Jumat, 10 Mei 2019


Kritik terhadap sistem Etika Situasi berdasarkan Firman Allah
II.                PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Etika Situasi
Dalam KBBI, Etika adalah suatu bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang asas-asas moral (akhlak).[1] Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak “ta etha” artinya adalah adat kebiasaan. Etika juga dijelaskan sebagai ”ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).[2] Sedangkan Situasi menurut KBBI adalah kedudukan atau letak suatu tempat terhadap suatu keadaan (perihal atau peristiwa).[3] Jadi, Etika Situasi adalah suat bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang norma-norma berdasarkan suatu keadaan (perihal atau peristiwa). Etika situasi juga berarti etika yang hendak menentukan kelakuan berdasarkan situasi dan kondisi.[4] Etika situasi menolak adanya norma-norma moral umum karena kewajiban moral selalu bergantung dari situasi konkret. Jadi apa yang wajib dilakukan dalam situasi tertentu menurut etika situasi tidak pernah dapat begitu saja diketahui dari sebuah norma atau hukum moral. Sesuatu yang sama baik dan tepat, dalam situasi lain bisa jelek dan salah. Etika situasi sangat menegaskan bahwa setiap situasi itu unik dan tidak terulang.[5]

2.2.Latarbelakang munculnya Etika Situasi
Dalam situasi kekristenan yang merosot di dunia Barat, pandangan-pandangan tradisional tentang etika Kristen dengan cepat telah ditinggalkan oleh banyak orang. Satu tanda kemerosotan standar-standar etika yang berdasarkan pada Alkitab ialah disebut “etika situasi” atau “moralitas baru”.[6] Etika situasi muncul dalam banyak sosok, secara implisit sebagai tendensi dan secara eksplisit sebagai penolakan terhadap etika peraturan. Etika situasi adalah sebuah pendekatan dan teori dalam etika yang timbul sesudah perang dunia ke II dan sangat dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme dan personalisme. Eksistensialisme sangat menekankan keunikan dan tanggung jawab tiap-tiap orang, bahwa tiap-tiap orang itu khas dan tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka-kerangka, skema-skema dan norma-norma umum melainkan harus menentukan diri sendiri berdasarkan penghayatan yang otentik. Personalisme menekankan bahwa manusia adalah person yang bernilai pada dirinya sendiri, makhluk yang berakal budi dan berkehendak sendiri yang memiliki kebebasan sesuai suara hati sebagai kesadaran mandiri akan apa yang merupakan kewajiban dan tanggung jawabnya.[7]




2.3.Dasar sistem Etika situasi
Anggapan dasar etika situasi adalah bahwa kualitas moral sebuah tindakan tergantung dari situasi. Suatu tindakan itu wajib dilakukan atau tidak, tidak dapat dipastikan kecuali dengan memperhatikan situasi konkret.[8] Fletcher menegaskan bahwa etika situasi hanya mengakui satu satu norma moral, yaitu cinta Kasih. Tindakan apapun adalah benar apabila merupakan ungkapan cinta kasih, dan tindakan apapun secara moral salah apabila bertentangan dengan cinta kasih. Sikap moral bagi etika situasi adalah dengan bertanggung jawab dalam cinta kasih.[9] Tindakan yang secara moral dapat dipertanggung jawabkan memuat 3 langkah yaitu :
1.      Dari titik tolaknya, Agave (Cinta kasih), hokum satu-satunya yang diakuinya.
2.      Sophia (kebijaksanaan) yang termuat dalam ajaran agama dan paham-paham moral kebudayaaan yang dianggap sebagai sebagai aturan umum yang kurang atau lebih dapat diandalkan ke
3.      Kairos (waktu yang tepat), dimana Individu yang bertanggung jawab memutuskan dalam situasi konkret apakah Sophia tadi mengabdi pada cinta kasih atau tidak. Jadi yang harus terlaksana adalah cinta kasih.[10]
Fletcher berpendapat, etika situasi itu relativistic karena semua hokum dan aturan moral dianggap hanya berlaku sejauh mendukung cinta kasih. Hukum Moral tidak pernah boleh menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Hukum hanya bernilai sejauh melayani cinta kasih. Bukan hokum melainkan cinta kasih, bukan otoritas melainkan pengalaman, bukan kelakuan suatu aturan melainkan kebebasan adalah khas bagi etika situasi. Etika situasi itu mengandung positivisme karena menolak keberlakuan hokum kodrat yang tinggal dilaksanakan.[11]


2.4.Penekanan Sistem Etika Situasi
Etika situasi sangat menegaskan dan menekankan bahwa setiap situasi adalah unik dan bias saja tidak terulang. Kalau seseorang masuk dua kali kedalam kamar yang sama, itu tidak berarti dia dua kali mengalami situasi yang sama. Bisa saja sekali ia gembira, dan sekali lagi ia sedih. Dan karena setiap situasi berbeda, maka kewajiban moral dalam setiap situasi juga bias berbeda. Dari pertimbangan itu, etika situasi menarik kesimpulan bahwa tidak ada gunanya bicara tentang norma-norma moral umum. Norma-norma moral umum tidak pernah berlaku begitu saja karena norma itu hanya mengikat apabila juga tuntunan situasi konkret diperhatikan. Tanpa perhatian pada tuntutan situasi, kita tidak dapat mengetahui apa yang wajib kita lakukan.[12] Etika situasi mengatakan, “hanya tujuan yang membenarkan cara”. Selain dibenarkan oleh suatu tujuan, maka tindakan akan sia-sia saja.Apakah cara yang jahat selalu membatalkan tujuan yang baik? Tidak, kata etika situasi. Sekali lagi, itu tergantung kepada situasi dalam dunia yang relative ini. Sebagai contoh, kalau kesejahteraan, emosi dan rohani anak-anak dan orang tua dalam keluarga tertentu dapat dihasilkan hanya melalui perceraian, maka kasih menurut perceraian itu.[13] Lebih konkret lagi, etikasi situasi menegaskan bahwa “situasi dan kondisi dapat mengubah masalah”. Artinya perbuatan yang dalam situasi dan kondisi yg satu merupakan kewajiaban, dalam situasi dan kondisi lainnya barangkali tidak dapat dibenarkan. Sesuatu yang menurut etika moral sangat diyakini terlarang, bisa saja justru dituntut oleh situasi dan kondisi konkret. Jadi, etika situasi mengklaim membebaskan kita, bukan dari moralitas, melainkan dari pandangan salah tentang tuntunan moralitas.[14]
2.5.Prinsip-prinsip Etika Situasi
a.       Etika situasi mengontraskan dirinya dengan “etika tradisional” dalam banyak hal. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai reaksi terhadap hukum-hukum moralitas, peraturan-peraturan, dan prinsip moral yang lama sebagai penuntun perilaku.
b.      Moralitas baru menekankan “situasi” atau filsuf-filsuf kontemporer menyebutnya sebagai “realitas eksistensial”. Suatu perbuatan dikatakan salah bukan karena prinsip tapi karena situasi.
c.       Satu-satunya kriteria utama untuk menentukan perilaku ialah bukan kode etik tetapi kasih agave yang berkorban dan tidak mengingat diri.
d.      Kasih agave ini menghendaki kebaikan sesamanya, tidakpeduli apakah kita menyukai mereka atau tidak. Kasih bukanlah emosi atau etika yang berdasarkan perasaan. Kasih adalah etika, sikap, kemauan, dan karenanya dapat diperintahkan.
e.       Etika Kristen klasik mengatakan bahwa tujuan tidak membenarkan cara.  Fletcher mengatakan “hanya tujuan yang membenarkan cara. Selain dibenarkan oleh suatu tujuan maka suatu tindakan akan sia-sia. Tetapi etika situasi menganggap semuanya bergantung pada situasi dalam dunia ini.[15]
2.6.Kelebihan dan kekurangan Etika Situasi
2.6.1.      Kelebihan
a.       Adanya keterbukaan serta menolong kita untuk tidak memakai norma-norma tanpa menghilangkan hukum kasih
b.      Etika situasi memandang manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan dan mampu menentukan pilihan
c.       Semangat untuk mencari,menentukan dan menanggapi tuntunan situasi secara bijak dan kreatif berani dan juga bertanggung jawab.[16]
2.6.2.      Kekurangan
a.       Satu norma itu terlalu umum: norma kasih ini haruslah bersifat luas dan dapat menyesuaikan diri. Norma ini membutuhkan kepastian apa makna kasih sejauh menyangkut hubungan-hubungan konkrit.[17]
b.       Jatuhnya etika ini adalah terlupakannya norma dan aturan atau adanya pelanggaran norma yang berlaku.[18]
2.7.Etika Situasi Berdasarkan Firman Allah
Etika adalah dasar untuk melakukan apa yang benar dan ketajaman untuk melihat perbuatan-perbuatan yang benar.[19] Bahwa dalam moril (moral) mengatakan pada segala orang ada kesadaran tentang kesusilaan, yaitu pengertian mengenai yang baik dan yang jahat.[20] Etika Kristen berusaha untuk menolong orang-orang untuk berfikir dengan lebih terang tentang kehendak Allah supaya manusia dapat mengembangkan taraf hidupnya dan kehidupan masyarakat yang lebih sesuai denga kehendak Allah (Patuh terhadap hukum Allah yang adalah kasih adanya hukum Taurat dan yang lainnya yang tertulis dalam Alkitab). Oleh karena itu, etika harus memperhatikan keadaan yang sebenarnya dan etika memberikan nasihat yang baik dan relevan. Etika mempelajari situasi yang sebenarnya dengan mengingat situasi yg seharusnya. Etika menjadikan kehidupan manusia dan masyarakat yang lebih utuh.[21]Etika Kristen dengan jelas menolak Etika situasi ini. Karena etika Kristen mengajarkan perbuatan itu tidak tergantung dengan adanya situasi melainkan adanya norma hidup bagi Etika Kristen yaitu kehendak Allah dan hukum-hukumNya yang adalah kasih Allah. Allah sendiri yang menentukan suatu perbuatan itu baik atau salah (Yoh 14:6; 2 Kor. 5:21 ; Yoh 16:13), pengertian manusia tidaklah sempurna untuk dapat menentukan apa yang baik. Keputusan yang tepat tidak mungkin terlepas dari pengetahuan realistis tentang masalah yang dihadapi. Tetapi keputusan juga tidak mungkin terlepas dari norma-norma dan nilai etis . Kasih yang ada dalam Etika Situasi adalah Kasih yang terlepas dari norma, sedangkan kasih dalam Etika Kristen adalah kasih yang tidak terlepas dari Norma. Maka pengetahuan yang memadai serta nilai-nilai yang baik diperlukan untuk keputusan yang baik.[22]

III.             KESIMPULAN
IV.             DAFTAR PUSTAKA



[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),278
[2] K.Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1994), 4-5
[3] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia,956
[4] J. Douma, Kelakuan yang Bertanggung Jawab, Jakarta :BPK-GM, 1993), 83-84
[5] Franz Magnis Suseno,Etika Abad KeDua puluh,( Yogyakarta: Kanisius, 2006),111-112
[6] Harvie M. Conn, Teologia Kontemporer,(Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara,1996), 70-71
[7] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,(Yogyakarta: Kanisius,1987),104
[8] Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika abad ke-20, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), 114
[9] Franz Magnis Suseno,Etika Abad KeDua puluh, 113
[10]Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika abad ke-20, 114
[11] Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika abad ke-20,116
[12] Franz Magnis Suseno,Etika Abad KeDua puluh, 112
[13] Harvie M. Conn, Teologia Kontemporer, 72-73
[14] Franz Magnis Suseno,Etika Abad KeDua puluh, 113-114
[15] Harvie M. Conn, Teologia Kontemporer,71-73
[16] A.Mangun Hardjana, Isme-Isme dalam Etika Kristen(A-Z), (Yogyakarta: Kanisius,1997),217-219
[17] Norman L.Geisler,Edisi Kedua: Etika Kristen pilihan dan isu Kontemporer, (Malang: Literatur SAAT 2010),54-55
[18] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,106
[19] Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta : BPK-GM, 2007), 108
[20] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta : BPK-Gunung Mulia, 2014), 77 
[21] Malcolm Brownlee, Pengambilan keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya, (Jakarta : Gunung Mulia, 1987), 16-19  
[22] Malcolm Brownlee, Pengambilan keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya, 239

Tidak ada komentar:

Posting Komentar