4. Penghayatan Doktrin Trinitatis
Oleh Augustinus, Luther, dan Calvin
5. Penghayatan Doktrin Trinitatis
Oleh Teolog-teolog Abad 20
i.
Tritarianisme
Mono Personal
ii.
Tritarianisme
Sosial
iii.
Tritarianisme
Posisi Tengah
I.
Pendahuluan
Pada
sajian sebelumnya, kita telah membahas tentang Doktin Trinitas mengenai
metodologi ontologis yang di dalam nya mengandung 3 poin yaitu, akar masalah
timbulnya ide-ide Trinitas, munculnya keberagaman ide tentang Trinitas adad
1-4, serta konsili nicea dan konsili konstantinopel. Dalam sajian kali ini
membahas tentang Doktrin Trinitas oleh Augustinus, Luther dan Calvin serta menurut
teolog-teolog pada abad ke-20. Semoga sajian ini menjadi sumber penambah
wawasan bagi kita semua.
II.
Pembahasan
2.1.Pengertian
Trinitatis
Istilah
Tritunggal atau Trinitas adalah ungkapan iman yang dibahasakan sesuai dengan
analisa berpikir manusia dengan maksud untuk menjelaskan keberadaan Allah yang
tidak kelihatan agar menjadi lebih konkrit di dalam perbuatanNya. Istilah
trinitas pertama sekali diungkapkan oleh Tertulianus untuk merumuskan
kepercayaan terhadap Allah, Yesus Kristus, dan Roh Kudus.[1]
2.2.Latar
Belakang Penghayatan Doktrin Trinitatis
Pada
abad-abad yang pertama Gereja yang masih muda itu dihadapkan dengan
persoalan-persoalan sebagai berikut:
a. pengakuan yang
diambil-alih dari ajaran Yahudi, yaitu bahwa Tuhan Allah adalah esa.
b. Pengakuan bahwa
Yesus Kristus adalah Tuhan.
Oleh karena itu maka
segeralah timbul persoalan, apakah dengan demikan orang kristen tidak menyembah
kepada Allah yang lebih dari satu? Di sepanjang sejarah Gereja tampaklah
pergumulan Gereja yang masih muda itu untuk merumuskan kepercayaan yang
mengenai Tuhan Allah. Di dalam pergumulan tadi kita menyaksikan bagaimana
Gereja di satu pihak berusaha untuk menghindarkan diri dari bahaya mempertahankan keesaan Allah dengan
melepaskan ketritunggalannya, artinya bahwa orang sedemikian menekankan
kepada ajaran bahwa Allah adalah esa, sehingga sebutan Bapa, Anak dan Roh Kudus
seolah-olah hanya dipandang sebagai sifat-sifat Allah saja. Di pihak lain kita
menyaksikan, bagaimana Gereja bergumul untuk menghindarkan diri dari
bahaya mempertahankan ketritunggalan Allah dengan melepaskan keesaannya, artinya
bahwa orang sedemikian menekankan kepada perbedaan di antara Bapa, Anak dan Roh
Kudus, hingga ketiganya itu seolah-olah berdiri sendiri-sendiri tanpa ada
kesatuan.[2]
2.3.Penghayatan
Doktrin Trinitatis oleh Augustinus
Augustinus
merupakan seorang bapa gereja yang pandang-pandangan teologisnya sangat
berpengaruh dalam gereja barat. Dilahirkan di Tagaste, Afrika Utara, tidak jauh
dari Hippo Regius pada tanggal 13 November 354, ayahnya bernama Patricius,
seorang kafir dan ibunya bernama Monica, seorang ibu yang saleh dan penuh
kasih.[3]
Ada dua karya penting Augustinus yang penting antara tahun 399-419 ia menulis
karyanya yang terbesar di bidang dogmatik, yaitu: De Trinitate (Trinitas). Di dalamnya ia menyimpulkan semua
pandangan para bapa gereja pendahuluannya dan ia menyajikan ajaran
Ketritunggalan secara sistematis. Berdasarkan kewibawaan (yaitu dari Alkitab
sebagaimana dijelaskan oleh gereja) kita percaya pada doktrin Ketritunggalan,
yaitu bahwa Allah adalah tiga oknum dalam satu hakikat. Tetapi apa artinya? Akal mencoba
mengerti apa yang dipercaya oleh iman. Augustinus mencoba menjelaskan hal ini
dengan analogi-analogi atau persamaan. Ia mencari persamaan dalam jiwa manusia
yang diciptakan menurut rupa Allah. Ia menelaah sejumlah kemungkinan yang dapat
dipakai sebagai analogi. Kebanyakan dipakai atas 3 rangkaian: berada,
mengetahui, dan menghendaki. Analoginya yang terakhir dan terbaik ialah tentang
akal yang mengingat, mengerti, dan mengasihi Allah. Dengan meneliti hubungan
antara ingatan, pengertian dan kasih akan Allah, Augustinus mencoba menyelami
hubungaan ketiga oknum Ketritunggalan.[4]
Dalam perefleksiannya atas misteri “satu Allah”, tiga diri. Kesatuan Allah
ditonjolkan Augustinus diatas segalanya. Ditandaskannya bahwa Trinitas itu satu
Allah, bukan tiga allah. Dan Allah Yang Maha Esa itu tidak berhenti menjadi
tunggal (simplex) karena Ia Tritunggal. Simplisitas Allah itu berarti bahwa
segala kesempurnaan yang kita akui ada pada-Nya (mis. Keagungan, kebaikan,
keabadian-Nya, dst). Semua kesempurnaan itu tidak ditambahkan pada hakikat
Allah, tetapi melekat pada-Nya. Mengenai kesatuan Allah itu juga Augustinus
mengingatkan bahwa hanya tentang satu saja dapat dikatakan bahwa ia ada secara
mutlak dan bahwa ia sempurna secara mutlak. Oleh karena itu, Allah yang Maha
Esa dan bukan tiap-tiap Pribadi ilahi yang memiliki satu kodrat, satu
keallahan, satu kemuliaan, satu kehendak, dan satu kegiatan. Tiada keaktifan
yang melibatkan hanya Bapa saja, atau hanya Putra saja atau hanya Roh Kudus
saja. Terhadap alam dunia, Allah maksudnya ketiga Diri Allah Tritunggal
merupakan unum principium (satu
asas). Karya-karya Allah Tritunggal tidak dapat dipisah-pisahkan sejauh
menyangkut segi luar (ad extra, ad
creaturam), artinya ketiga Pribadi ilahi selalu bekerja secara harmoni.
Ketiga Diri Allah direnungkan Augustinus dengan cara yang tidak kalah
pentingnya bila dibandingkan dengan refleksinya atas kesatuan Allah. Augustinus
tidak begitu senang dengan pengertian “diri” atau “pribadi” (dalam bahasa
latin: persona, bahasa Yunani: prosopon), dan lebih suka memakai paham relatio. Alasannya, Ketiga yang disebut
Pribadi itu bukan sesuatu yang masing-masing berbeda dalam Diri-Nya sendiri,
melainkan hanya berbeda dalam relasi-Nya satu sama lain dan terhadap dunia.
Maka paham relasi mengacu baik kepada kehidupan batin Allah (inter-trinitaris,
antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus) maupun antara Allah dengan dunia ciptaan.[5]
2.4.Penghayatan
Doktrin Trinitatis oleh Martin Luther
Martin
Luther dikenal sebagai seorang tokoh reformator gereja di Jerman pada abad
ke-16. Luther dilahirkan pada 10 November 1483 dalam sebuah keluarga petani di
Eisleben, Thuringen, Jerman. Ayahnya bernama Hans Luther dan ibunya bernama
Margaretta. Keluarga Luther adalah keluarga yang saleh sebagaimana golongan
petani di Jerman sehingga Martin Luther dibesarkan dalam suasana seperti itu.[6]
Pengahayatan Trinitas menurut Martin Luther adalah sesuai dengan keputusan
Konsili Nicea, bahwa ada satu haikat ilahi yang disebut Allah dan sesungguhnya
adalah Allah, dan ada tiga pribadi dalam satu hakikat ilahi, yang setara dalam kuasa dan kekal yaitu Allah Bapa, Anak, dan Roh
Kudus. Ketiganya adalah satu hakikat ilahi, kekal, tidak terbagi-bagi, tidak
berakhir, maha kuasa, mahaarif, dan maha baik. Satu pencipta dan pemelihara
segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.[7]
2.5.Pengahayatan
Doktrin Trinitatis oleh Calvin
Yohanes
Calvin adalah seorang pemimpin gerakan reformasi gereja di Swiss. Ia merupakan generasi yang kedua dalam
jajaran pelopor dan pemimpin gerakan reformasi gereja abad ke-16. Yohanes
calvin dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1509 di Noyon, sebuah desa di sebelah
utara kota Paris, Prancis. Ayahnya bernama Gerard Cauvin. Ibunya bernama Jeanne
Lefranc.[8]
Calvin menerangkan persona sebagai suatu hal yang berdiri sendiri di dalam
kehidupan ilahi, yang satunya dibedakan dengan yang lain, karena sifat-sifat
ilahi yang khas. Kata substansi
adalah ousia di dalam bahasa yunani,
sedangkan kata persona adalah hypostasis. Dimaksud Tertulianus dengan
substansi adalah apa yang berada secara kongkrit, sedang yang dimaksud dengan
persona adalah apa yang menjadi subyek. Dalam bahasa Yunani ousia ialah apa yang membedakan satu
macam atau satu rumpun dengan macam rumun lain, serta yang memberi ciri khas
kepada macam atau rumpun. Yang dimaksud dengan hypostasis atau persona adalah apa yang membedakan satu individu
dengan individu yang lain, serta yang memberikan ciri khas kepada individu itu
dalam satu rumpun atau satu macam. Diterapkan kepada Tuhan Allah, hal itu
diterangkan sebagai berikut, bahwa Bapa, Anak Roh Kudus adalah tiga hupostasis di dalam satu ousia atau tiga
persona di dalam satu substansi atau tiga oknum di dalam satu zat.[9]
2.6.Latar
Belakang Penghayatan Doktrin Trinitatis Abad ke-20
Nico
den Bok dalam karyanya yang berjudul Communicating
the Most High. Membahasa teologi trinitas zaman sekarang dari sudut pandang
masalah kepribadian. Keprihatinan Den Bok ialah monoteinme, dan ia bertanya
apakah Allah Tritunggal adalah satu Pribadi ataukah persekutuan tiga Pribadi. Di antara para teolog modren yang merenungkan
misteri Allah Tritunggal Den Bok membedakan tiga kelompok :
1. Trinitarianisme
Monopersonal
2. Trinitarianisme
Sosial
3. Posisi Tengah[10]
2.7.Pengertian
Tritarianisme
Trinitarian
adalah sebutan bagi golongan yang percaya kepada ajaran Trinitas, yag
dipergunakan untuk menentang ajaran Unitarian.[11]
2.8.Tokoh-tokoh
Teolog Tritarianisme Mono Personal
2.8.1.
Karl
Barth
Karl
Barth adalah seorang teolog besar dalam kalangan gereja reformatoris pada abad
ke-20 ini. Karl Barth dilahirkan pada tahun 1886 di Basel, Swiss. Ayahnya
adalah seorang mahaguru Teologi Perjanjian Baru pada Universitas Berlin,
Universitas Bern. Fritz Barh namanya.[12]
Menurut Karl Barth, Allah Tritunggal tidak dapat berdiri dari tiga pribadi,
tiga kepribadian atau tiga subjek. Allah hanya mempunyai satu “Aku”, bukan
tiga, satu kehendak (bukan tiga), satu wajah, satu sabda dan satu karya. Ia
satu Tuhan, Barth yakin bahwa maksud Gereja dengan kata persona berbeda sekali dengan arti modern dari “Pribadi” dipakai
Barth untuk mengacu kepada Allah yang Esa, yang merupakan Zat berpikir,
berkehendak dan bertindak dan yang kebebasanNya tiada taranya. Allah itu satu
pribadi dalam tiga “cara berada”. Cara berada yang rangkap tiga itu berkaitan
erat dengan perwahyuan diriNya yang bercorak trinitaris sejauh Allah sendiri
adalah pewahyu, diwahyukkan, dan “Keterwahyuan”. Maksudnya yaitu Allah yang
merupakan sumber pewahyuanNya yang personal (sebagai Bapa), juga merupakan baik
hasil objektif maupun hasil subjektif dari pewahyuan itu. Di dalam sejarah,
Allah menghadirkan diriNya kepada makhluk insani (sebagai Yesus Kristus) dan di
dalam hari kaum beriman Allah membuat mereka menerima kehadiranNya (sebagai Roh
Kudus).[13]
2.8.2.
Karl
Rahner
Rahner
adalah seorang teolog besar Gereja Katolik pada abad ke-20. Ia dilahirkan di
Freiburg-im-Breisgau, Jerman pada tahun 1904. Rahner menghasilkan banyak
tulisan dan yang sangat terkenal berjudul Dasar-dasar
Iman Kristen. Buku ini diterbitkan pada tahun 1976.[14]
Menurut Karl Rahner, berpendapat bahwa ketiga “personae” tidak bisa dipandang
sebagai tiga pribadi dalam arti modern. Konsep trinitaris yang tradisioanal persona tidak berfokus pada pusat
subjektivitas rohani. Satu pusat
kegiatan rohani, satu kebebasan, dan satu kehendak, maka tiada “Engkau”, tiada
pemberian diri timbal balik. Namun istilah “pribadi” juga ada referensinya
dalam kenyataan ilahi. Pada hakikatnya Allah yang satu itu terbuka kepada
pribadi-pribadi non-ilahi. Sebagai subjek yang mutlak, Allah Tritunggal
memberikan diri kepada subjek yang terbatas yaitu pribadi manusia, yang mampu
akan transendensi-diri. Apa yang tiga di dalam Allah itu disebut Rahner “ cara
bersubsistensi yang terpilah-pilah” dan ketigaan itupun bersangkut paut dengan
komunikasi diri dari Allah kepada ciptannNya. Cara bersubsistensi rangkap tiga
itu bukan hanya dan bukan baru terjadi berhubung dengan sejarah keselamatan,
tetapi betul-betul termasuk keberadaan Allah yang imanen. Oleh karena itu,
harus ada latar belakang imanan di dalam Allah bagi pemberian diri itu.
Tindakan Allah yang rangkap tiga itu bersesuaian dengan Hakikat Allah yang
triganda yang memungkinkan seluruh komuniksi diri Allah itu. Trinitas ekonomis
adalah trinitas imanen dan juga sebaliknya, demikian Rahner.[15]
2.9.Pengertian
Tritarianisme Sosial
Istilah “Tritarianisme Sosial” ini
menurut Den Bok (bersama C. Pantinga Jr.) menunjuk kepada pandangan bahwa di
dalam Allah terdapat persekutuan (communio,
communicatio) dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus sebagai tiga Pribadi atau
Subjek dalam arti penuh, yaitu sebagai pusat cinta kasih, kehendak,
pengetahuan, dan tindakan berencana yang terpilah-pilah sedemikian rupa
sehingga ketiga Pribadi Ilahi berhubung-hubungan satu sama lain dengan cara
yang bersifat analog dengan, meskipun juga jauh melebihi, hubungan antara para
anggota suatu badan sosial yang terdiri dari tiga makhluk insani. Para penganut
model sosial itu menekankan bahwa yang membuat seorang “person” menjadi
“person” adalah relasi dengan pribadi lainnya, dan bahwa dalam hal ini
pribadi-pribadi insani telah dibentuk menurut contoh Pribadi-Pribadi Allah
Tritunggal sebab Trinitas merupakan perwujudan paling sempurna dari prinsip “aku menjadi aku berkat Engkau”.[16]
2.10.
Pemahaman
Tokoh-tokoh Tritarianisme Sosial
2.10.1.
Jurgen
Moltmann
Jurgen
Moltmann menyatakan bahwa sejarah Trinitas merupakan sejarah tiga Subjek dalam
hubungan persekutuan satu sama lain. Menggunakan istilah “person” sebagai
tergantikan oleh sebutan “subjek dan sebaliknya, Moltmann memandang keesaan
Allah bukan sebagai identitas satu Subjek yang tunggal melainkan sebagai
persatuan tiga Pribadi, suatu komunitas dalam arti kata yang penuh. Untuk
Trinitas yang bertindak dalam sejarah keselamatan, Moltmann berbicara
terang-terangan tentang tiga Subjek yang secara intim dan intensif
berhubung-hubungan. Proses-proses imanen di dalam Trinitas bersifat (adi)
kodrati, kekal, dan malah niscaya, sedangkan perutusan ekonomis bersifat (suka)
rela, temporal, dan bebas. Akan tetapi, karena bagi Allah keniscayaan dan
kebebasan bertindih tepat, semua term
tadi rupanya dapat dijabarkan menjadi spontanitas, terutama spontanitas cinta
kasih. Allah mengasih dengan sendirinya.[17]
2.10.2 Wolfhart Pannenberg
Menanggapi konsep trinitaris Barth,
Pannenberg berpaling kepada pandangan bahwa “kalau hubungan trinitaris antara
Bapa, Putra dan Roh Kudus itu berupa diferensiasi diri timbal balik, hubunga
itu tidak dapat diartikan sebagai Cuma cara berada yang berlain-lainan saja
dari satu Subjek Ilahi yang tunggal, tetapi hanya dapat dimengerti sebagai
proses-proses kehidupan dari (tiga) pusat kegiatan yang independen. Bapa,
Putra, dan Roh Kudus digambarkan Pannenberg sebagai tiga penampakan dari atu
medsn dan kekuatan yang diidentifikasi sebagai kasih cinta. Seperti pribadi
insani, pribadi Ilahi pun mempunyai kodrat yang “ekstatis”, artinya “mempuyai”
DiriNya “dalam” pribadi yang lain.[18]
2.11.
Trinitarianisme
Posisi Tengah
2.11.1
Piet Schoonenberg
Piet
Schoonenberg mengemukakan tesis bahwa
Pribadi Ilahi yang satu itu mnejadi antarpribadi dengan bergerak menuju
mahkluk-mahkluk insani. “Pribadi” bila diterapkan pada Allah, berlaku bagi
Allah yang dapat disebut Sang Bapa, sedangkan Sang Putra dan Roh hanya secara
“ekonomis” saja menjadi pribadi-pribadi: Berkat pergerakan diri Allah menuju
manusia maka putra dan Roh semakin “memprofilasikan” diriNya sendiri. Satu
pribadi dengan dua “pancaran” yakni Sabda dan Roh, namun secara ekonomis (khususnya
sejak inkarnasi) terdapat interpersonalitas yang sungguh-sungguh. Schoonberg
dapat mengatakan bahwa Putra dan Roh mempribadikan diri sendiri tetapi
menganggapnya lebih tepat untuk mengatakan bahwa Pribadi Bapa mempribadikan
SabdaNya menjadi Putra (dalam Yesus Kristus) dan RohNya menjadi PutraNya.[19]
2.11.2
Hans Urs Von Balthasar
Menurut
Hans Urs Von Balthasar, untuk mendekati misteri Tritunggal kedua sudut pandang
perlu, baik sudut monopersonal maupun sudut sosial. Akan tetapi supaya
pendirian Von Balthasar ini bukan kontradiksi maka arti kata “Pribadi” dalam
pernyataan bahwa Allah itu satu Pribadi harus berbeda dengan artinya dalam
kalimat bahwa Ia tiga Pribadi, demikian Den Bok. Dalam pandangan Von Balthasar,
setiap mahkluk insani merupakan baik “individu” yang dilawankan dengan
kekolektifan masyarakat maupun “subjek mental”. Secara Kristologis dan
antropologis orang menjadi “Pribadi” berkat perutusannya. Dalam teologi
Trinitaris “Pribadi” didefinisikan sebagai diri yang secara sempurna menyangkal
diri, terdiri dari kasih murni yang memberikan segala sesuatu kepada yang lain.[20]
III.
Kesimpulan
Dari pemaparan
sajian, disimpulkan bahwa analisa berpikir manusia dengan maksud untuk
menjelaskan keberadaan Allah yang tidak kelihatan agar menjadi lebih konkrit di
dalam perbuatanNya. Menurut para tokoh seperti Augustinus, ia memahami Trinitas
adalah sebagai kesatuan Allah (Keesaan Allah), Luther memahami Trinitas sesuai
dengan keputusan konsili nicea yaitu satu hakikat Ilahi yang disebut Allah.
sedangkan Calvin memahami Trinitas sebagai pesona suatu hal yang berdiri sendiri
di dalam kehidupan Ilahi. Dan pada abad ke-20 membahas tentang teologi Trinitas
pada zaman sekarang dari sudut pandang masalah kepribadian. Den Bok membedakan
hal itu setelah dia melakukan perenungan dengan membedakan hal sebagai berikut
yaitu, Trinitianisme monopersonal, Trinitianisme sosial, dan Trinitianisme
posisi tengah.
Tambahan
Dosen
Doktrin
yang sulit adalah trinitas hampir tidak ada zaman yang membacakan trinitas.
Dengan demikian, begitu banyak corak-corak pikiran/monoteisme yang sudah membiarkan
untuk satu masalah doktrin. Semua gereja di dunia ini dipanggil untuk
menyepakati satu jawaban yang sama yang disebut pengakuan iman gereja pengakuan
iman Nicea-konstantinopel. Artinya pertanyaan atau persoalan tentang monoteisme
kristen sudah ditemukan satu jawaban yaitu keputusan konsili Nicea dan
Kontantinopel. Semua tata gereja yang menuliskan gereja yang kudus dan Am.
Artinya dia menganut pengakuan iman oikumenis.
Pengakuan iman Atanasius, awalnya
pada konsili konstantinopel. Konsili memutuskan menerimanya itu. Pengakuan iman
Nicea disempurnakan pengakuan iman Nicea-Konstantinopel. Trinitas adalah inti
sari ajaran Kristen. Ajaran trinitas yaitu pengakuan iman Konstantinopel.
Trinitas bukan pertanyaan melainkan jawaban.
Mengapa
Trinitas dikembangkan di Teologia?
Karena
nanti mempelajari Pluralisme yang berguna untuk meredakan konflik agama yang
sulit bahkan menjadi bomerang di agama lain. Maksudnya, doktrin mereka kita
anggap sebagai salah satu sumber yang membuat kita tidak bisa bersahabat.
Meredakan konflik Tokoh-tokoh berdebat untuk membaharui sosial. Maksudnya,
penganut agama lain bisa memahami sehingga dengan demikian keteganggan dan
konflik bisa dikurangi.
IV.
Daftar
Pustaka
Dister, Nico Syukur,
OFM, Teologi Sistematika, Yogyakarta:
KANISIUS, 2004.
Hadiwijono, Herun, Iman Kristen, Jakarta: Gunung Mulia,
2015.
Lane, Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK-GM, 2016.
Lumbantobing, Darwin, Teologi di Pasar Bebas, Pematangsiantar:
L-Sapa, 2008.
Wallem, F.D., Riwayat Hidup Singkat, 124Theodore G.
Tappert, Konkord Konfesi Gereja Lutheran,
Jakarta: BPK, 2004.
Wellem, F.D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK,
2011.
Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2011.
[1]
Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar
Bebas, (Pematangsiantar: L-Sapa, 2008), 155.
[2]
Herun Hadiwijono, Iman Kristen,
(Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 104
[3]
F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2011), 23
[4]
Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta:
BPK-GM, 2016), 43
[5]
Dr. Nico Syukur Dister, OFM, Teologi
Sistematika, (Yogyakarta: KANISIUS, 2004), 156-157
[6]
F.D.Wallem, Riwayat Hidup Singkat,
124
[7]
Theodore G. Tappert, Konkord Konfesi
Gereja Lutheran, (Jakarta: BPK, 2004), 36-37
[8]
F.D.Wallem, Riwayat Hidup Singkat,
49-50
[9]Herun
Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta:
Gunung Mulia, 2015), 109-110
[10]
Nico Syukur Dister,Teologi Sistematika 1,
(Yogyakarta : Kanisius, 2004), 164
[11]
F.D.Wellem, Kamus Sejarah Gereja,
(Jakarta: BPK, 2011), 459
[12]
F.D.Wallem, Riwayat Hidup Singkat, 28
[13]
Nico Syukur Dister,Teologi Sistematika 1,
(Yogyakarta : Kanisius, 2004), 165
[14]F.D.Wallem,
Riwayat Hidup Singkat, 161
[15]Nico
Syukur Dister,Teologi Sistematika 1,
(Yogyakarta : Kanisius, 2004), 166-167
[16]
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika
I, (Yogyakarta: KANISIUS, 2004), 169
[17]
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika
I, 170
[18]
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika
I, 170-171
[19]
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika
I, 167-168
[20]
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika
I, 168-169