, dan orang-orang yang dilayaninya pun akan
mencibir si pengkhotbah. Lebih baik pengkhotbah maju ke depan umum dengan
seadanya sesuai dengan hati dan kehidupannya. Sikap yang tidak baik dapat
mengganggu konsentrasi pengkhotbah, oleh sebab itu kita harus waspada dengan
sikap kita dalam berkhotbah.[4]
Pengkhotbah hendaklah menghampiri mimbar dengan tenang dan penuh kesungguhan, janganlah
berlagak, jangan pula merasa canggung, lebih-lebih jangan dengan sembarang saja
naik mimbar, misalnya dengan sekali lompat saja, seolah-olah hendak menunjukkan
sikap begini: “Ah, sudah biasa saya naik turun di sini!”. Orang yang mempunyai
angan seperti ini, sebenarnya melampaui batas kerendahan hati. Terdapat tiga
macam sikap yang patut dicontoh oleh pengkhotbah di atas mimbar. Pertama;
hendaklah pengkhotbah berdiri dengan tegap. Tegap berarti tegak. Berdiri tegak
atinya tidak membungkuk, tidak bersandar. Kedua; hendaklah pengkhotbah
menyaringkan suaranya.. Menyaringkan suara bukan berteriak atau menjerit,
melainkan bersuara dengan jelas dan tegas dalam mengucapkan setiap suku kata.
Ketiga; hendaklah pengkhotbah memandang jemaat, supaya diketahui bahwa Kabar
Baik itu sesungguhnya diperuntukkan bagi jemaat yang hadir.[5]
2.3.1. Kepribadian Pengkhotbah
Ada beberapa kepribadian pengkhotbah:
a.
Pengkhotbah membantu jemaat untuk mengetahui dan memahami kehendak Allah serta
melakukan kehendak Allah bukan pengetahuan keilmuwan secara kognitif, melainkan
pengetahuan iman.[6]
b.
Pengkhotbah harus memiliki kualitas pribadi yang bisa diteladani oleh umat.
Seorang pengkhotbah harus memiliki sifat yang stabil.[7]
c.
Dalam cara hidup seorang pengkhotbah mengutamakan disiplin yang tinggi dan taat
pada peraturan, serta sanggup mengarahkan dan membimbing semua jemaat.[8]
d.
Seorang pengkhotbah haruslah orang yang memiliki iman teguh. Hal ini tidak
berarti bahwa ia kebal akan godaan dan kebingungan, tetapi ia berani melawan dan
mengalahkan godaan.[9]
e.
Pengkhotbah harus memiliki kepemimpinan.[10]
f.
Seorang Pengkhotbah janganlah menjadi seorang peniru saja, melainkan menjadi
dirinya sendiri dan mengungkapkan semua pergumulannya dengan firman Tuhan itu
dengan caranya sendiri. Sehingga apa yang diungkapkan si pengkhotbah itu adalah
bukan milik orang lain, bukan pinjaman, atau sesuatu yang asing, melainkan
miliknya sendiri.[11]
2.3.2. Penampilan
Pengkhotbah
Gaya atau penampilan
dapat mengungkapkan sikap dan perasaan lebih akurat daripada kata-katanya.[12]
Karena dari gaya dan penampilan kita cukup menentukan untuk masuk dalam sebuah
komunikasi yang akan terbangun melalui khotbah.[13]
Pengkhotbah harus memperhatikan penampilannya karena mata jemaat akan tertuju
kepadanya. Pengkhotbah harus memakai pakaian sopan, rapi, dan bersih. Dan
memperhatikan rambut dan juga sepatu ang akan dikenakan ketika berkhotbah.[14]
2.4.Tekhnik Menyampaikan Khotbah
2.4.1.
Doa
Doa adalah
persekutuan yang mesra antara manusia dan Tuhan. Dengan berdoa, seorang
pengkhotbah mengadakan hubungan yang mesra dengan Tuhan yang tidak kelihatan,
Tuhan yang hidup. Doa adalah nafas orang percaya, termasuk pengkhotbah. Tanpa
doa, kehidupan rohani kita akan mati. Doa merupakan cara langsung untuk membuka
diri seseorang (juga pengkhotbah) kepada kuasa Allah yang kreatif. Hal inilah
yang memampukan pengkhotbah mengalami aliran semangat rohani yang baru oleh
kuasa Roh Kudus.[15]
Dalam mengawali khotbah, seorang pengkhotbah sebaiknya mengajak jemaat untuk
berdoa sebelum teks dibacakan. Hal ini menandakan bahwa pengkhotbah dan pendengar mengandalkan
pekerjaan Roh Kudus, bukan diri sendiri. Sebab yang akan diperdengarkan adalah
firman Tuhan. Jadi pengkhotbah dan jemaat harus meminta bimbingan dan
pengajaran Tuhan.[16]
Berkhotbah tanpa berdoa sama seperti berlayar dengan kapal layar pada saat
tidak ada angin. Anda mungkin dapat meluncurkan perahu dan mengembangkan layar,
tetapi tidak dapat pergi kemana pun.[17]
Pengkhotbah bukan saja berdoa untuk kesuksesan pelayanannya, tetapi juga berdoa
untuk dirinya agar sungguh-sungguh menjalankan apa yang ia wartakan dari
mimbar, apakah khotbah itu menyenangkan hati Tuhan karena yang dikhotbahkan
adalah firman Tuhan. Dengan doa pengkhotbah melangkah naik ke mimbar dan
melangkah turun dari mimbar.[18]
2.4.2.
Pembacaan Teks
Pada waktu teks
dibacakan merupakan bagian yang pertama dari khotbah. Karena itu seorang
pengkotbah diharapkan untuk menjadi pembaca yang tepat. Pembacaan teks
menentukan mutu kesadaran pendengar dan menarik perhatian mereka terhadap
firman Allah.[19]
Dan dalam pembacaan teks, pengkhotbah hendaknya menyebutkan nama kitab, pasal,
ayat secara terpisah atau diberi jeda beberapa detik dan diucapkan beberapa
kali.[20] Ada
tiga cara dalam pembacaan teks Alkitab:
a.
Puitis
Model
puitis tidak memiliki lagu/nada/melodi yang menentang. Nada atau lagu dalam
pembacaan puitis ditentukan oleh karakter kata yang diucapkan. Semua kata
memiliki karakter, yang karakter itu ditampilkan oleh pengucapan kata itu.
Nats-nats yang tepat dibacakan dengan model puitis adalah kitab sastra, hikmat,
ratapan.
b.
Dramatikal
Pembacaan model
dramatikal adalah pembacaan teks yang tidak menggunakan alat bantu. Tetapi
hanya mendramatiskan ulang sebuah peristiwa yang ada di dalam teks dengan
menggunakan suara, dinamika, artikul. Model ini bertujuan untuk menggambarkan
dan melukiskan apa yang sudah dikerjakan Allah dan yang akan dikerjakan Allah.
Pembacaan teks dalam dramatikal digunakan untuk semua teks yang berdialog.
Kaitannya dengan pembacaan teks secara dramatikal, pengkhotbah tidak hanya
membuat jemaatnya tertarik, bahkan bisa larut dalam situasi yang digambarkan
oleh pengarang asli melalui proses berkhotbah. Sehingga pada saat pembacaan teks
disampaikan, pendengar merasa berhadapan langsung dengan peristiwa dalam teks.
c.
Teater
Pembacaan model
teater adalah pembacaan yang menggunakan gaya bahasa sendiri dan bahasa tubuh
serta menggunakan potensi yang ada. Gaya bahasa harus diperhatikan sedemikian
rupa dalam pembacaan teks dalam khotbah, supaya jemaat mengerti firman Tuhan
yang disampaikan. Dalam penyampaian model ini dapat dilakukan dengan
menggunakan alat peraga yang sesuai dengan teks yang dibaca.[21]
2.4.3. Penjelasan Teks
Dalam berkhotbah, pengkhotbah
menyampaikan pesan khotbah dalam dua cara yaitu berbicara menggunakan kata-kata
(komunikasi verbal) dan dengan bahasa tubuh (komunikasi non-verbal).[22]
1.
Komunikasi Verbal
a.
Suara
Suara alami bukan
dibuat-buat. Gunakan nada suara sedang ketika berkhotbah dan ucapkan khotbah
dengan jelas. Berbicaralah dengan jelas. Usahakan agar para pendengar yang
duduk di kursi paling belakang dapat mendengar dengan jelas.[23]
Dalam hal ini pengeras suara akan sangat membantu, asalkan pandai mengatur tempatnya.
Pendeknya suara pengkhotbah harus dapat didengarkan oleh semua jemaat, baik itu
tua maupun muda.[24]
·
Penekanan
Variai-variasi dalam kekerasan suara
bisa berguna baik untuk menarik perhatian maupun memberi penekanan. Suatu
perubahan dengan tekanan tertentu dapat mengkonsumsikan kepentingan ide-ide.
Keseluruhan bagian dari suatu khotbah dapat ditekankan bila seseorang
pengkhotbah mengungkapkannyan dengan volume suara yang lebih besar.[25]
Tujuan penekanan adalah untuk mendapatkan suara di atas batas kebisingan suatu
ruangan.[26]
·
Tempo
Tempo ini adalah bagaimana kecepatan
pengkhotbah berbicara. Tempo adalah unsur penting lainnya dalam artikulasi. Ada
beberapa masalah umum yang terkait dengan tempo. Pertama, pengkhotbah berbicara
terlalu cepat. Para pendengar perlu waktu yang cukup untuk mengubah bunyi
menjadi kata-kata dan kata-kata menjadi kesatuan makna (ungkapan, kalimat),
lalu kesatuan makna menjadi pemikian dan perasaan, lalu pemikiran dan perasaan
menjadi kenangan, pengetahuan, dan rencana bertindak. Kedua, pengkhotbah
berbicara terlalu lamban. Bila ini terjadi, pikiran pendengar akan berkelana
atau pendengar bisa selesai bermain-main dengan pikirannya dengan cara yang
mungkin tidak sesuai dengan maksud pengkhotbah. Ahli teori komunikasi
mengusulkan sekitar 140-160 kata per menit. Sehingga penting juga untuk
menggunakan tempo yang berbeda-beda dalam berbicara sehingga pembicaraan tidak
terdengar monoton. Penting juga menggunakan tempo yang berbeda-beda dalam
berbicara sehingga pembicaraan tidak terdengar monoton. Tujuannya adalah
meragamkan kecepatan berbicara dengan cara menambah penekanan alami dan
keanekaragaman dalam percakapan.[27]
·
Nada
Nada adalah suasana dari sebuah khotbah
secara keseluruhan. Nada ini penting agar suasana ini sesuai ide dan tujuan
pengkhotbah. Seorang pengkhotbah tidak boleh menjadi kecanduan menggunakan satu
nada saja, tetapi harus berusaha untuk menggunakan beragam nada dalam
berkhotbah demi mencegah kebosanan.[28] Nada
meliputi perpindahan suara dengan skala tinggi dan rendah, dalam tingkat nada
yang berbeda, dengan perubahan-perubahan nada suara yang bervariasi.[29]
Suara monoton mengucapkan semua kata-kata ataupun ungkapan kalimat dengan nada
yang sama tanpa adanya nada tinggi atau rendah. Ini dapat melelahkan dan
membosankan bagi jemaat, sekalipun isi khotbah bagus.[30]
·
Jeda
Pembicara
yang terampil mengenali bahwa jeda berfungsi seperti koma, titik koma, dan
tanda seru. Jeda adalah tanda-tanda baca dalam berbiara. Jeda lebih dari hanya
sekedar berhenti berbicara, sebab jeda juga memberi para pendengar suatu
kesempatan singkat untuk berpikir, merasakan, dan merespon.[31]
2.
Komunikasi Non-Verbal (Bahasa Tubuh)
·
Pandangan
Mata
Pandangan mata pengkhotbah harus tertuju
kepada jemaat. Pandangan sebaiknya diarahkan sedikit lebih tinggi dari kepala
pendengar agar semua yang hadir merasa benar-benar disapa. Pandangan hendaknya
menyebar, tidak tertuju pada satu arah atau terlalu sering memandang satu arah
tersebut.[32]
Arahkan pandangan mata ke seluruh jemaat dan bakan pandangan anda berhenti
sejenak pada beberapa orang yang berbeda. Selama penyampaian khotbah,
pertahankan terus kontak pandang.[33]
·
Gerak-gerik
Hindari stereotype tertentu dalam gerak-gerik atau gerakan khotbah.
Lakukanlah gerakan-gerakan yang wajar, jangan meniru gerakan orang lain atau
bersikap berlebihan dalam berkhotbah.[34]
Gerak tubuh dapat membantu pengkhotbah dalam memberi penjelasan dan
penggambaran. Gerak tubuh juga dapat memberi pengkhotbah dalam memberi
penekanan pada ucapan serta menjaga daya tarik dan mempertahankan perhatian.
Gerak tubuh dapat membuat pengkhotbah menjadi tenang. Ketika tubuh bekerja
untuk membuat ide-ide, maka kita akan merasa lebih yakin dan siap.[35]
·
Ekspresi
Wajah
Ekspresi wajah juga merupakan bagian
penting dari bahasa tubuh ketika berkhotbah. Dalam hal ini kesesuaian dengan
pesan yang disampaikan sangatlah penting. Jika seseorang menyampaikan pesan
yang berisi sukacita dan kegembiraan, wajah seharusnya idak muram. Jika pesan
yang disampaikan memberikan pengharapan, wajah seharusnya tidak menunjukkan
ketakutan dan kekhawatiran.[36]
III. Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas dapat saya simpulkan, bahwa hal yang dilakukan dalam pelaksanaan khotbah adalah yang pertama, bagaimana
seharusnya sikap seorang pengkhotbah dan setelah itu bagaimana kita
menyampaikan khotbah dengan tekhnik-tekhnik yang baik. Seorang pengkhotbah
ketika sudah di mimbar harus menggunakan tekhnik-tekhnik untuk membaca teks dan
penjelasan teks. Bahwa dalam membaca teks ada 3 cara, yaitu: Puitis,
dramatikal, dan teater. Dan untuk penjelasan teks pun pengkhotbah harus
memperhatikan dua cara untuk penjelasan teks, yaitu dengan cara komunikasi
verbal dan komunikasi non-verbal atau bahasa tubuh. Kita sudah mengetahui bahwa
dalam menyampaikan khotbah tidak hanya dengan verbal/oral tetapi bahasa tubuh
pun dapat membantu untuk menyampaikan sebuah khotbah. Sikap dan tekhnik inilah
yang membuat si pendengar tertarik dengan isi khotbahnya.
IV. Daftar Pustaka
....KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 2007
EvansWilliam, Cara Mempersiapkan
Khotbah, Jakarta: BPK-GM, 2014
de Jong. S., KHOTBAH Persiapan,
Isinya, Bentuknya, Jakarta: BPK-GM, 2014
SutantoHasan, Homiletika Prinsip
dan Metode Berkhotbah, Jakarta:BPK-GM, 1990
PouwP.H., Uraian Singkat Tentang
Homiletik, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2006
GintingE.P., Homiletika
Pengkhotbah & Khotbahnya, Yogyakarta: ANDI, 2003, 235
AnggraitoNoor, Menyiapkan Khotbah
Ekspositori Secara Praktis, Yogyakarta: ANDI, 2001
TambunanLukman, Khotbah dan
Retorika, Jakarta: BPK-GM, 2011
RitschiDietrich, Teologi
Pemberitaan Tuhan, Jakarta: BPK-GM, 1990
ScharfGreg, Khotbah yang
Transformatif, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013
ShipmannMichaelK., Khotbah
Alkitabiah Yang Komunikatif dan Berwibawa, Bandung: YBI, 2004
VinesJerry &Shaddix Jim, Homiletika
Kuasa Dalam Berkhotbah, Malang: Gandum Mas, 2002
RobinsonHaddon W., Cara
Berkhotbah Yang Baik, Yogyakarta: ANDI, 2002
McClureJohn S., Firman Pemberitaan,
Jakarta: BPK-GM, 2012
Robinson, Haddon W., Cara Berkhotbah Yang Baik, (Yogyakarta:
ANDI, 2011), 222
Ronda, Daniel, Prosiding Seminar Khotbah Kontemporer Vol
35, Sekolah Tinngi Theologia Jaffray, 2015
[1].....
KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 1063
[2]
William Evans, Cara Mempersiapkan
Khotbah, (Jakarta: BPK-GM, 2014), 18
[3]
S. de Jong, KHOTBAH Persiapan, Isinya,
Bentuknya, (Jakarta: BPK-GM, 2014), 18
[4]
Hasan Sutanto, Homiletika Prinsip dan
Metode Berkhotbah, (Jakarta:BPK-GM, 1990), 350
[5]
P.H. Pouw, Uraian Singkat Tentang
Homiletik, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2006), 64
[6]
E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah
& Khotbahnya, (Yogyakarta: ANDI, 2003), 235
[7]
Noor Anggraito, Menyiapkan Khotbah
Ekspositori Secara Praktis, (Yogyakarta: ANDI, 2001), 37
[8]
Lukman Tambunan, Khotbah dan Retorika, (Jakarta:
BPK-GM, 2011), 86
[9]
E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah
& Khotbahnya, 235
[10]
Balewitaya, Khotbah Kreatif , (Malang:
Gandum Mas, 1994), 39
[11]
Balewitaya, Khotbah Kreatif, 40
[12]
Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang
Baik, (Yogyakarta: ANDI, 2011), 222
[13]
Daniel Ronda, Prosiding Seminar Khotbah
Kontemporer Vol 35, (Sekolah Tinngi Theologia Jaffray, 2015), 31-32
[14]
Noor Anggraito, Menyiapkan Khotbah
Ekspositori Secara Praktis, 134-135
[15]
E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah
& Khotbahnya, 172
[16]
Dietrich Ritschi, Teologi Pemberitaan
Tuhan, (Jakarta: BPK-GM, 1990), 20
[17]
Greg Scharf, Khotbah yang Transformatif, (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013), 252
[18]
Lukman Tambunan, Khotbah dan Retorika, 122
[19]
Michael K. Shipmann, Khotbah Alkitabiah
Yang Komunikatif dan Berwibawa, (Bandung: YBI, 2004), 127
[20]
Hasan Sutanto, Homiletika Prinsip dan
Metode Berkhotbah, 20
[21]
Hasan Sutanto, Homiletika Prinsip dan
Metode Berkhotbah, 355-357
[22]
Jerry Vines & Jim Shaddix, Homiletika
Kuasa Dalam Berkhotbah, (Malang: Gandum Mas, 2002), 471
[23]
E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah
& Khotbahnya, 231
[24]
S. de Jong, KHOTBAH Persiapan, Isinya,
Bentuknya, 74
[25]
Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang
Baik, (Yogyakarta: ANDI, 2002), 238
[26]
John S. McClure, Firman Pemberitaan, (Jakarta:
BPK-GM, 2012), 206
[27]
John S. McClure, Firman Pemberitaan, 251-252
[28]
John S. McClure, Firman Pemberitaan, 188
[29]
Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang
Baik, 237
[30]
S. de Jong, KHOTBAH Persiapan, Isinya,
Bentuknya, 75
[31]
Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang
Baik, 240s
[32]
E.P. Ginting, Homiletika Pengkhotbah
& Khotbahnya, 231
[33]
Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang
Baik, 234
[34]E.P.
Ginting, Homiletika Pengkhotbah &
Khotbahnya, 232
[35]
Haddon W. Robinson, Cara Berkhotbah Yang
Baik, 230
[36]
John S. McClure, Firman Pemberitaan, 29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar