Senin, 13 Mei 2019




4. Penghayatan Doktrin Trinitatis Oleh Augustinus, Luther, dan Calvin
5. Penghayatan Doktrin Trinitatis Oleh Teolog-teolog Abad 20
i.                    Tritarianisme Mono Personal
ii.                  Tritarianisme Sosial
iii.                Tritarianisme Posisi Tengah
I.                   Pendahuluan
Pada sajian sebelumnya, kita telah membahas tentang Doktin Trinitas mengenai metodologi ontologis yang di dalam nya mengandung 3 poin yaitu, akar masalah timbulnya ide-ide Trinitas, munculnya keberagaman ide tentang Trinitas adad 1-4, serta konsili nicea dan konsili konstantinopel. Dalam sajian kali ini membahas tentang Doktrin Trinitas oleh Augustinus, Luther dan Calvin serta menurut teolog-teolog pada abad ke-20. Semoga sajian ini menjadi sumber penambah wawasan bagi kita semua.
II.                Pembahasan
2.1.Pengertian Trinitatis
Istilah Tritunggal atau Trinitas adalah ungkapan iman yang dibahasakan sesuai dengan analisa berpikir manusia dengan maksud untuk menjelaskan keberadaan Allah yang tidak kelihatan agar menjadi lebih konkrit di dalam perbuatanNya. Istilah trinitas pertama sekali diungkapkan oleh Tertulianus untuk merumuskan kepercayaan terhadap Allah, Yesus Kristus, dan Roh Kudus.[1]
2.2.Latar Belakang Penghayatan Doktrin Trinitatis
Pada abad-abad yang pertama Gereja yang masih muda itu dihadapkan dengan persoalan-persoalan sebagai berikut:
a. pengakuan yang diambil-alih dari ajaran Yahudi, yaitu bahwa Tuhan Allah adalah esa.
b. Pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan.
Oleh karena itu maka segeralah timbul persoalan, apakah dengan demikan orang kristen tidak menyembah kepada Allah yang lebih dari satu? Di sepanjang sejarah Gereja tampaklah pergumulan Gereja yang masih muda itu untuk merumuskan kepercayaan yang mengenai Tuhan Allah. Di dalam pergumulan tadi kita menyaksikan bagaimana Gereja di satu pihak berusaha untuk menghindarkan diri dari bahaya mempertahankan keesaan Allah dengan melepaskan ketritunggalannya, artinya bahwa orang sedemikian menekankan kepada ajaran bahwa Allah adalah esa, sehingga sebutan Bapa, Anak dan Roh Kudus seolah-olah hanya dipandang sebagai sifat-sifat Allah saja. Di pihak lain kita menyaksikan, bagaimana Gereja bergumul untuk menghindarkan diri dari bahaya  mempertahankan ketritunggalan Allah dengan melepaskan keesaannya, artinya bahwa orang sedemikian menekankan kepada perbedaan di antara Bapa, Anak dan Roh Kudus, hingga ketiganya itu seolah-olah berdiri sendiri-sendiri tanpa ada kesatuan.[2]
2.3.Penghayatan Doktrin Trinitatis oleh Augustinus
Augustinus merupakan seorang bapa gereja yang pandang-pandangan teologisnya sangat berpengaruh dalam gereja barat. Dilahirkan di Tagaste, Afrika Utara, tidak jauh dari Hippo Regius pada tanggal 13 November 354, ayahnya bernama Patricius, seorang kafir dan ibunya bernama Monica, seorang ibu yang saleh dan penuh kasih.[3] Ada dua karya penting Augustinus yang penting antara tahun 399-419 ia menulis karyanya yang terbesar di bidang dogmatik, yaitu: De Trinitate (Trinitas). Di dalamnya ia menyimpulkan semua pandangan para bapa gereja pendahuluannya dan ia menyajikan ajaran Ketritunggalan secara sistematis. Berdasarkan kewibawaan (yaitu dari Alkitab sebagaimana dijelaskan oleh gereja) kita percaya pada doktrin Ketritunggalan, yaitu bahwa Allah adalah tiga oknum dalam satu  hakikat. Tetapi apa artinya? Akal mencoba mengerti apa yang dipercaya oleh iman. Augustinus mencoba menjelaskan hal ini dengan analogi-analogi atau persamaan. Ia mencari persamaan dalam jiwa manusia yang diciptakan menurut rupa Allah. Ia menelaah sejumlah kemungkinan yang dapat dipakai sebagai analogi. Kebanyakan dipakai atas 3 rangkaian: berada, mengetahui, dan menghendaki. Analoginya yang terakhir dan terbaik ialah tentang akal yang mengingat, mengerti, dan mengasihi Allah. Dengan meneliti hubungan antara ingatan, pengertian dan kasih akan Allah, Augustinus mencoba menyelami hubungaan ketiga oknum Ketritunggalan.[4] Dalam perefleksiannya atas misteri “satu Allah”, tiga diri. Kesatuan Allah ditonjolkan Augustinus diatas segalanya. Ditandaskannya bahwa Trinitas itu satu Allah, bukan tiga allah. Dan Allah Yang Maha Esa itu tidak berhenti menjadi tunggal (simplex) karena Ia Tritunggal. Simplisitas Allah itu berarti bahwa segala kesempurnaan yang kita akui ada pada-Nya (mis. Keagungan, kebaikan, keabadian-Nya, dst). Semua kesempurnaan itu tidak ditambahkan pada hakikat Allah, tetapi melekat pada-Nya. Mengenai kesatuan Allah itu juga Augustinus mengingatkan bahwa hanya tentang satu saja dapat dikatakan bahwa ia ada secara mutlak dan bahwa ia sempurna secara mutlak. Oleh karena itu, Allah yang Maha Esa dan bukan tiap-tiap Pribadi ilahi yang memiliki satu kodrat, satu keallahan, satu kemuliaan, satu kehendak, dan satu kegiatan. Tiada keaktifan yang melibatkan hanya Bapa saja, atau hanya Putra saja atau hanya Roh Kudus saja. Terhadap alam dunia, Allah maksudnya ketiga Diri Allah Tritunggal merupakan unum principium (satu asas). Karya-karya Allah Tritunggal tidak dapat dipisah-pisahkan sejauh menyangkut segi luar (ad extra, ad creaturam), artinya ketiga Pribadi ilahi selalu bekerja secara harmoni. Ketiga Diri Allah direnungkan Augustinus dengan cara yang tidak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan refleksinya atas kesatuan Allah. Augustinus tidak begitu senang dengan pengertian “diri” atau “pribadi” (dalam bahasa latin: persona, bahasa Yunani: prosopon), dan lebih suka memakai paham relatio. Alasannya, Ketiga yang disebut Pribadi itu bukan sesuatu yang masing-masing berbeda dalam Diri-Nya sendiri, melainkan hanya berbeda dalam relasi-Nya satu sama lain dan terhadap dunia. Maka paham relasi mengacu baik kepada kehidupan batin Allah (inter-trinitaris, antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus) maupun antara Allah dengan dunia ciptaan.[5] 

2.4.Penghayatan Doktrin Trinitatis oleh Martin Luther
Martin Luther dikenal sebagai seorang tokoh reformator gereja di Jerman pada abad ke-16. Luther dilahirkan pada 10 November 1483 dalam sebuah keluarga petani di Eisleben, Thuringen, Jerman. Ayahnya bernama Hans Luther dan ibunya bernama Margaretta. Keluarga Luther adalah keluarga yang saleh sebagaimana golongan petani di Jerman sehingga Martin Luther dibesarkan dalam suasana seperti itu.[6] Pengahayatan Trinitas menurut Martin Luther adalah sesuai dengan keputusan Konsili Nicea, bahwa ada satu haikat ilahi yang disebut Allah dan sesungguhnya adalah Allah, dan ada tiga pribadi dalam satu hakikat ilahi, yang setara dalam  kuasa dan kekal yaitu Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Ketiganya adalah satu hakikat ilahi, kekal, tidak terbagi-bagi, tidak berakhir, maha kuasa, mahaarif, dan maha baik. Satu pencipta dan pemelihara segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.[7]
2.5.Pengahayatan Doktrin Trinitatis oleh Calvin
Yohanes Calvin adalah seorang pemimpin gerakan reformasi gereja di Swiss.  Ia merupakan generasi yang kedua dalam jajaran pelopor dan pemimpin gerakan reformasi gereja abad ke-16. Yohanes calvin dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1509 di Noyon, sebuah desa di sebelah utara kota Paris, Prancis. Ayahnya bernama Gerard Cauvin. Ibunya bernama Jeanne Lefranc.[8] Calvin menerangkan persona sebagai suatu hal yang berdiri sendiri di dalam kehidupan ilahi, yang satunya dibedakan dengan yang lain, karena sifat-sifat ilahi yang khas. Kata substansi adalah ousia di dalam bahasa yunani, sedangkan kata persona adalah hypostasis. Dimaksud Tertulianus dengan substansi adalah apa yang berada secara kongkrit, sedang yang dimaksud dengan persona adalah apa yang menjadi subyek. Dalam bahasa Yunani ousia ialah apa yang membedakan satu macam atau satu rumpun dengan macam rumun lain, serta yang memberi ciri khas kepada macam atau rumpun. Yang dimaksud dengan hypostasis atau persona adalah apa yang membedakan satu individu dengan individu yang lain, serta yang memberikan ciri khas kepada individu itu dalam satu rumpun atau satu macam. Diterapkan kepada Tuhan Allah, hal itu diterangkan sebagai berikut, bahwa Bapa, Anak Roh Kudus adalah tiga hupostasis di dalam satu ousia  atau tiga persona  di dalam satu substansi atau tiga oknum di dalam satu zat.[9]
2.6.Latar Belakang Penghayatan Doktrin Trinitatis Abad ke-20
Nico den Bok dalam karyanya yang berjudul Communicating the Most High. Membahasa teologi trinitas zaman sekarang dari sudut pandang masalah kepribadian. Keprihatinan Den Bok ialah monoteinme, dan ia bertanya apakah Allah Tritunggal adalah satu Pribadi ataukah persekutuan tiga Pribadi.  Di antara para teolog modren yang merenungkan misteri Allah Tritunggal Den Bok membedakan tiga kelompok :
1. Trinitarianisme Monopersonal
2. Trinitarianisme Sosial
3. Posisi Tengah[10]
2.7.Pengertian Tritarianisme
Trinitarian adalah sebutan bagi golongan yang percaya kepada ajaran Trinitas, yag dipergunakan untuk menentang ajaran Unitarian.[11]
2.8.Tokoh-tokoh Teolog Tritarianisme Mono Personal
2.8.1.      Karl Barth
Karl Barth adalah seorang teolog besar dalam kalangan gereja reformatoris pada abad ke-20 ini. Karl Barth dilahirkan pada tahun 1886 di Basel, Swiss. Ayahnya adalah seorang mahaguru Teologi Perjanjian Baru pada Universitas Berlin, Universitas Bern. Fritz Barh namanya.[12] Menurut Karl Barth, Allah Tritunggal tidak dapat berdiri dari tiga pribadi, tiga kepribadian atau tiga subjek. Allah hanya mempunyai satu “Aku”, bukan tiga, satu kehendak (bukan tiga), satu wajah, satu sabda dan satu karya. Ia satu Tuhan, Barth yakin bahwa maksud Gereja dengan kata persona berbeda sekali dengan arti modern dari “Pribadi” dipakai Barth untuk mengacu kepada Allah yang Esa, yang merupakan Zat berpikir, berkehendak dan bertindak dan yang kebebasanNya tiada taranya. Allah itu satu pribadi dalam tiga “cara berada”. Cara berada yang rangkap tiga itu berkaitan erat dengan perwahyuan diriNya yang bercorak trinitaris sejauh Allah sendiri adalah pewahyu, diwahyukkan, dan “Keterwahyuan”. Maksudnya yaitu Allah yang merupakan sumber pewahyuanNya yang personal (sebagai Bapa), juga merupakan baik hasil objektif maupun hasil subjektif dari pewahyuan itu. Di dalam sejarah, Allah menghadirkan diriNya kepada makhluk insani (sebagai Yesus Kristus) dan di dalam hari kaum beriman Allah membuat mereka menerima kehadiranNya (sebagai Roh Kudus).[13]
2.8.2.      Karl Rahner
Rahner adalah seorang teolog besar Gereja Katolik pada abad ke-20. Ia dilahirkan di Freiburg-im-Breisgau, Jerman pada tahun 1904. Rahner menghasilkan banyak tulisan dan yang sangat terkenal berjudul Dasar-dasar Iman Kristen. Buku ini diterbitkan pada tahun 1976.[14] Menurut Karl Rahner, berpendapat bahwa ketiga “personae” tidak bisa dipandang sebagai tiga pribadi dalam arti modern. Konsep trinitaris yang tradisioanal persona tidak berfokus pada pusat subjektivitas rohani.  Satu pusat kegiatan rohani, satu kebebasan, dan satu kehendak, maka tiada “Engkau”, tiada pemberian diri timbal balik. Namun istilah “pribadi” juga ada referensinya dalam kenyataan ilahi. Pada hakikatnya Allah yang satu itu terbuka kepada pribadi-pribadi non-ilahi. Sebagai subjek yang mutlak, Allah Tritunggal memberikan diri kepada subjek yang terbatas yaitu pribadi manusia, yang mampu akan transendensi-diri. Apa yang tiga di dalam Allah itu disebut Rahner “ cara bersubsistensi yang terpilah-pilah” dan ketigaan itupun bersangkut paut dengan komunikasi diri dari Allah kepada ciptannNya. Cara bersubsistensi rangkap tiga itu bukan hanya dan bukan baru terjadi berhubung dengan sejarah keselamatan, tetapi betul-betul termasuk keberadaan Allah yang imanen. Oleh karena itu, harus ada latar belakang imanan di dalam Allah bagi pemberian diri itu. Tindakan Allah yang rangkap tiga itu bersesuaian dengan Hakikat Allah yang triganda yang memungkinkan seluruh komuniksi diri Allah itu. Trinitas ekonomis adalah trinitas imanen dan juga sebaliknya, demikian Rahner.[15]
2.9.Pengertian Tritarianisme Sosial
Istilah “Tritarianisme Sosial” ini menurut Den Bok (bersama C. Pantinga Jr.) menunjuk kepada pandangan bahwa di dalam Allah terdapat persekutuan (communio, communicatio) dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus sebagai tiga Pribadi atau Subjek dalam arti penuh, yaitu sebagai pusat cinta kasih, kehendak, pengetahuan, dan tindakan berencana yang terpilah-pilah sedemikian rupa sehingga ketiga Pribadi Ilahi berhubung-hubungan satu sama lain dengan cara yang bersifat analog dengan, meskipun juga jauh melebihi, hubungan antara para anggota suatu badan sosial yang terdiri dari tiga makhluk insani. Para penganut model sosial itu menekankan bahwa yang membuat seorang “person” menjadi “person” adalah relasi dengan pribadi lainnya, dan bahwa dalam hal ini pribadi-pribadi insani telah dibentuk menurut contoh Pribadi-Pribadi Allah Tritunggal sebab Trinitas merupakan perwujudan paling sempurna dari prinsip “aku menjadi aku berkat Engkau”.[16]
2.10.                     Pemahaman Tokoh-tokoh Tritarianisme Sosial
2.10.1.  Jurgen Moltmann
Jurgen Moltmann menyatakan bahwa sejarah Trinitas merupakan sejarah tiga Subjek dalam hubungan persekutuan satu sama lain. Menggunakan istilah “person” sebagai tergantikan oleh sebutan “subjek dan sebaliknya, Moltmann memandang keesaan Allah bukan sebagai identitas satu Subjek yang tunggal melainkan sebagai persatuan tiga Pribadi, suatu komunitas dalam arti kata yang penuh. Untuk Trinitas yang bertindak dalam sejarah keselamatan, Moltmann berbicara terang-terangan tentang tiga Subjek yang secara intim dan intensif berhubung-hubungan. Proses-proses imanen di dalam Trinitas bersifat (adi) kodrati, kekal, dan malah niscaya, sedangkan perutusan ekonomis bersifat (suka) rela, temporal, dan bebas. Akan tetapi, karena bagi Allah keniscayaan dan kebebasan bertindih tepat, semua term tadi rupanya dapat dijabarkan menjadi spontanitas, terutama spontanitas cinta kasih. Allah mengasih dengan sendirinya.[17]
                        2.10.2 Wolfhart Pannenberg
Menanggapi konsep trinitaris Barth, Pannenberg berpaling kepada pandangan bahwa “kalau hubungan trinitaris antara Bapa, Putra dan Roh Kudus itu berupa diferensiasi diri timbal balik, hubunga itu tidak dapat diartikan sebagai Cuma cara berada yang berlain-lainan saja dari satu Subjek Ilahi yang tunggal, tetapi hanya dapat dimengerti sebagai proses-proses kehidupan dari (tiga) pusat kegiatan yang independen. Bapa, Putra, dan Roh Kudus digambarkan Pannenberg sebagai tiga penampakan dari atu medsn dan kekuatan yang diidentifikasi sebagai kasih cinta. Seperti pribadi insani, pribadi Ilahi pun mempunyai kodrat yang “ekstatis”, artinya “mempuyai” DiriNya “dalam” pribadi yang lain.[18]
2.11.                    Trinitarianisme Posisi Tengah
2.11.1 Piet Schoonenberg
                         Piet Schoonenberg mengemukakan  tesis bahwa Pribadi Ilahi yang satu itu mnejadi antarpribadi dengan bergerak menuju mahkluk-mahkluk insani. “Pribadi” bila diterapkan pada Allah, berlaku bagi Allah yang dapat disebut Sang Bapa, sedangkan Sang Putra dan Roh hanya secara “ekonomis” saja menjadi pribadi-pribadi: Berkat pergerakan diri Allah menuju manusia maka putra dan Roh semakin “memprofilasikan” diriNya sendiri. Satu pribadi dengan dua “pancaran” yakni Sabda dan Roh, namun secara ekonomis (khususnya sejak inkarnasi) terdapat interpersonalitas yang sungguh-sungguh. Schoonberg dapat mengatakan bahwa Putra dan Roh mempribadikan diri sendiri tetapi menganggapnya lebih tepat untuk mengatakan bahwa Pribadi Bapa mempribadikan SabdaNya menjadi Putra (dalam Yesus Kristus) dan RohNya menjadi PutraNya.[19]

2.11.2 Hans Urs Von Balthasar
Menurut Hans Urs Von Balthasar, untuk mendekati misteri Tritunggal kedua sudut pandang perlu, baik sudut monopersonal maupun sudut sosial. Akan tetapi supaya pendirian Von Balthasar ini bukan kontradiksi maka arti kata “Pribadi” dalam pernyataan bahwa Allah itu satu Pribadi harus berbeda dengan artinya dalam kalimat bahwa Ia tiga Pribadi, demikian Den Bok. Dalam pandangan Von Balthasar, setiap mahkluk insani merupakan baik “individu” yang dilawankan dengan kekolektifan masyarakat maupun “subjek mental”. Secara Kristologis dan antropologis orang menjadi “Pribadi” berkat perutusannya. Dalam teologi Trinitaris “Pribadi” didefinisikan sebagai diri yang secara sempurna menyangkal diri, terdiri dari kasih murni yang memberikan segala sesuatu kepada yang lain.[20]
III.             Kesimpulan
Dari pemaparan sajian, disimpulkan bahwa analisa berpikir manusia dengan maksud untuk menjelaskan keberadaan Allah yang tidak kelihatan agar menjadi lebih konkrit di dalam perbuatanNya. Menurut para tokoh seperti Augustinus, ia memahami Trinitas adalah sebagai kesatuan Allah (Keesaan Allah), Luther memahami Trinitas sesuai dengan keputusan konsili nicea yaitu satu hakikat Ilahi yang disebut Allah. sedangkan Calvin memahami Trinitas sebagai pesona suatu hal yang berdiri sendiri di dalam kehidupan Ilahi. Dan pada abad ke-20 membahas tentang teologi Trinitas pada zaman sekarang dari sudut pandang masalah kepribadian. Den Bok membedakan hal itu setelah dia melakukan perenungan dengan membedakan hal sebagai berikut yaitu, Trinitianisme monopersonal, Trinitianisme sosial, dan Trinitianisme posisi tengah.
            Tambahan Dosen
                 Doktrin yang sulit adalah trinitas hampir tidak ada zaman yang membacakan trinitas. Dengan demikian, begitu banyak corak-corak pikiran/monoteisme yang sudah membiarkan untuk satu masalah doktrin. Semua gereja di dunia ini dipanggil untuk menyepakati satu jawaban yang sama yang disebut pengakuan iman gereja pengakuan iman Nicea-konstantinopel. Artinya pertanyaan atau persoalan tentang monoteisme kristen sudah ditemukan satu jawaban yaitu keputusan konsili Nicea dan Kontantinopel. Semua tata gereja yang menuliskan gereja yang kudus dan Am. Artinya dia menganut pengakuan iman oikumenis.
            Pengakuan iman Atanasius, awalnya pada konsili konstantinopel. Konsili memutuskan menerimanya itu. Pengakuan iman Nicea disempurnakan pengakuan iman Nicea-Konstantinopel. Trinitas adalah inti sari ajaran Kristen. Ajaran trinitas yaitu pengakuan iman Konstantinopel. Trinitas bukan pertanyaan melainkan jawaban.
            Mengapa Trinitas dikembangkan di Teologia?
Karena nanti mempelajari Pluralisme yang berguna untuk meredakan konflik agama yang sulit bahkan menjadi bomerang di agama lain. Maksudnya, doktrin mereka kita anggap sebagai salah satu sumber yang membuat kita tidak bisa bersahabat. Meredakan konflik Tokoh-tokoh berdebat untuk membaharui sosial. Maksudnya, penganut agama lain bisa memahami sehingga dengan demikian keteganggan dan konflik bisa dikurangi.
IV.             Daftar Pustaka
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika, Yogyakarta: KANISIUS, 2004.
Hadiwijono, Herun, Iman Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 2015.
Lane, Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK-GM, 2016.
Lumbantobing, Darwin, Teologi di Pasar Bebas, Pematangsiantar: L-Sapa, 2008.
Wallem, F.D., Riwayat Hidup Singkat, 124Theodore G. Tappert, Konkord Konfesi Gereja Lutheran, Jakarta: BPK, 2004.
Wellem, F.D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK, 2011.
Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.





[1] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematangsiantar: L-Sapa, 2008), 155.
[2] Herun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 104
[3] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 23
[4] Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK-GM, 2016), 43
[5] Dr. Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika, (Yogyakarta: KANISIUS, 2004), 156-157
[6] F.D.Wallem, Riwayat Hidup Singkat, 124
[7] Theodore G. Tappert, Konkord Konfesi Gereja Lutheran, (Jakarta: BPK, 2004), 36-37
[8] F.D.Wallem, Riwayat Hidup Singkat, 49-50 
[9]Herun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 109-110
[10] Nico Syukur Dister,Teologi Sistematika 1, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), 164
[11] F.D.Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK, 2011), 459
[12] F.D.Wallem, Riwayat Hidup Singkat, 28
[13] Nico Syukur Dister,Teologi Sistematika 1, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), 165
[14]F.D.Wallem, Riwayat Hidup Singkat, 161
[15]Nico Syukur Dister,Teologi Sistematika 1, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), 166-167
[16] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika I, (Yogyakarta: KANISIUS, 2004), 169
[17] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika I, 170             
[18] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika I, 170-171
[19] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika I, 167-168
[20] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika I, 168-169   



Islam Dan Tasawuf
I.                   Pendahuluan
           Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Dalam agama Islam ada dikenal dengan istilah tasawuf. Tasawuf adalah upaya menyucikan diri dengan menjauhi segala hal-hal duniawi. Nabi Muhammad adalah yang menjadi suri tauladan dalam melakukan tasawuf. Tasawuf ini juga memiliki aliran yaitu aliran tasawuf falsasfi dan sunni. Apa dan bagaimana sebenarnya tasawuf islami itu? Disini kami para penyaji akan mencoba memaparkan tentang tasawuf itu dalam sajian kami. Semoga sajian ini dapat membuka wahana berpikir kita untuk memahami kepelbagaian dalam agama Islam.
II.                Pembahasan
2.1.Pengertian Islam
     Secara etimologi Islam berasal dari kata aslama yang mengandung pengertian khahla’a (tunduk) dan Istaslama (sikap berserah diri), dan juga adda (menyerahkan atau menyampaikan). Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT.[1] Islam adalah ketundukan seorang hamba kepada wahyu Ilahi yang diturunkan kepada para nabi dan rasul khususnya Muhammad SAW guna dijadikan pedoman hidup dan juga sebagai hukum atau aturan Allah SWT yang dapat membimbing umat manusia ke jalan yang lurus, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.[2]
2.2.Pengertian Tasawuf
     Dari segi kebahasaan (linguistik) terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Misalnya Harun Nasution menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjama’ah, sufi yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani: hikmah), dan suf (kain wol kasar).[3] Selain pengertian tasawuf dapat dilihat dari segi kebahasaan, dapat juga dilihat dari segi istilah. Dalam kaitan ini terdapat tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas: kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang; dan ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk berTuhan. Jika dilihat dari sudut pandang pertama, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri. Selanjutnya dari sudut pandang kedua tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak. Dan yang ketiga tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah.
Jika ketiga definisi tasawuf tersebut satu dan lainnya dihubungkan, segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Allah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak manusia.[4]
2.3.Sejarah Dan Perkembangan Tasawuf
     Kehidupan Rasulullah s.a.w sebelum menjadi nabi dan terutama setelah beliau bertugas menjadi nabi dan rasul dari Allah S.W.T telah dijadikan tauladan utama bagi sebagian orang shufi dan tidak menyeleweng kejurusan agama-agama yang lain dari Islam. Maka dalam mensejarahkan tasawuf Islam, pada taraf yang pertama sekali berdasar dan bersumberkan pada sumbernya yang pertama, yaitu peri hidup rasulullah pendiri agama Islam, orang yang paling memuliakan Allah diseluruh alam ini. Bahwa tasawuf pada masa rasulullah s.a.w adalah sifat umum yang terdapat pada hampir seluruh nabi. Untuk itu dengan sedikit demi sedikit lahirlah filsafat ibadah dan penyelidikan-penyelidikan mendalam cara ini, dan bersamaan dengan itu lahir pula mazhab-mazhab rohaniah yang mendalami dan ini semuanya itu termasuk dalam kata tasawuf adanya.[5]
     Tasawuf dikenal secara luas dikawasan Islam sejak penghujung abad dua hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau para zahid yang mengelompok diserambi masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya. Tahap asketisme ini setidaknya sampai pada abad dua hijiriah.[6]
2.4.Tujuan Tasawuf
     Ada beberapa tujuan dari tasawuf, diantaranya adalah:
a.    Membersihkan hati dari segala keinginan dan kecenderungan buruk, dan dari kotoran yang menumpuk akibat dosa dan kesalahan.
b.   Tasawuf bertujuan untuk menyingkirkan perilaku buruk dan perbuatan dosa, menyucikan diri, dan menghiasi hati dengan perilaku yang baik dan terpuji.
c.    Tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga merasa dan sadar berada di hadirat Tuhan.
d.   Tujuan akhir tasawuf adalah membantu kaum beriman untuk mencapai ihsan, atau tingkat kesempurnaan akhlak, dengan menjadikan Nabi saw sebagai teladan.[7]
2.5.Macam-macam Aliran Tasawuf
2.5.1.      Aliran Tasawuf Falsafi
      Tasawuf falsafi adalah aliran yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistik (ghaib) dan visi rasional (akal). Selain itu tasawuf falsafi memiliki pengertian sebagai berikut tasawuf yang menggunakan pendekatan rasio atau akal pikiran. Tasawuf model ini menggunakan bahan-bahan kajian atau dari para filsof, baik menyangkut tentang Tuhan, manusia, dan sebagainya.
2.5.2.      Aliran Tasawuf Sunni (tasawuf akhlaki)
      Tasawuf sunni adalah membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Tasawuf sunni gabungan antara ilmu tasawuf dan akhlak. Akhlak hubungannya sangat erat dengan tingkah laku dan perbuatan manusia sedalam interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Tasawuf model ini berusaha untuk mewujudkan akhlak mulia dalam diri sufi, sekaligus menghindarkan diri dari akhlak mazmunah (tercela). Dan tasawuf sunni juga memiliki pengertian yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al-Quran dan hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal dan maqomat mereka kepada sumber tersebut.
2.6.Tokoh-Tokoh Tasawuf
2.6.1.      Abu Thalib Al-Makiki
      Abu Thalib Al- makki adalah seorang sufi, lahir di Jabal, suatu daerah antara Baghdad dan Wasith. Dalam sejarah para sufi tidak banyak terungkap mengenai kehidupan pengembaraan mencari ilmu yang dilakukan oleh Abu Thalib Al-Makki. Akan tetapi, dari ilmu yang ia miliki menunjukkan bahwa beliau adalah seorang sufi besar. Berbagai ilmu telah didalami dan dikuasainya, antara lain hadist, fiqih, dan tasawuf. Sebagai seorang sufi, beliau memiliki banyak pokok pikiran. Tasawuf dapat ditegakkan apabila telah memilii dasar-dasar yang kuat. Untuk mencapai dasar-dasar tersebut dibutuhkan beberapa hal yang harus ada, yaitu:
·         Kehendak yang benar dan konsekuen yang benar
·         Membina hidup taqwa dan menolak keburukan serta segala perbuatan maksiat.
·         Selalu makrifat (mengenal) Allah dan zikir (mengingat)-Nya.
·         Selalu bergaul dengan orang-orang saleh yang mampu menegakkan kehidupan taqwa yang sejati.[8]
2.6.2.      Abu Yazid Al-Busthami
      Abu Yazid Al-Busthami dilahirkan di Butham (188 H), suatu daerah sebelah utara Persia dan di tempat ini pula ia wafat dan dimakamkan. Dikalangan para ulama fiqih, Abu Yazid dikenal sebagai tokoh fiqih pengikut mazhab hanafi tetapi pada akhir kehidupannya beliau dikenal sebagai seorang sufi besar. Kehidupannya sebagai seorang sufi ditempuh dalam perjalanan yang cukup panjang, kira-kira dalam waktu 30 tahun. Abu Yazid berkelana menyelusuri padang pasir hidup dengan zuhud, makan, minum, pakaian, dan tempat tidur serba sederhana. Dari kezuhudannya itu beliau dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meraih derajat makrifat yang hakiki. Abu Yazid Al-Busthami pernah berkata “suatu penentuan mempunyai pengaruh daya penghapus; esensinya menghilang oleh esensi yang lain, jejak-jejaknya musnah oleh jejak yang lain. Selama tiga puluh tahun Allah SWT telah menjadi cermin bagiku, tetapi sekarang diriku telah menjadi cerminku sendiri bahkan Ia adalah tuhan yang berbicara dengan menggunakan lidahku karena diriku sendiri telah lenyap”. Banyak doktrin dan kata-kata hikmah yang muncul dari lidahnya, antara lain sebagai berikut:
·         Orang arif tidak tergantung cita-citanya kepada yang diangan-angankan dan seorang zahid tidak tergantung cita-citanya kepada apa-apa yang dimakan.
·         Orang yang bahagia adalah orang yang dapat mengumpulkan cita-citanya menjadi satu, yaitu semata-mata hanya kepada Allah SWT dan hanya tidak terganggu dengan apa yang dilihat oleh matanya dan yang didengar oleh telinganya di dunia. Orang yang mengenal Allah SWT maka sesungguhnya ia zuhud dari segala sesuatu yang mengganggu dirinya daripada-Nya.
·         Jika Allah SWT menawarkan kepadamu kekayaan dari Arasy sampai bumi maka katakanlah, “bukan itu ya Allah, tetapi hanya Engkau ya Allah tujuanku”.[9]
2.7. Pandangan Umat Islam Tentang Tasawuf
     Menurut at-Taftazani, Tasawuf mempunyai lima ciri yaitu:
1.   Memiliki nilai-nilai moral
2.   Pemenuhan fana (sirna, lenyap) dalam realitas mutlak
3.   Pengetahuan intuitif (berdasarkan bisikan hati) lansung
4.   Timbulnya rasa kebahagian sebagai karunia Allah SWT
5.   Penggunaan lambang-lambang pengungkapan (perasaan) yang biasanya mengandung pengertian harafiah dan tersirat.[10]
     Tasawuf juga berdasarkan Al-Quran dan Hadits, dapat dilihat ayat-ayat dan hadits-hadits yang menggambarkan dekatnya manusia dengan Allah SWT. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.   QS. Al-Baqqarah ayat 115, artinya:
      “Dan kepumyaan Allah lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui”.
2.   QS. Qaf ayat 16 artinya:
      “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.
3.   Hadits Riwayat Imam Bukkhari, artinya:
      “Barangsiapa memusuhi seseorang waliKu (wali Allah SWT adalah orang yang dekat denganNya), maka aku mengumumkan permusuhanKu terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hambaKu kepadaKu yang lebih Kusukai dari pengalaman segala yang Kuwajibkan atasnya. Kemudian, hambaKu yang senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencnitainya. Bila Aku telah cinta kepadanya, Akulah pendengarnya dengan ia mendengar, Aku penglihatannya dengan ia menlihat, Aku tangannya dengannya ia memukul, dan Aku kakinya dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepadaKu Aku perkenankan permoonannya, jika ia meminta perlindungan, Kulindungi ia”.[11]
2.8.Tahapan Yang Dilalui Oleh Seorang Hamba Yang Menekuni Tasawauf
1.   Syariat
      Syariat adalah hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad saw yang telah ditetapkan oleh ulama melalui sumbers nash al-quran maupun al-hadits atau dengan cara istimbat yaitu hukum-hukum yang telah diterangkan dalam ilmu Tauhid, fiqh, dan tasawuf. Isi syariat mencakup segala macam perintah dan larangan dari Allah SWT. Perintah-perintah itu disebut sebagai istilah ma’ruf yang meliputi perbuatan dan hukumNya wajib atau fardhu, sunnah, mubbah, atau membolehkan. Sedangkan larangan-larangan dari Allah SWT disebut dengan munkar yang meliputi perbuatan yang hukumnya haram dan makruh. Baik yang maruf maupun munkar sudah ada petunjuknya dalam al-quran dan al-hadits.[12]
2.   Tarekat
      Tarekat adalah pengalaman syariat melaksanakan beban ibadah dengan tekun dan menjauhkan dari sikap mempermudah ibaadah yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah (diremehkan). Sisi amaliah ibadah merupakan latihan kejiwaan, baik yang dilakukan oleh seorang atau secara bersama-sama, dengan melalui dan mentaati aturan tertentu untuk mencapai tingkatan kerohanian. Adapun tingkatan makam tarekat tersebut antara lain menurut Abu Nashr As-Saraj adalah sebagai berikut:
a.       Tingkatan Taubah
b.      Tingkatan Warah
c.       Tingkatan Az-Zuhd
d.      Tingkatan Al-Faqru
e.       Tingkatan Al-Shabru
f.       Tingkatan At-Tawaqal
g.      Tingkatan Ar-Ridha.[13]
3.   Hakikat
      Hakikat adalah suasana kejiwaan seorang sufi ketika ia mencapai suatu tujuan tertentu sehingga ia dapat menyaksikan tanda-tanda ketuhanan dengan mata hatinya. Hakikat yang didapatkan oleh seorang sufi setelah lama menempuh tarekat dengan melakukan suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dialami dan dihadapinya. Karena itu seorang sufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan yaitu:
a.      Ainul Yaqin
b.      Immul Yaqin
c.       Haqul Yaqin
                                                Pengalaman batin yang sering dialami oleh seorang sufi melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan marifat, dimana ahkikat itu merupakan tujuan awal tasawuf, sedangkan marifat merupakan tujuan akhirnya.[14]
4.    Marifat
      Marifat adalah hadirnya kebenaran Allah SWT pada seseorang sufi dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan nur ilahi. Marifat membuat ketenangan dalam hati. Akan tetapi tudak semua sufi dapat mencapai pada tingkatan ini, karena itu seseorang yang sudah sampai pada tingkatan marifat ini memmiliki tanda-tanda tertentu antara lain:
a.       Selalu memancar cahaya marifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya
b.      Tidak menjadikan keputusan pada suatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata.
c.       Tidak mengingikan nikmat Allah SWT yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya pada hal yang haram.[15]
III.             Kesimpulan
           Dari pemaparan diatas dapat kami simpulkan bahwa tasawuf adalah bagian daripada agama Islam yang dimana tasawuf adalah untuk menyucikan diri dan mendekatkan hubungan dengan Allah SWT dengan menanggalkan sifat-sifat duniawi. Adapun tujuan daripada tasawuf ini adalah untuk membersihkan diri, dan mecapai ihsan. Dalam hal itu ada tahapan-tahapan yang harus dilalui yaitu syariat, tarekat, hakikat, dan marifat. Tasawuf ini juga adalah berdasarkan al-quran dan al-hadits.
IV.             Daftar Pustaka
Barus, L., Belajar Islamologi di ABDI SABDA, Medan: 2008
Kabbani, Syekh Muhammad Hisyam, Tasawuf dan Ihsan, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007
Mahmud, Syekh, Akidah dan Syariat Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1984
Mujieb, M. Abdul, Ensiklopedia Tasawuf, Jakarta: PT. Mizan Publika, 2009
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007
Rakhmat, Jalaludin, Islam dan Pluralisme, Jakarta: SERAMBI, 2006
Saifuddin, Asep, Kedudkan Mazhab Dalam Syariat, Jakarta: Magenta Bakhti Guna, 1984
Shalaby, Ahmad, Pemikiran Islam, Jakarta: AMZAH, 2001
Siregar, H.A. Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1989
Sumber lain:
https://syairiblog.blogspot.co.id/2015/04/makalah-Islam-dan-tasawuf.html, diakses pada tanggal 22 April pkl. 18.00 wib. 



[1] Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, (Jakarta: SERAMBI, 2006), 40
[2] L. Barus, Belajar Islamologi di ABDI SABDA, (Medan: 2008), 79
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), 286
[4] Ibid, 287-288
[5] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1989), 152
[6] H.A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT RajaGrafindo
                 Persada, 2002), 36
[7] Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007),
                   22
[8] M. Abdul Mujieb, Ensiklopedia Tasawuf, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2009), 18
[9]  M. Abdul Mujieb, Ensiklopedia Tasawuf, 19
[10] Syekh Mahmud, Akidah dan Syariat Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), 7
[11] https://syairiblog.blogspot.co.id/2015/04/makalah-Islam-dan-tasawuf.html, diakses pada tanggal
                     22 April pkl. 18.00 wib.  
[12] Asep Saifuddin, Kedudkan Mazhab Dalam Syariat, (Jakarta: Magenta Bakhti Guna, 1984), 59
[13]  Syekh Mahmud, Akidah dan Syariat Islam, 4-6
[14] Ahmad Shalaby, Pemikiran Islam, (Jakarta: AMZAH, 2001), 70.
[15] Ibid, 72.